Untuk Indonesia

Kenapa Jokowi Pilih Listyo Sigit Prabowo Katolik sebagai Kapolri

Di tengah bertumbuh kaum Islamis radikal, Presiden Jokowi justru berani mengangkat Lisyo Sigit Prabowo seorang Katolik menjadi Kapolri. Kenapa?
Listyo Sigit Prabowo dan Jokowi. (Foto: Tagar/FNN)

Oleh: Ade Armando*

Penunjukan Komjen Listyo Sigit Prabowo sebagai Kapolri punya arti sangat penting. Tentu saja kita bisa bicara rangkaian prestasinya. Tapi menurut saya, salah satu hal terpenting adalah Listyo Sigit itu pemeluk agama Katolik. Dan ini adalah kabar baik bagi Indonesia yang sedang diancam kaum radikal Islam yang berusaha memecah belah bangsa.

Saya tentu percaya bahwa Sigit adalah seorang polisi yang cakap dan berintegritas. Namun di Indonesia saat ini, punya keunggulan kualitas itu tidak cukup untuk menjadikan seseorang dipilih sebagai pemimpin. Saat ini negara kita ini diganggu kaum radikalis nyinyir yang akan mengaitkan segala hal dengan agama. 

Buat Presiden ini tentu bukan perkara mudah. Bila dia tidak cukup tegas, dia bisa tersandera kelompok-keompok radikal tersebut. Kita sudah melihat ada banyak pemimpin dan juga wakil rakyat yang takut mengambil keputusan yang mereka khawatirkan akan mengusik perasaan umat Islam konservatif. Salah satu kesalahan Presiden SBY dulu adalah itu: dia tidak berani mengambil risiko kehilangan popularitas di mata kaum Islamis.

Di kepalanya mungkin ada sebuah imajinasi bahwa kaum Islamis radikal berjumlah besar dan mereka punya kemampuan menggerakkan warga muslim. Kaum Islamis radikal yang saya maksud bukan umat Islam secara keseluruhan ya. Kaum Islamis radikal yang saya maksud adalah kaum muslim yang percaya Indonesia harus menjadi negara Islam atau menjadi negara yang dikuasai penguasa Islam.

Contoh terbaik mereka adalah gerakan 212, FPI, Tarbiyah, HTI, PKS. Mereka tersebar di mana-mana. Bukan cuma di PKS, atau di PPP, atau di PAN, juga di Gerindra, Golkar, Demokrat, bahkan di PDIP. Mereka juga masuk birokrasi pemerintahaan, ke BUMN, ke lembaga negara independen, dan tentu saja lembaga-lembaga pendidikan di segala lini. Mereka inilah yang dulu ditakuti Presiden SBY. 

Presiden SBY itu kan sama sekali buakn Islamis. Dia bahkan kesannya abangan atau sekuler. Tapi ketika memimpin Indonesia, dia tidak pernah tegas menghabisi kelompok-kelompok Islamis radikal sehingga bisa terus berkembang sampai sekarang. Presiden SBY jadinya tersandera imajinasi dia bahwa melawan kaum Islamis adalah sikap yang merugikan secara politik. 

Begitu juga partai-partai politik. Seperti yang digambarkan secara sangat baik oleh Saiful Mujani. Proses islamisasi di berbagai provinsi Indonesia, yang ditandai dengan banyaknya jumlah perda syariah, dilakukan justru di daerah-daerah yang dikuasai parpol-parpol nasionalis, seperti PDIP dan Golkar. 

Penjelasannya sederhana: Parpol-parpol itu dan juga kepala-kepala daerah di banyak tempat itu menganggap bersikap bertentangan dengan kepentingan kaum Islamis itu berbahaya. Mereka takut kehilangan pendukung, karena itu mereka menjadi pengecut.

Kalau Anda ingat ada tim polisi yang berzikir menghadapi demonstran 411 dan 212, itu antara lain adalah anak buah Sigit.

Brimob Asmaul HusnaBrimob Asmaul Husna menjaga demonstrasi 411 pada 4 November 2016 di Monas dengan berzikir. (Foto: Tagar/NU Online)

Itulah yang menjelaskan mengapa parpol-parpol itu tak berani bicara soal penyerangan dan pelarangan rumah ibadah, pelarangan perayaan Natal, persekusi minoritas. Mereka takut. Penunjukan Kapolri beragama Katolik saat ini, sebenarnya juga berisiko semacam itu.

Presiden Jokowi, sebelum memutuskan untuk menunjuk Sigit sebagai Kapolri, sudah terdengar peringatan dari Wakil Ketua MUI, Anwar Abbas, bahwa keputusan Presiden jangan hanya didasarkan pada pendekatan, kedekatan, dan profesionalitas. Anwar mengatakan penunjukan Kapolri harus didasarkan pada pertimbangan kemaslahatan.

Anwar menekankan bahwa beberapa waktu belakangan ini, hubungan antara pemerintah dan umat Islam agak terganggu lantaran tuduhan pemerintah melakukan praktik kriminalisasi terhadap para ulama. Anwar sebenarnya hendak mengingatkan Jokowi jangan sampai memilih Kapolri non-muslim. Pernyataan Anwar bahkan bisa dilihat sebagai sekadar puncak gunung es. 

Bila kita masuk ke percakapan di media sosial kaum Islamis, kemarahan terhadap keputusan pencalonan dan penunjukan Sigit sangat terasa. Yang ramai beredar misalnya adalah unggahan di akun Facebook Hadi Al Jawi. Dia menulis: "Si iblis Jokowi mengangkat Kapolri kafir Listyo Sigit yang melangkahi dua angkatan. Si iblis biadab Jokowi biang kericuhan dan kekacauan di NKRI yang wajib dibinasakan."

Lagi-lagi itu cuma satu contoh yang ramai dibicarakan. Yang tidak terungkap kepada publik, dan hanya beredar di kalangan mereka, sama atau bahkan lebih menyeramkan dari itu.

Bagi kaum Islamis radikal, penunjukan Kapolri beragama Katolik mengkonfirmasi tuduhan mereka bahwa Jokowi adalah musuh yang menzalimi Islam. Pemerintahan Jokowi membubarkan HTI, melarang FPI, menangkap Rizieq, dan kini menunjuk Kapolri beragama Katolik.

Bagi kaum Islamis radikal, jelas sudah, Islam memang berada di bawah ancaman. Tapi di sinilah letak kehebatan Jokowi. Dia tidak takut. Dia tentu sadar dengan segenap risiko bahwa ini memicu kemarahan. Tapi dia merasa penunjukan Sigit adalah yang terbaik dan negara tak boleh tersandera oleh kelompok-kelompok radikal yang mengancam bangsa.

Jokowi tahu salah satu kewajiban yang harus dilakukan pemerintah saat ini adalah memerangi korupsi, juga memerangi dengan tegas kaum radikal. Masa kepemimpinan Jokowi tinggal tiga tahun. Dalam waktu singkat itu dia harus menghabisi praktik korupsi dan kaum Islamis radikal, sejauh mungkin.

Karena itu dia membutuhkan tangan kanan yang bisa dia percaya, seperti dulu dia mempercayai Tito Karnavian dan Idham Azis. Sigit adalah orang dekat Jokowi. Dia pernah menjadi ajudan Jokowi, dan pernah menjadi Kapolres Solo saat Jokowi menjadi wali kota di sana. Dengan kata lain, chemistry Jokowi dan Sigit sudah terbangun sejak lama. Tidak perlu lagi ada adaptasi. Tapi tentu saja bukan cuma soal kedekatan yang menentukan. Sigit adalah the right man on the right place untuk menjalankan tantangan 3 tahun ke depan.

Penunjukan Kapolri beragama Katolik saat ini, sebenarnya juga berisiko semacam itu.

Djoko TjandraTersangka kasus korupsi pemberian gratifikasi pengurusan fatwa Mahkamah Agung (MA), Djoko Soegiarto Tjandra usai menjalani pemeriksaan di Kompleks Gedung Kejakasaan Agung, Jakarta, Senin, 31 Agustus 2020. (Foto: Tagar/Antara/Adam Bariq)

Sigit bukan orang main-main. Begitu menjadi Kabareskrim, dia sudah membongkar kasus penyiraman air keras kepada Novel Baswedan. Dia kemudian menangkap buronan kelas kakap Djoko S Chandra di Malaysia. Sigit sendiri yang memimpin tim penangkapan itu bekerja sama dengan Polisi Diraja Malaysia.

Dalam kasus itu dua jenderal polisi yang terlibat persekongkolan dengan Joko juga menanggung akibatnya. Prestasi Sigit lain adalah menangkap mastermind perampokan Bank BNI Rp 1,2 triliun, Maria Pauline Lumowa, di Serbia. Dan Sigit bukan tipe pemimpin yang duduk di belakang meja. Untuk menjamin keberhasilan operasi, Sigit tidak segan turun langsung ke lapangan.

Jadi pada dasarnya tidak ada alasan untuk meragukan kemampuan Sigit. Kalau Anwar Abbas mengingatkan Jokowi memilih dengan mempertimbangkan kemaslahatan masyarakat, penunjukan Sigit jelas mencerminkan kepentingan masyarakat luas. Termasuk dalam hal hubungan dengan kelompok Islam.

Polisi tidak boleh sedikit pun ragu-ragu bertindak tegas terhadap kaum radikal. Dan bertindak tegas terhadap kaum radikal tidak berarti memusuhi Islam. Ini sudah ditunjukkan Kapolri Idham Azis. Dia adalah seorang muslim taat, tapi di bawah kepemimpinannya lah, Rizieq dan FPI mulai dihabisi.

Maka keberhasilan dan kepercayaan terhadap Polri harus dilanjutkan oleh seorang Kapolri baru yagn juga tak boleh sedikit pun takut terhadap imajinasi tentang risiko menyakiti hati kaum Islamis. Dan dalam hal ini, Sigit juga bukan pemimpin yang asing dalam hal membangun hubungan baik dengan kelompok-kelompok Islam.

Ketika dia hendak menjabat Kapolda Banten tahun 2016, dia pernah ditolak MUI Banten atas dasar agama. Sigit Katolik, sementara Banten merupakan wilayah Kesultanan yang mayoritas penduduknya Islam. Penolakan tersebut bahkan ditandatangani sejumlah ulama dalam sebuah petisi. Namun seiring berjalannya waktu, penolakan tersebut pun mereda. Sigit berhasil meyakinkan MUI bahwa dia jadi sahabat umat Islam di Banten. 

Saat ada demo 411 dan 212, Kapolda Banten itulah yang mengirim tim Brimob bukan yang bersenjata. Tim yang dikirim Sigit adalah tim Brimob Asmaul Husna. Kalau Anda ingat ada tim polisi yang berzikir menghadapi demonstran 411 dan 212, itu antara lain adalah anak buah Sigit. 

Kini, Listyo Sigit sudah menjadi Kapolri. Kita percaya dia tidak akan mengecewakan harapan masyarakat. Kita harapkan bersama KPK dan Kejaksaan, Polri akan efektif menghabisi korupsi. Kita harapkan bersama masyarakat sipil, Polri akan menghabisi kelompok-kelompok Islamis radikal serta melindungi kaum minoritas yang selama ini menjadi korban penindasan. Yuk kita dukung Pak Jokowi, Pak Listyo Sigit, dan semua orang baik di pemerintahan kita.

*Akademisi Universitas Indonesia

Berita terkait
NU, Muhammadiyah, Tokoh-tokoh Islam Percaya Listyo Sigit Prabowo
NU, Muhammadiyah, tokoh-tokoh Islam dari komunitas lain, percaya Listyo Sigit Prabowo adalah pilihan terbaik Jokowi. Listyo cerminan kebinekaan.
Komjen Listyo Sigit Prabowo Datangi Mantan Kapolri, Ada Apa?
Sejumlah mantan Kapolri yang disambangi antara lain, Jenderal (Purn) Sutarman, Jenderal (Purn) Timur Pradopo, Jenderal (Purn) Badrodin Haiti.
Listyo Sigit Harus Berantas Korupsi - Pungli di Tubuh Polri
Abdul Fickar Hadjar menyebut calon Kapolri pilihan Presiden Jokowi, yakni Listyo Sigit harus miliki komitmen berantas korups- dan pungli di Polri.
0
Melihat Epiknya Momen Malam HUT DKI Jakarta Lewat Lensa Galaxy S22 Series 5G
Selain hadir ke kegiatan-kegiatan yang termasuk ke dalam agenda perayaan HUT DKI Jakarta, kamu juga bisa merayakannya dengan jalan-jalan.