Kalah Jadi Abu, Menang Jadi Arang

Perihal penyerangan terhadap pemuka agama, polisi sedang melakukan penyelidikan untuk mengungkap apakah satu kasus dan kasus lainnya memiliki keterkaitan.
Kapolri Tito Karnavian menyatakan sudah menginstruksikan jajaran polda di semua wilayah untuk melindungi para ulama. (ist)

Jakarta, (Tagar 19/2/2018) – Penyerangan oleh “orang gila” terhadap KH Hakam Mubarok, pengasuh Pondok Pesantren Karangasem Paciran, Lamongan menambah daftar panjang teror orang gila yang ditujukan pada pemuka agama.

Sebelumnya peristiwa serupa terjadi beruntun dalam jeda waktu tak terlalu lama di kota-kota berbeda. Pertama, aksi kekerasan terhadap ulama, tokoh NU, dan pengasuh Pondok Pesantren Al-Hidayah, Cicalengka, Bandung, KH Umar Basri pada 27 Januari 2018.

Kedua, terhadap ulama sekaligus Pimpinan Pusat Persis, HR Prawoto yang dianiaya hingga meninggal oleh orang tak dikenal pada 1 Februari 2018. Ketiga, persekusi terhadap Biksu Mulyanto Nurhalim dan pengikutnya di Desa Caringin, Kecamatan Legok, Kabupaten Tangerang pada 7 Februari 2018.

Keempat, serangan terhadap peribadatan di Gereja St Ludwina, Desa Trihanggo, Kecamatan Gamping, Kabupaten Sleman pada 11 Februari 2018, yang menyebabkan Romo Prier dan pengikutnya mengalami luka berat akibat sabetan senjata tajam. Kelima, perusakan masjid di Tuban, Jawa Timur. Lalu, pelecehan terhadap rumah ibadah umat beragama Hindu di Bima, NTB, pada 12 Februari 2018.

Sulit mengira bahwa peristiwa-peristiwa itu terjadi kebetulan belaka, sama sulit menepis dugaan bahwa memang ada yang mendesain situasi untuk mengeruhkan pikiran masyarakat, membuat resah, saling curiga, berprasangka, bahkan saling ngamuk, entah untuk target akhir apa. Bisa dirasakan, tapi tak terlihat. Sebuah kekuatan yang entah siapa penggeraknya.

Teror Orang Gila

Teror orang gila mungkin tidak terasa di Jakarta, tapi di kota-kota kabupaten bisa jadi telah menimbulkan ketakutan yang tidak bisa dianggap sepele. Gejalanya mirip dengan apa yang terjadi pada 1997-1998 ketika orang gila menyebar dan lalu menyerang dukun santet dan guru ngaji. Tiba-tiba tanda silang berwarna merah ditemukan di rumah-rumah tertentu yang merupakan tanda bahwa di situ mungkin akan terjadi sesuatu.

Kalau hal itu terjadi pada masa Orde Baru, gejala tersebut bisa dimaklumi, mungkin adalah kerjaan intelejen yang mau mempertahankan kekuasaan dengan segala cara. Masyarakat dibuat resah, diadu domba, agar tercipta semacam ketergantungan pada kekuatan, katakanlah militer yang belum rela melepaskan tahta.

Namun kalau kejadiannya sekarang, apa maksudnya. Kalau dilakukan oleh intelejen negara, apa gunanya. Kalau dilakukan oleh intelejen partikelir, apa pemerintah yang mempunyai sumber daya tidak mampu menanggulanginya.

Bukan Sesuatu yang Alamiah

Beberapa tokoh seperti sepakat bahwa memang peristiwa serangan terhadap pemuka agama bukan sesuatu yang alamiah. Diduga skenario dibuat pihak tertentu.

“Walaupun saya tidak punya fakta, tapi saya menyimpulkan rentetan kasus penyerangan terhadap tokoh-tokoh agama ini sepertinya ada skenario sistemik dan sistematis. Ada yang ingin mengadu domba antarumat beragama di Indonesia," ucap Din Syamsuddin, Utusan Khusus Presiden untuk Dialog dan Kerjasama Antaragama dan Peradaban.

Sementara itu mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD mengamati kejanggalan kegilaan pelaku penyerangan terhadap kiai. Ia membandingkan orang gila yang menyerang kiai dengan orang gila versi dokternya. Dokternya menyebut dua tanda orang gila, yakni melihat ke atas sambil tertawa- tawa dan kalau berjalan tegak berputar-putar.

“Tidak mungkin dia (orang gila) memukul memilih sasaran dan memilih waktu. Itu buatan,” ujar Mahfud.

Mahfud menyebut beberapa kemungkinan. “Bisa saja kelompok umat sendiri untuk membangun solidaritas bersama. Bisa. Bukan tidak bisa. Itu juga bagian langkah sistemik. Biar teman-teman kita marah, menuduh yang lain, itu sangat bisa.”Kemungkinan lain, sebuat Mahfud adalah kelompok politik tertentu dan orang-orang yang memang anti terhadap kelompok agama tertentu. Mungkin juga intelijen asing karena proxy war.

“Oleh karena itu, ini tidak bisa dijatuhkan kepada institusi tertentu. Juga tidak mudah,” kata Mahfud.

Koneksi Antarkasus

Tentu semua mata sedang tertuju pada pemerintah, ingin tahu bagaimana pemerintah merespon gejala tidak alamiah ini. Mengimbau untuk tetap tenang tetap tidak cukup. Mereka harus menghentikan siapa pun pelakunya dan apa pun tujuannya.

Sebagai pihak yang paling bertanggung jawab menjaga keamanan masyarakat, Kapolri Tito Karnavian mengatakan kepolisian melakukan upaya pencegahan pascaterjadinya penyerangan terhadap pemuka agama dalam beberapa waktu terakhir. Ia mengaku sudah menginstruksikan jajaran kepolisian daerah (Polda) di berbagai wilayah untuk meningkatkan pengamanan di tempat-tempat ibadah.

"Kami tetap melakukan langkah-langkah pencegahan. Saya sudah mengingatkan polda-polda untuk lebih mendekat pada tempat ibadah dan ulama," ujar Tito.

Terkait pelaku penyerangan yang sudah tertangkap, kepolisian melakukan pendalaman kasus untuk mengetahui apakah satu kasus dan lainnya memiliki keterkaitan. "Kemudian yang sudah tertangkap itu kami interview lebih dalam, apakah ada koneksi satu kasus ke kasus lainnya," kata Tito.

Walau sebagian orang menilai polisi terkesan kewalahan, mereka tetap yang menangani kasus penyerangan terhadap pemuka agama, apa pun agamanya.

Masyarakat tak boleh terkecoh. Bisa dipastikan tak ada sesuatu yang mulia di balik penyerangan pemuka agama. Yang ada adalah membungkus kepentingan dunia dengan sampul agama. Tak ada yang diuntungkan apabila adu domba dan bumi hangus sampai menang. Yang ada adalah kalah jadi abu, menang jadi arang.*

Siti Afifiyah

Berita terkait