Untuk Indonesia

Jokowi versus Prabowo Mulai Panas

Jokowi mungkin saja mulai mengadopsi strategi sepak bola bahwa 'pertahanan terbaik adalah menyerang'. - Ulasan Denny Siregar
Calon presiden nomor urut 02 Prabowo Subianto dan calon presiden nomor urut 01 Joko Widodo. (Foto: Facebook/Presiden Joko Widodo dan Istimewa)

Oleh: Denny Siregar*

Pilpres 2019 akan dimulai 5 bulan lagi....

Situasi makin panas antara kedua kubu yang bertarung. Sekarang bukan masanya lagi sopan-sopanan, gebrak terus sampai lawan terjengkang.

Jokowi yang biasanya santun, sekarang mulai mengeluarkan kata "sontoloyo" dan "genderuwo" untuk menghajar lawan politiknya. Kekesalan Jokowi tampak karena lawan politiknya tidak selesai-selesai memainkan kampanye negatif sampai kampanye hitam. Ini hal yang jarang kita lihat keluar dari pidato Jokowi selama ini.

Baca juga: Setelah Politik Sontoloyo, Jokowi Kenalkan Politik Genderuwo

Bahkan Cawapres KH Maaruf Amin, tetiba mengeluarkan statemen "budek dan buta" dalam pidatonya. "Orang yang sehat dapat melihat jelas prestasi yang ditorehkan Pak Jokowi, kecuali orang yang budek saja enggak mau mendengar informasi dan orang yang buta saja yang enggak bisa melihat kenyataan," begitu isi pidato KH Maaruf Amin meski ia mengaku tidak menyinggung siapa pun, termasuk lawan politiknya.

Ada apa mereka berdua sampai bisa melontarkan kata-kata yang kontroversial itu?

Ini kemungkinan besar terkait dengan banyaknya pernyataan Prabowo yang selalu bermain di kata-kata "menakuti" dalam kampanyenya. Prabowo suka sekali memainkan narasi ketakutan, mulai dari "tenaga kerja asing", "masalah utang dan impor" sampai "99 persen orang Indonesia hidup pas-pasan".

Prabowo sendiri memainkan narasi tanpa data valid. Buat Prabowo ini bukan masalah data tetapi permainan emosi dan persepsi, dan ini menguntungkan dirinya yang selama survei hanya berada di kisaran 30 persenan saja. Prabowo butuh dongkrak untuk menaikkan elektabilitas suaranya dan untuk itu apa pun akan dilakukannya.

Pada awalnya Jokowi mendiamkan model kampanye "receh" ala Prabowo. Tetapi berkaca dari Pilpres Amerika dan Brazil, ternyata model kampanye seperti itu efektif untuk memenangkan pertarungan. Dan ini menjadi alarm bagi Jokowi yang biasa bermain dengan kampanye elegan.

Karena itulah untuk membalas receh Prabowo, tim Jokowi memainkan receh yang berbeda. Kata "sontoloyo" dan "genderuwo" dikeluarkan untuk memancing reaksi lawan. Minimal, kata itu diharapkan menjadi perbincangan di media sosial, sehingga pihak Prabowo lebih sibuk mempermasalahkan kata itu daripada membangun "receh" baru.

Jokowi yang selama ini bertahan, mulai menyerang. Mungkin saja ia mulai mengadopsi strategi sepak bola bahwa "pertahanan terbaik adalah menyerang".

Panasnya model kampanye mulai terasa. Media sosial penuh dengan pertarungan persepsi dan propaganda untuk memojokkan lawan. Semua ini dilakukan untuk mendapatkan swing voters atau mereka yang belum menentukan pilihan yang berada di angka 11 persen.

Ke mana swing voters akan beralih? Apakah kampanye receh itu berdampak pada pilihan mereka?

Kita tunggu dan amati terus pergerakan langkah catur yang menarik ini sambil tidak lupa tentunya seruput secangkir kopi....

*Denny Siregar penulis buku Tuhan dalam Secangkir Kopi

Berita terkait