Jakarta - Pengamat Ekonomi Energi Universitas Gadjah Mada (UGM) Fahmy Radhi mengkritik tiga opsi yang ditawarkan Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk menurunkan harga gas industri yang melambung tinggi. Menurutnya, opsi yang ditawarkan Jokowi bagai buah simalakama.
"Terobosan penurunan harga gas industri memang seperti memiliki buah simalakama," ucap Fahmy, Kamis, 9 Januari 2019 seperti dilansir dari Antara.
Ia menjelaskan pada opsi pertama pengurangan jatah gas industri pemerintah sebesar 2,2 dolar Amerika Serikat per MMBTU, dampak negatifnya yakni turunnya penerimaan negara.
Untuk opsi kedua yaitu memberlakukan Domestic Market Obligation (DMO) bagi gas industri. Karena sama halnya dengan subsidi, akibat menurut Fahmy akan berdampak kerugian pada PT Perusahaan Gas Negara (PGN) Tbk.
PGN menurutnya akan menanggung kerugian besar karena PGN satu-satunya perusahaan pelat merah yang memiliki jaringan gas luas.
Ketiga, opsi membebaskan impor gas industri yang menurutnya opsi keliru yang ditawarkan Jokowi. Pasalnya, Indonesia memiliki sumber daya alam gas yang melimpah.
"Pilihan impor bagi saya adalah tidak, ini keliru jika untuk menekan harga gas," ujarnya.
Anggota Tim Reformasi dan Tata Kelola Migas periode 2014-2015 ini sebenarnya tak menampik secara pragmatis impor gas dapat menekan harga gas industri turun. "Tapi yang terjadi jangka panjang adalah dampak buruk," kata dia.
Pertama, Indonesia akan menjadi ketergantungan impor gas karena harga murah, padahal sumber gas banyak. Kedua, Indonesia tidak akan bisa memiliki infrastruktur jaringan gas dalam jangka panjang.
Jadi, menurutnya Jokowi harus mempertimbangkan lagi tiga opsi untuk menurunkan harga has industri. "Jangan kambing hitamkan harga gas untuk mahalnya barang sektor industri, belum tentu harga-harga yang lain jadi turun," tuturnya. []