Jelang Pilpres AS 2024 Sekutu di Eropa Bersiap Hadapi Masa Penuh Tantangan

Jika Wakil Presiden Kamala Harris memenangi pemilihan presiden, di satu sisi berarti kelanjutan kebijakan Biden
Seorang pria berjalan melintas di depan bendera negara-negara anggota Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) di markas NATO di Brussels, Belgia, 11/3/2024. (Foto: voaindonesia.com/Geert Vanden Wijngaert/AP Photo)

TAGAR.id – Sekutu-sekutu Amerika di Eropa bersiap-siap menghadapi Amerika Serikat (AS) yang tidak terlalu tertarik pada mereka, siapa pun yang memenangkan pemilihan presiden, serta kombinasi trauma lama dan masalah baru jika Donald Trump yang kembali ke Gedung Putih.

Pemilu presiden (Pilpres) AS 2024 terjadi lebih dari dua setengah tahun setelah invasi skala penuh Rusia ke Ukraina. Amerika telah memberikan kontribusi terbesar bagi pertahanan Ukraina. Namun, kini muncul sejumlah pertanyaan: apakah hal ini akan terus berlanjut di bawah kepemimpinan Trump, dan seberapa besar komitmennya terhadap sekutu-sekutu Pakta Pertahanan Atlantik Utara (North Atlantic Treaty Organization/NATO) secara umum.

Rachel Tausendfreund di Dewan Hubungan Luar Negeri Jerman mengatakan bahwa jika Wakil Presiden Kamala Harris memenangi pemilihan presiden, di satu sisi berarti kelanjutan kebijakan Biden.

"Ia (Kamala) telah menegaskan dalam semua pernyataannya bahwa ia menilai – secara strategis dan secara moral – merupakan hal yang penting bagi AS untuk terus mendukung upaya Ukraina. Meskipun demikian, kita melihat tentangan dari Partai Republik dan mulai meningkatnya kelelahan publik AS terhadap perang," kata Tausendfreund.

"Jadi kalau pun Kamala menang, ada sebagian hal yang tampaknya akan lebih sulit dalam satu atau satu setengah tahun ke depan.”

Belanja pertahanan Eropa yang lamban membuat kesal pemerintahan AS dari kedua partai selama bertahun-tahun, meskipun anggota NATO, termasuk Jerman, meningkatkan anggaran pertahanan mereka setelah Rusia berupaya menginvasi Ukraina pada 2022.

NATO memperkirakan 23 dari 32 negara sekutu akan memenuhi targetnya untuk mengalokasikan 2 persen atau lebih dari produk domestik bruto mereka untuk pertahanan tahun ini. Satu dekade yang lalu, hanya tiga negara yang mencapai target itu.

Selama masa jabatannya pada 2017-2021, Trump mengancam akan meninggalkan negara-negara yang menunggak jika tidak membayar tagihan mereka. Dalam kampanye kali ini, dia menyarankan agar Rusia melakukan apa yang diinginkannya terhadap mereka. Gertakan Trump itu telah merusak kepercayaan dan mengkhawatirkan negara-negara yang terletak paling dekat dengan Rusia, yang semakin tidak dapat diprediksi, seperti Estonia, Latvia, Lithuania, dan Polandia.

Sekjen NATO Mark Rutte  berbincang dengan Presidenr ZelenskyySekjen NATO Mark Rutte (kiri) berbincang dengan Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskyy di markas NATO di Brussels, Belgia, 17/10/2024. (Foto: voaindonesia.com/Olivier Matthys/Pool Photo via AP)

Negara-negara Eropa melihat perang di Ukraina sebagai tantangan eksistensial, yang pada akhirnya mungkin tidak akan dihadapi oleh Amerika, apalagi dengan adanya tanda-tanda kelelahan perang di Eropa sendiri.

Rachel Tausendfreund dari Dewan Hubungan Luar Negeri Jerman mengatakan jika Trump menang, ada indikasi bahwa ia tidak tertarik untuk mendukung Ukraina dalam perang itu.

Menurut Tausendfreund, Trump juga diperkirakan akan mendorong dengan cepat gencatan senjata atau negosiasi perdamaian, yang akan menghasilkan perdamaian yang mungkin tidak disukai oleh Ukraina dan Eropa.

"Jadi ini situasi yang cukup dramatis. Dan juga tidak mungkin Eropa dapat mengisi kekosongan militer yang ditinggalkan jika AS menarik dukungannya," katanya.

Keinginan Trump untuk memberlakukan tarif terhadap mitra-mitra AS juga menimbulkan kekhawatiran di Eropa, yang masih berjuang keras mengatasi pertumbuhan ekonomi yang lesu. Meskipun sebagian pemimpin Eropa menyadari bahwa bukan hanya kemungkinan kepresidenan Trump kedua yang membuat mereka cemas, tetapi juga perubahan prioritas Amerika, siapapun yang menang nanti. Timur Tengah berada di urutan teratas dalam daftar Presiden Joe Biden saat ini, tetapi prioritas jangka panjangnya adalah China.

NATO akan Sambut Siapa Pun Pemimpin Amerika

Dalam kunjungan singkatnya ke Berlin baru-baru ini, di mana ia berunding dengan para pemimpin Jerman, Prancis, dan Inggris; Presiden Joe Biden menekankan perlunya untuk tetap bertahan di Ukraina.

Namun, siapa pun yang menjabat di Gedung Putih nanti, tahun-tahun yang akan datang bisa jadi penuh gejolak.

Sebagaimana disampaikan Sekjen NATO Mark Rutte.

“Jelas siapa pun yang akan terpilih, kita harus ‘berdansa’ (bekerja sama.red) dengannya, tango, siapa pun yang akan terpilih, karena itulah tugas saya. Tetapi saya pikir bagi 31 sekutu lainnya yang terpenting adalah memastikan agar siapa pun yang akan menjadi presiden AS, dia akan merasa diterima di semua pertemuan NATO," kata Sekjen NATO Mark Rutte. (em/rd)/Associated Press/voaindonesia.com. []

Berita terkait
Pasar Kerja AS Diprediksi Tetap Kuat Jelang Pilpres 2024
Akan mengurangi sejumlah besar pekerja bulan lalu, sekitar 60.000 hingga 100.000 pekerja, yang sebagian besar bersifat sementara
0
Inovasi Semen Merah Putih untuk Pembangunan Rumah Berkualitas Bagi Masyarakat Indonesia
Tuntutan itu mulai dari proses desain konstruksi yang akan memberikan kenyamanan bagi penghuni serta keselarasan dengan alam