Greta Thunberg, Inspirasi Jutaan Anak Muda di 150 Negara

Memakai mantel kuning, remaja 15 tahun, Greta Thunberg, menuntut pemerintah Swedia mengambil sikap atas pemanasan global yang terjadi di sana.
Greta Thunberg. (Foto: Instagram @gretathunberg)

Jakarta - Greta Thunberg duduk seorang diri sambil memegang tulisan berjudul School Strike for Climate atau "Mogok Sekolah demi Iklim" di depan Gedung Parlemen, Stockholm, Swedia. Memakai mantel kuning, remaja berusia 16 tahun itu menuntut pemerintah Swedia mengambil sikap atas pemanasan global yang terjadi di Swedia.

Saya melakukan aksi mogok sekolah demi iklim karena Anda orang dewasa tidak peduli dengan masa depan saya.

"Rasanya saya satu-satunya yang peduli dengan iklim dan krisis ekologis," ucap Greta kepada BBC ketika melakukan aksi solo pada Agustus 2018.

Greta melakukan aksi pertamanya ini pada jam sekolah. Dia memutuskan bolos sekolah untuk terus memprotes di luar gedung Parlemen Swedia. Remaja yang baru dinobatkan sebagai Person of the Year 2019 versi majalah Time itu berjanji akan terus melakukan aksinya sampai Swedia mengurangi penggunaan emisi karbon sesuai dengan Kesepakatan Paris pada 2015. Swedia ketika itu tengah dilanda musim panas terburuk sejak 262 tahun terakhir akibat gelombang panas sekaligus kebakaran hutan.

Greta membuktikan ucapannya. Dia melakukan aksinya kembali di depan Gedung Parlemen setiap Jumat. Lagi-lagi, aktivis remaja iklim itu harus kehilangan jam sekolahnya. Aksi yang awalnya dilakukan solo itu pun mulai diikuti sejumlah pelajar hingga akhirnya demonstrasi itu meluas, lalu dikenal dengan sebutan Fridays for Future.

Greta ThunbergPerson of the Year 2019 sampul majalah Time. (Foto: Instagram @ gretathunberg)

Aksi mogok sekolah selama setahun itu berhasil menginspirasi jutaan generasi muda di belahan dunia untuk peduli terhadap perubahan iklim dan lingkungan hidup. Setidaknya, kaum muda di lebih dari 150 negara telah turun ke jalan menuntut perubahan iklim, di antaranya Inggris, Jerman, Australia, Amerika Serikat, Jepang, dan Indonesia.

Sejak usia delapan tahun

Greta Thunberg lahir dan tumbuh di Stockholm pada 3 Januari 2003 dari pasangan Svante Thunberg dan Malena Ernman. Sang ibu merupakan mantan penyanyi opera. Sang ayah, Svante Thunberg, adalah seorang aktor. Svante merupakan keturunan dari Svante Arrhenius, seorang ilmuwan yang datang dengan model efek rumah kaca. Svante Arrhenius pernah dianugerahi Nobel Prize for Chemistry pada 1903.

Itu membuat saya melihat sesuatu dari luar. Saya tidak mudah jatuh dalam kebohongan.

Gadis berambut pirang itu menuturkan dia pertama kali belajar atau mengetahui tentang perubahan iklim ketika berusia delapan tahun. Saat itu, dia merasa heran mengapa orang-orang, khususnya orang dewasa, tidak mengambil tindakan atas hal tersebut.

Keingintahuannya terhadap perubahan iklim dan lingkungan hidup terus bertambah seiring usia. Hingga akhirnya, saat duduk di kelas sembilan sekolah menengah pertama, dia nekat melakukan aksi protes di depan Gedung Parlemen Swedia. 

Greta ThunbergGreta Thunberg. (Foto: Instagram @gretathunberg)

Aksi itu bermula saat dia memenangi kompetesi menulis esai tentang perubahan iklim di salah satu surat kabar lokal pada Mei 2018. Selang tiga bulan kemudian, dia memutuskan melakukan protes di Gedung Parlemen hingga terus berlanjut.

Greta mengungkapkan bahwa kedua orang tuanya awalnya tak menyetujui aksi dan gagasannya itu, sehingga dia harus melakukannya seorang diri. Tak berputus asa, Greta mengumpulkan data-data mengenai anggaran karbon serta kepunahan mahluk hidup. Lalu data-data ia dikemasnya memakai bahasa anak seusianya dibumbui kata-kata lucu.

Misalnya, "Saya melakukan aksi mogok sekolah demi iklim karena Anda orang dewasa tidak peduli dengan masa depan saya."

Aksi protes Greta ini telah dikaitkan dengan sindrom yang dimilikinya. Empat tahun lalu, anak pertama dari dua bersaudara itu didiagnosis mengalami sindrom asperger, yakni gangguan neurologis atau saraf yang tergolong ke dalam gangguan spektrum autisme. Namun, sindrom ini berbeda dengan gangguan spektrum autisme lainnya, misalnya, gangguan autistik.

Orang dengan sindrom asperger memiliki kecerdasan dan kemahiran dalam bahasa, tapi mereka canggung ketika berkomunikasi atau berinteraksi dengan orang di sekitarnya. Sementara itu, orang dengan gangguan autistik mengalami kemunduran kognitif serta kemampuan bahasa.

Menurut Svante, sindrom itu sempat mempengaruhi kesehatan Greta pada masa lalu. Meski demikian, Greta tak menganggap kondisinya itu sebagai keterbatasan dirinya, melainkan sebagai hadiah yang telah membantu membuka matanya terhadap krisis perubahan iklim.

"Itu membuat saya melihat sesuatu dari luar. Saya tidak mudah jatuh dalam kebohongan, saya bisa melihat melalui banyak hal. Jika saya sudah seperti orang lain, saya tidak akan memulai pemogokan sekolah ini, misalnya."

Tak naik pesawat

Sebelum menyuarakan pemanasan global dan perubahan iklim secara meluas, Greta lebih dulu menyadarkan masalah ini kepada kedua orang tuanya. Misalnya, dia membujuk orang tuanya untuk menjadi pelaku vegetarian. Hingga akhirnya, dia meyakinkan sang ibu untuk berhenti melakukan perjalanan ke luar negeri menggunakan pesawat.

Hal itu pula yang membuat sang ibu akhirnya memilih untuk pensiun dari karier internasionalnya sebagai penyanyi opera karena dampak iklim dari penerbangan. Ia kerap melakukan perjalan memakai burung besi. Keduanya juga telah menulis sebuah buku berjudul Our House is on Fire: Scenes of a Family and a Planet in Crisis. Rencananya, buku itu akan rilis pada tahun depan.

Greta ThunbergGreta Thunberg. (Foto: Instagram @gretathunberg)

Pernyataan Greta itu bukan omong kosong. Setelah aksi protesnya viral dan menginspirasi banyak orang, ia banyak diundang menjadi pembicara di sejumlah negara yang peduli terhadap isu iklim ini.

Misalnya, saat menjadi pembicara dalam acara Climate Action Summit Konferensi Tingkat Tinggi Persatuan Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) di New York, Amerika Serikat, pada 23 September 2019, dia menolak menggunakan pesawat. 

Peraih penghargaan Nobel Alternatif itu memilih melakukan perjalanan laut dengan menggunakan kapal non-emisi yang memakai tenaga matahari serta turbin bawah air. Walhasil, perjalanan itu memakan waktu hingga dua minggu.

Begitu pun ketika menjadi pembicara di beberapa negara Eropa. Greta memilih bepergian dengan kereta api. Alasan Greta enggan menggunakan pesawat adalah demi membatasi dampak karbon emisi pesawat yang berdampak buruk terhadap lingkungan.

Lantaran sikapnya ini, Greta pernah mendapat perundungan atau bully dari netizen. Akan tetapi, dia tak ambil pusing dengan bully warganet itu dan memilih mengabaikan mereka.

"Akan selalu ada orang-orang yang tidak paham atau tidak ingin menerima ilmu pengetahuan dan aku akan mengabaikan mereka karena aku hanya ingin berbicara mengenai ilmu pengetahuan," ujar Greta dalam akun Twitter miliknya.

Meski demikian, sikap menolak naik pesawat ini mulai cukup banyak diikuti sejumlah pesohor di negara asalnya. Salah satunya, Bjorn Ferry, komentartor olah raga ski di Swedia, yang memilih memakai moda transportasi kereta untuk menghadiri pertandingan.

Tak hanya itu, beberapa masyarakat Swedia juga mulai mengikuti langkah Greta ini. Bahkan berdasar hasil penelitian World Wildlife Foundation seperti dikutip dari Daily Mail pada Maret 2019 menemukan, satu dari lima orang di Swedia memilih menggunakan kereta untuk bepergian dibanding pesawat demi mengurangi dampak kerusakan lingkungan.

Penelitian lain yang dipublikasikan majalah wisata asal Swedia, Vagabond, mengungkapkan, telah terjadi penurunan sebanyak 64 persen jumlah penduduk Swedia yang bepergian ke luar negeri. Alasannya tak lain faktor iklim. []

Berita terkait
Pejuang Iklim Greta Thunberg Kena Bully Donald Trump
Greta Thunberg kena bully Presiden Amerika Serikat Donald Trump, lantaran dinobatkan sebagai Person of the Year 2019 versi Majalah Time.
Uni Eropa dan Indonesia Tanggulangi Dampak Perubahan Iklim
Uni Eropa optimistis pemerintah Indonesia akan tingkatkan upaya untuk menanggulangi dampak perubahan iklim
Iklim Buruk, Ribuan Warga Afghanistan Eksodus dan Nikahkan Anaknya Demi Uang
11 juta orang di Afghanistan akan menghadapi krisis pangan akut hingga Februari 2019.