Getir Hati Petani Garam di Pangkep

Musim kemarau sedang baik untuk memproduksi garam, namun Rusman memutuskan untuk berhenti jadi petani garam, beralih ke nelayan.
Rusman 40 tahun, petani garam di Kabupaten Pangkep yang sedang gelisah. (Foto: Tagar/Aan Febriansyah)

Pangkep - Pagi itu cuaca di Kelurahan Pundata Baji, Kecamatan Labakkang, Kabupaten Pangkep dalam kondisi yang cerah dengan paparan matahari langsung dari atas langit. Sekitar 15 hektare tambak garam milik warga setempat tidak lagi berproduksi secara maksimal, bahkan ada yang berhenti sementara waktu.

Rusman, seorang di antara sejumlah warga yang ikut menghentikan produksi garam lokal meski cuaca kemarau sedang baik-baiknya untuk dipergunakan memproduksi garam. 

Lelaki yang kini berusia 40 tahun itu memilih menghentikan produksi di tambak garam miliknya karena harga garam di pasar mengalami penurunan.

"Sebenarnya saat musim kemarau inilah produksi garam di Pangkep biasanya melimpah ruah. Tapi dengan adanya kondisi harga garam anjlok, makanya beberapa petani garam memilih untuk menghentikan produksi sementara waktu," kata Rusman kepada Tagar, Kamis, 4 Juli 2019.

Baginya, dengan menghentikan proses produksi garam lebih baik daripada terus memproduksi garam sementara harga jual di pasar semakin turun. Selain rugi waktu, Rusman juga mengaku rugi tenaga dan modal juga sulit untuk kembali.

"Seharusnya para petani saat ini sudah memperoduksi garam, tapi karena harganya begini, warga yang menjadi petani garam tidak mau memproduksi karena rugi," tambah pria yang menggunakan kaos berwarna putih itu.

Seharusnya, para petani saat ini sudah memperoduksi garam, tapi karena harganya begini, warga yang menjadi petani garam tidak mau memproduksi karena rugi.

Petani GaramRusman memutuskan beralih profesi, dari petani garam ke nelayan. (Foto: Tagar/Aan Febriansyah)

Menurutnya, sebelum adanya kejadian harga garam yang anjlok di pasaran, petani di Pangkep biasanya satu karung garam yang beratnya mencapai 60 kilogram dijual seharga Rp 75 ribu. Tapi dengan turunnya harga di pasaran, dengan berat yang sama kini harga garam hanya Rp 50 ribu.

"Harganya terlalu jauh, normalnya itu Rp 75 ribu. Tapi pernah malah kita jual itu Rp 100 ribuan satu karung. Sekarang Rp 50 ribu," kata Rusman.

Pria berkulit sawo matang ini menceritakan, selain harga garam yang saat ini merosot, keluhan lain yang dirasakan masyarakat juga adalah sulitnya mendapatkan pembeli untuk hasil produksi mereka. Alhasil, dengan banyaknya produksi sementara pembeli tidak ada, garam produksi petani hanya akan disimpan di dalam kolong rumah.

"Masih ada kita simpan itu sisa-sisa panen tahun lalu. Itu juga tidak ada pembeli, padahal kalau kita simpan terus ini, makin sedikit karena dia kan sifatnya mencair. Lama-lama tersimpan begini, jelasnya rugilah," ujar dia sambil menunjukkan garam tersimpan dalam wadah karung yang berada di bawah kolong rumahnya.

Masa Kejayaan

Rusman menceritakan masa kejayaan harga garam di pasar, petani bisa berkali-kali panen, apalagi kondisi cuaca musim kemarau memang sangat cocok untuk melakukan produksi.

Dengan panen berkali-kali membuat gubuk-gubuk penyimpanan garam hasil panen dari petani garam tidak lagi bisa menampung jumlah produksi garam.

"Dulu, gubuk-gubuk penyimpanan garam yang ada bahkan tidak mampu menampung hasil panen, banyak yang tersimpan di pinggiran jalan. Namun saat ini, tidak satupun gubuk yang berisikan hasil panen garam," ujar Rusman saat menunjukkann kondisi gubuk penyimpanan yang kosong.

Selain disimpan dalam gubuk, karena banyak jumlah produksi garam, pada 2018 semua pematang penuh, bahkan sampai ke jalan raya.

Petani GaramTambak garam milik Rusman. (Foto: Tagar/Aan Febriansyah)

"Setahun lalu juga kita sempat mendapat harga bagus, malah banyak yang naik haji karena harganya tinggi," tuturnya.

Dengan merosotnya harga garam di pasar, membuat sejumlah petani garam harus banting setir demi asap tetap mengebul dari balik dapur rumah. Salah satu alternatif pekerjaan yang dilakukan oleh petani garam adalah dengan menjadi nelayan untuk sementara waktu.

Hal ini juga yang ditempuh Muhlis, petani garam yang lain.

"Mau tidak mau, menjadi nelayan adalah alternatif bagi kami para petani, karena kalau tidak mencari sumber penghasilan lain, keluarga di sini mau makan apa," kata Muhlis.

Pria 38 tahun itu mengaku belum tahu akan sampai kapan melaut untuk mencari ikan yang kemudian dijual langsung ke masyarakat maupun dijajakan di pasar.

"Kalau harga garam sudah kembali normal, baru akan kembali ke tambak untuk memproduksi garam. Tapi sampai belum ada kepastian maka akan terus mencari ikan," ujarnya dengan raut wajah sedih.

Menanggapi anjloknya harga garam di Pangkep, Kepala Dinas Perikanan dan Kelautan (DPK) Pangkep, Andi Farida mengatakan harga penjualan garam kini anjlok karena secara nasional pemerintah terus melakukan impor garam.

Sehingga stok dalam negeri melimpah dan menurunkan harga produksi garam petani lokal. Meski demikian, pihaknya tetap mendorong produksi garam petani tambak.

Petani GaramGaram harga anjlok di pasaran membuat petani garam merasa getir. (Foto: Tagar/Aan Febriansyah)

"Selain karena secara nasional, pemerintah terus melakukan impor garam, juga masih perlu perbaikan kualitas. Kami tetap mendorong karena pada saat musim kemarau, tidak bisa juga melakukan budidaya komoditi lain terutama yang betul-betul adalah areal garam," ujarnya.

Menteri Susi: Impor Berlebihan

Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti ikut angkat bicara soal turunnya harga garam produksi petani lokal. Menurutnya, harga garam yang anjlok di pasaran karena faktor impor garam yang berlebihan.

Sementara, stok garam produksi petani lokal terus melimpah, sehingga mengakibatkan garam yang diproduksi petani lokal harganya anjlok. 

“Persoalan harga jatuh adalah impor terlalu banyak dan bocor. Titik. Itu persoalannya,” kata Susi di Jakarta.

Saat ini, kata Susi, garam impor yang masuk ke dalam negeri di bawah 3 juta ton, maka harga garam di tingkat petambak tidak akan anjlok seperti saat ini.

“Kalau diatur impornya di bawah 3 juta ton kayak tempo hari kan harga di petani masih bisa Rp 2.000, Rp 1.500. Persoalannya impor terlalu banyak dan itu bocor,” ujar menteri yang identik dengan gaya nyentrik itu.

Selain Menteri Susi, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan juga ikut mengomentari harga garam yang membuat petani lokal menjerit.

Luhut mengatakan, berkaitan harga garam yang anjlok dirinya akan mencari tahu penyebab harga garam yang anjlok belakangan ini. Luhut juga tidak ingin berspekulasi soal harga garam yang hanya dihargai Rp 300 per kg.

Luhut mengaku belum tahu penurunan harga garam disebabkan pasokan garam impor yang bocor dan merusak harga pasaran. []

Berita terkait
0
Dua Alasan Megawati Belum Umumkan Nama Capres
Sampai Rakernas PDIP berakhir, Megawati Soekarnoputri belum mengumumkan siapa capresnya di Pilpres 2024. Megawati sampaikan dua alasan.