Jakarta - Baru beberapa hari Presiden Joko Widodo (Jokowi) melantik Sandiaga Uno sebagai Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, politisi Gerindra itu telah memicu perdebatan di tengah masyarakat dan netizen.
Rencana Sandiaga Uno untuk membangun wisata halal dan religi mendapat tanggapan dari banyak kelompok masyarakat, termasuk Dewan Pimpinan Pusat Gerakan Angkatan Muda Kristen Indonesia (DPP GAMKI).
Seharusnya Sandiaga Uno tidak mengeluarkan pernyataan yang provokatif melainkan fokus melakukan pengembangan pariwisata yang berdasarkan pada budaya dan kearifan lokal
Menyikapi itu, Kepala Departemen Hubungan OKP dan Komunitas DPP GAMKI, Teofilus Tampubolon mengatakan polemik ini seharusnya tidak perlu terjadi jika Sandiaga Uno belajar dari Menteri Pariwisata sebelumnya.
"Kita masih ingat tahun lalu, beberapa hari setelah dilantik, Wishnutama juga membahas tentang wisata halal, dan mendapatkan banyak penolakan dari masyarakat. Seharusnya Sandiaga Uno tidak mengeluarkan pernyataan yang provokatif melainkan fokus melakukan pengembangan pariwisata yang berdasarkan pada budaya dan kearifan lokal," kata Teofilus kepada Tagar, Selasa, 29 Desember 2020.
Dia menilai, penggunaan kata 'wisata halal' menimbulkan dikotomi dan ada kesan bahwa kawasan wisata tersebut sebelumnya tidak halal alias haram, sehingga kemudian harus diberikan label halal agar dapat dikunjungi wisatawan.

Padahal selama ini, menurut Teofilus, berbagai kawasan wisata telah berupaya menyiapkan fasilitas dan pelayanan yang sesuai dengan kebutuhan pengunjung, termasuk wisatawan yang beragama Islam.
"Jika kita menuju ke Kawasan Danau Toba melalui Bandara Silangit, di bandaranya telah tersedia mushola, dan rumah makan halal. Walaupun Danau Toba itu mayoritas Kristen, di area bandara tidak kita temukan fasilitas tempat ibadah Kristen ataupun rumah makan Batak," ujarnya.
"Jadi sebenarnya masyarakat lokal dan pelaku wisata sudah berusaha menyesuaikan dengan kebutuhan wisatawan. Namun, masih harus ditingkatkan pelayanannya," ucap Teofilus menambahkan.
Lebih lanjut, dia meminta pemerintah melalui Menteri Pariwisata untuk tidak lagi memakai istilah wisata halal untuk suatu daerah tempat rekreasi, melainkan memberi edukasi dan sosialisasi kepada para pelaku tentang bagaimana membangun kawasan bertamasya yang ramah kepada wisatawan dari berbagai latar belakang daerah, agama, suku, negara, dan lainnya.
Kendati demikian, GAMKI mendukung program wisata religi yang dicanangkan pemerintah. Pihaknya meminta pemerintah pusat dan daerah untuk bekerja sama mengembangkan tempat-tempat rekreasi yang memiliki kesan spiritualitas atau memberikan pengalaman rohani.
"Kalau wisata religi kita sepakat, walau kita lebih terbiasa dengan istilah wisata rohani. Misalnya di Kristen Protestan, bisa wisata rohani tentang sejarah masuknya Nomensen ke Tanah Batak, atau masuknya Injil ke Tanah Papua di Pulau Mansinam," tuturnya.
"Kalau di agama Islam bisa tentang sejarah Wali Songo. Begitu juga agama Katolik, Hindu, Buddha, Konghucu, pasti ada sejarah yang dapat menjadi pengalaman rohani bagi wisatawan. Namun wisata halal, kami menolak keras," ucapnya menambahkan.
Sementara, Sekretaris DPP GAMKI Bidang Pariwisata Claudia Rande Sumomba menjelaskan, sebenarnya yang dimaksud dengan wisata halal adalah adanya fasilitas dan pelayanan di kawasan itu sesuai dengan kebutuhan wisatawan, dalam hal ini wisatawan Muslim.
Misalnya ketersediaan hotel atau rumah makan yang menyediakan makanan dan minuman yang halal berdasarkan aturan-aturan Islam. Tersedianya fasilitas dan tempat shalat seperti masjid atau mushola.
Kemudian, fasilitas kolam renang atau pemandian yang terpisah untuk pria dan wanita, dan lain sebagainya.
Dia berpandangan, pelayanan dan fasilitas tersebut seharusnya disediakan oleh para pelaku wisata, sesuai dengan kebutuhan pelancong yang datang ke kawasan tersebut.
Tentunya pelayanan yang diberikan tidak hanya berlaku pada kebutuhan wisatawan Muslim, melainkan untuk kepentingan seluruh wisatawan lainnya, termasuk pengunjung disabilitas.
"Sebenarnya ini hukum pasar. Bahwa pelaku wisata harus menyiapkan fasilitas dan pelayanan sesuai kebutuhan tamu sehingga tamunya betah tinggal di tempat wisata tersebut, tanpa harus ada embel-embel wisata halal," katanya.
Dia berujar, edukasi itu merupakan kewajiban pemerintah untuk memberitahu tentang bagaimana melakukan pengembangan kawasan wisata yang ramah pengunjung. Di sisi lain, penyedia tempat wisata juga bertanggungjawab untuk memberikan fasilitas dan pelayanan yang sesuai dengan kebutuhan pasar.
- Baca juga: GAMKI Harap Menag Angkat Status IAKN Jadi Universitas Kristen Negeri
- Baca juga: GAMKI Apresiasi Pemberian Dana Kompensasi Kepada Korban Terorisme
"Setiap pelaku wisata, baik hotel, rumah makan, bandara, toko oleh-oleh, ataupun berbagai objek wisata lainnya harus menyiapkan pelayanan yang sesuai dengan kebutuhan wisatawan. Masih ada kekurangan dalam hal fasilitas dan pelayanan. Kekurangan ini yang harus perbaiki. Saya rasa tentang ini kita semua sepakat," ucap Claudia.[]