GAMKI dan Dialog Adil Papua-Jakarta

GAMKI mengatakan pemerintah perlu membentuk kembali unit kerja khusus untuk Papua, menciptakan dialog adil antara Papua dan Jakarta.
Ketua Umum DPP GAMKI Willem Wandik (kedua dari kiri) dalam dialog publik \\'Membangun Dialog yang Setara dan Adil antara Papua dan Jakarta\\' di Jakarta, Jumat, 27 September 2019. (Foto: GAMKI)

Jakarta - Penghapusan diskriminasi rasial adalah kata kunci dialog Papua-Jakarta. Pamerintah harus membentuk kembali unit kerja khusus untuk Papua.

Hal tersebut merupakan kesimpulan dari dialog publik bertema 'Membangun Dialog Setara dan Adil antara Papua dan Jakarta', di Jakarta, Jumat, 27 September 2019.

Ketua Umum DPP GAMKI Willem Wandik yang juga Anggota DPR RI dari daerah pemilihan Papua mengatakan, pemerintah perlu membentuk desk atau unit khusus Papua seperti yang pernah dilakukan pemerintahan sebelumnya. 

Dialog yang adil dan setara harus dikedepankan untuk menjawab kebuntuan solusi selama ini. 

Willem juga mengatakan DPP GAMKI berkomitmen secara rutin melaksanakan forum dialog, melibatkan generasi muda dan tokoh-tokoh Papua. Sebab, lanjutnya, selama ini diskusi-diskusi yang dilakukan tentang Papua belum menyentuh akar persoalan.

"Diskriminasi terhadap mahasiswa Papua harus menjadi fokus perhatian. Hal ini cenderung disepelekan oleh negara kemudian dikaburkan dengan masalah kesejahteraan, pemekaran wilayah, dan pembangunan fisik. Padahal rasisme adalah musuh global yang harus diselesaikan hingga ke akar-akarnya," ujar Willem.

Rasisme adalah musuh global yang harus diselesaikan hingga ke akar-akarnya.

Dalam kesempatan sama, Ketua Badan Musyawarah Papua dan Papua Barat se-Jabodetabek, Willem Frans Ansanay, mengatakan harus ada dialog antara tujuh suku dan komponen-komponennya.

"Selain itu Undang-Undang Otonomi Khusus harus direvisi, sehingga hak-hak politik dan ekonomi dikembalikan ke Papua. Sebenarnya ada banyak proteksi dan afirmasi terhadap masyarakat Papua di berbagai bidang, akan tetapi rancangan-rancangan Perda Khusus seringkali tidak bisa disetujui dan diwujudkan," ujar Ansanay.

Sementara itu, tokoh muda Papua, Methodius Kossay mengatakan sebelum memperkuat Undang-Undang Otonomi Khusus, perlu menyembuhkan luka batin anak muda Papua. Hal ini penting agar terbangun kembali rasa saling percaya antara pemerintah dan pemuda mahasiswa.

"Mahasiswa Papua mengalami trauma mendalam. Pemerintah selalu menaruh kecurigaan terhadap aktivitas mahasiswa Papua, bahkan diskusi-diskusi mahasiswa sering dibatalkan. Mahasiswa Papua yang ditahan di Mako Brimob agar dapat secara mudah dikunjungi oleh sahabat dan keluarganya. Ini adalah bagian dari rekonsiliasi itu," ujar Kossay.

GAMKIKetua Umum DPP GAMKI Willem Wandik (ketiga dari kiri) bersama para pembicara dalam dialog publik \\'Membangun Dialog yang Setara dan Adil antara Papua dan Jakarta\\' di Jakarta, Jumat, 27 September 2019. (Foto: GAMKI)

Kata Peneliti LIPI

Dialog publik ini juga menghadirkan peneliti dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Adriana Elisabeth.

Adriana mengatakan skema akar masalah di Papua, satu di antaranya adalah marjinalisasi dan diskriminasi terhadap masyarakat Papua.

Selain itu juga adalah kegagalan pembangunan, antara lain pelaksanaan Otonomi Khusus dalam 20 tahun ini. Berikutnya adalah kekerasan oleh negara, pelanggaran HAM, dan pendekatan milisteristik yang masih dominan. 

Ia mengatakan LIPI sedang merumuskan format dan agenda dialog sederhana yang mampu dilakukan pemerintah melalui pendekatan non-kekerasan dan menghilangkan represifitas.

"LIPI melihat, perlunya rekognisi peran-peran masyarakat Papua terhadap Indonesia. Penghentian kekerasan dan pengusutan kasus-kasus pelanggaran HAM harus dituntaskan. Begitu juga dengan penarikan pasukan dari Papua. LIPI juga beberapa kali sudah menyarankan agar pemerintah melakukan pendekatan dialog dan bukan militeristik," ujar Adriana.

Berkarya dalam Diam

Pelaku social entrepreneur, Billy Mambrasar, juga hadir dalam dialog publik ini.

Billy dalam perspektifnya melihat banyak generasi muda Papua berkarya dalam diam, tidak diekspos media.

"Kita harus mengubah paradigma tentang kekayaan alam Papua dari kepemilikan menjadi pengelolaan. Potensi sumder daya alam yang banyak tanpa kemampuan mengelola dan memaksimalkan nilai tambah akan menjadi sia-sia. Oleh karena itu kita harus fokus pada sumbe daya manusia yang kompetitif, bersaing, dan berkarya," tutur Billy.

Billy mengatakan dirinya memilih berinovasi dan melatih anak-anak Papua untuk ber-entrepreneur. Fenomena yang terjadi bahwa banyak orang Papua yang berkarya di luar negeri dan hasil kerjanya diakui oleh dunia namun tidak mendapat perhatian di Indonesia.

Prioritaskan Orang Asli Papua

Mantan Ketua Umum Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI), Pdt. SAE Nababan juga hadir di dialog publik ini.

Nababan mengatakan pendekatan militeristik harus diakhiri, pelaku rasisme harus dihukum, dan berikan kesempatan yang lebih besar kepada orang Papua.

"Saya pernah ke Papua dan melihat mama-mama Papua berjualan di pinggir jalan, sedangkan para pendatang mendapatkan tempat berjualan lebih baik. Pada saat itu saya sarankan kepada pemerintah untuk membalikkan keadaan tersebut, bahkan kalau bisa prioritaskan orang asli Papua," ujar Nababan. []

Berita terkait
GP Ansor dan GAMKI: Jangan Ada Militeristik di Papua
GP Ansor, Pemuda Muhammadiyah, Pemuda Katolik, dan Gerakan Angkatan Muda Kristen Indonesia menyatakan sikap bersama terkait kondisi di Papua.
Ketua GAMKI Sebut Hukum Aktor Intelektual Papua
Ketua GAMKI mendorong pemerintah dan aparat keamanan merespons cepat melakukan investigasi mencari aktor intelektual terkait gejolak di Papua.
Sikap GAMKI, Ansor, dan 9 Organisasi Terkait Papua
GAMKI, GP Ansor dan 9 organisasi kepemudaan menyatakan sikap terhadap peristiwa di Malang dan Surabaya terkait persekusi mahasiswa Papua.
0
Surya Paloh Sebut Nasdem Tidak Membajak Ganjar Pranowo
Bagi Nasdem, calon pemimpin tak harus dari internal partai. Ganjar Pranowo kader PDIP itu baik, harus didukung. Tidak ada membajak. Surya Paloh.