Esai Ibnu Wahyudi: Begal Payudara

Izinkan saya mengembalikan ingatan kepada pemahaman atas kata "begal" yang saya ketahui sejak tahun 1960-an.
Ilustrasi begal payudara. (Foto: Tagar/Ilustrasi)

Izinkan saya mengembalikan ingatan kepada pemahaman atas kata "begal" yang saya ketahui sejak tahun 1960-an. Pada pertengahan dekade itu, ketika saya baru di kelas-kelas awal SD, ibu saya sering mewanti-wanti untuk berhati-hati dengan begal.

Saya tidak terlalu sering pergi ke rumah eyang sendirian, tapi sesekali diminta ibu untuk ke sana. Jarak yang tidak lebih dari lima kilometer, harus saya lakukan dengan berjalan kaki. Bukan jalur yang menyeramkan sebetulnya, tapi pesan ibu itu selalu saya ingat.

Kata ibu, kalau dari kejauhan melihat orang pakai baju hitam-hitam dan pakai caping yang menutup sebagian kepala dan wajah, cari saja jalan lain. Hindari orang itu sebab mungkin dia adalah begal. Demikian antara lain kata-kata ibu.

Dijelaskan pula oleh ibu, begal itu merampas harta kita terang-terangan di jalan. Bisa bertindak sendirian atau bersama komplotannya. Jadi, intinya merampas barang kita.

Saat ini populer dengan frasa "begal payudara" sehingga imajinasi saya menjadi kacau-balau. Sulit untuk memahami bahwa begal itu hanya meremas atau mungkin juga "memeras" seperti ditulis oleh satu media, tetapi merampas payudara. Terus, payudara yang telah dirampas itu dijadikan apa?

Oh, maaf, tentu tidak mungkin ya, payudara dirampas. Sangat mengerikan sebab darah pasti akan mengalir dan membasahi baju korban. Kasihan sekali.

Mustahil seperti itu, ya? Namun, mengapa frasa "begal payudara" dibiarkan terus mengada? Apa karena tindakan tersebut biasanya dilakukan di jalan sehingga dipilih kata "begal"?

Ibnu Wahyudi

Pengajar Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya UI

(8 November 2020)

Berita terkait
Esai Ibnu Wahyudi: Selamat Jalan Ki Seno
Sewaktu kecil, aku punya beberapa wayang. Tidak terbuat dari kulit tetapi hanya dari karton.
Esai Ibnu Wahyudi: 515 Sinopsis Roman Panglipur Wuyung
Istilah "roman panglipur wuyung" mengacu kepada semacam novelet populer atau roman picisan dalam bahasa Jawa.
Esai Ibnu Wahyudi: Ron Do Bolong dan Janda Bolong
Tengah marak kabar yang bernada agak menistakan nalar waras. Apalagi kalau bukan ihwal tanaman hias yang populer disebut "janda bolong"?