Energi Terbarukan Jokowi yang Mangkrak

jokowi bilang target pasokan energi listrik melalui pembangkit listrik Energi Baru Terbarukan sebesar 23 persen pada 2025.
Pembangkit Listrik Tenaga Bayu (PLTB) tersebut berdiri di atas lahan seluas 100 Hektar, yang berada di Desa Lainungan, Kecamatan Watam Pulu Kabupaten Sidrap.

Jakarta - Presiden Joko Widodo pernah mengutarakan pada pemerintahannya dapat memenuhi target dalam memasok energi listrik melalui pembangkit listrik Energi Baru Terbarukan (EBT) sebesar 23 persen pada tahun 2025.

Namun sudah hampir empat tahun berjalan, sudah sejauh mana perjalanan pembangunan pembangkit listrik EBT di Indonesia?

Institute for Essential Services Reform (IESR) merilis laporannya mengenai prospek ke depan pembangunan EBT pada era Jokowi dari 2014-2018. Ada beberapa hal yang disoroti, antara lain:

Inkonsistensi Politk

Pada tahun 2015, Presiden Jokowi mengungkapkan komitmen dan dukungan politiknya untuk investasi pengembangkan energi terbarukan, baik dari pemimpin nasional dan sektoral. 

Hal itu dia sampaikan dalam beberapa peresmian proyek pembangkit listrik EBT, seperti Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi/Geothermal (PLTB) Kamojang Kabupaten Bandung Jawab Barat dan saat meresmikan program 35 ribu MegaWatt di Samas, Bantul. 

Presiden juga berencana untuk memberi insentif khusus untuk investasi EBT. Menurut Presiden, pemanfaatan EBT harus didorong karena Indonesia memiliki kekayaan sumber daya EBT seperti air, angin dan panas bumi.

Namun pada tahun 2016, dalam acara peresmian Pembangkit Listrik Tenaga Baru (PLTB) di Sidrap, Sulaweasi Selatan, Presiden Jokowi mengatakan harga listrik energi terbarukan masih mahal. 

Akibatnya, timbul keraguan dalam melihat komitmen Presiden Jokowi dalam membangun EBT untuk memenuhi target 23 persen pada tahun 2025.

Inkonsistensi Regulasi

Pada 2014, pengembangan energi terbarukan dikebut melalui penerapan regulasi dengan memberi insentif harga bagi listrik energi terbarukan, khususnya untuk panas bumi (geothermal), mikro/mini-hydro dan biomassa dalam bentuk kebijakan feed in tariff (FiT).

Arah kebijakan ini dilanjutkan hingga pertengahan 2016, bahkan regulasi feed in tariff diperluas, dan dibuat lebih spesifik untuk pembangkit surya dan bayu (angin). Saat itu, Kementerian ESDM juga merencanakan pembentukan Dana Ketahanan Energi (DKE) untuk mendukung pengembangan energi terbarukan.

Namun, pasca reshuffle kabinet pada akhir 2016, Menteri ESDM mengeluarkan kebijakan yang bernuansa kontradiktif dari kebijakan FiT dan menempatkan energi terbarukan agar bersaing dengan harga listrik pembangkit konvensional berbasis bahan bakar fosil seperti Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU).

Pada awal 2017, Menteri ESDM mengeluarkan regulasi baru yang membuat tarif listrik dari pembangkit energi terbarukan dipatok setara (maksimal 100 persen) atau lebih rendah (maksimal 85 persen) dari Biaya Pokok Pembangkitan (BPP) PLN yang diatur dalam Permen ESDM No. 12/2017, yang kemudian diubah menjadi Permen ESDM No. 50/2017.

Kebijakan Pendanaan

Skema pendanaan yang digunakan dalam investasi pembangkit listrik sedang tidak terlalu menguntungkan pembangkit listrik EBT. Perubahan arah kebijakan dan regulasi menyebabkan lembaga keuangan menyalurkan pembiayaan bagi proyek energi terbarukan dengan lebih berhati-hati. 

Hal ini disebabkan meningkatnya profil risiko proyek akibat perubahan regulasi, serta meningkatnya tuntutan lembaga keuangan kepada pengembang proyek untuk memiliki kapasitas pendanaan yang lebih besar dalam bentuk ekuitas dan jaminan (collateral) serta kemampuan finansial untuk memitigasi risiko-risiko yang muncul akibat adanya regulasi baru, misalnya Permen ESDM No. 10/2017 tentang Pokok-Pokok Perjanjian dalam Jual Beli Tenaga Listrik.

Kapasitas dan kemampuan finansial investor dalam negeri yang membangun dan mengoperasikan pembangkit-pembangkit skala kecil (dibawah 10 MW) selama ini terbatas dengan adanya berbagai regulasi tersebut. 

Terlepas dari penerapan prinsip 5C oleh lembaga keuangan, meningkatnya risiko proyek akibat regulasi yang mempengaruhi bankability sebuah proyek membuat lembaga keuangan berupaya memitigasi risiko-risiko yang muncul dan implikasinya adalah munculnya beban tambahan bagi para pengembang (lokal) yang menghambat mereka mendapatkan pendanaan.

Banyak Proyek Terancam Mangkrak

Hingga tahun penganggaran 2018, tercatat ada 46 proyek Pembangkit Listrik EBT yang terancam mangkrak. Proyek tersebut adalah bagian dari 70 proyek pembangkit yang mampu menghasilkan 1.214,16 MegaWatt (MW).

Hal ini menurut Direktur Aneka Energi Baru dan Terbarukan Direktorat Jenderal Energi Baru dan Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM, Harris mengatakan 46 proyek tersebut belum menerima komitmen pembiayaan akhir (financial closing).
Kementerian ESDM telah memfasilitasi 46 kontraktor proyek untuk bertemu dengan OJK sehingga dapat membahas proses pembiayaan tersebut.

Baca juga:

Berita terkait
0
Video Jokowi 'Menghadap' Megawati Sangat Tidak Elok Dipertontonkan
Tontonan video Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) yang sedang bertemu dengan Ketua Umum PDIP, Megawati Soekarno Putri, sangat tidak elok.