Untuk Indonesia

Eko Kuntadhi: Cara Beragama yang Melecehkan Perempuan

Lisa Martina, perempuan berjilbab terlibat perdebatan di media sosial. Isunya soal pelecehan perempuan. Tulisan opini Eko Kuntadhi.
Ilustrasi - Sunset di Pantai Seminyak Bali. (Foto: Instagram/Meari)

Oleh: Eko Kuntadhi*

Lisa Martina, perempuan berjilbab terlibat perdebatan di media sosial. Isunya soal pelecehan perempuan. Sialnya, bukannya membela kaumnya ia malah melecehkan warga Bali.

"Di Bali itu gak ada pelecehan seksual. Karena kalau dilecehkan ya, senang-senang aja. Mau menyalurkan hasratpun gampang karena pelacurnya available setiap jengkal. Modal sedikit dapat. Jadi gak yang di-laporin tuh," tulisnya.

Teman saya, Niluh Djelantik, warga Bali keki atas komentar Lisa. Ia bermaksud melaporkan omongan ngaco Lisa ke polisi. Saya sih, setuju saja. Biar Lisa belajar bahwa cara pandangnya yang picik dan penuh purbasangka hanya cocok untuk dirinya sendiri saja. Gak cocok untuk dunia yang sudah bergerak maju.

Lisa adalah pedagang jilbab online. Pandangannya tentang perempuan di Bali memang begitu memuakkan.

Cara pandang seperti ini memang khas, dibangun dari asumsi bahwa dirinya adalah makhluk Tuhan, yang tercipta, yang paling suci. Dia merasa sudah beragama, lalu dengan mudah menuding pihak lain rusak karena tidak beragama seperti dirinya.

Banyak orang mau berdakwah soal pakaian perempuan, dengan alasan bahwa pakaian tertutup menjauhkan mereka dari pelecehan seksual. Padahal data penelitian KPAI menyebutkan pelecehan bisa terjadi pada siapa saja. Bahkan perempuan berjilbab pun bisa menjadi korban pelecehan. Jumlahnya banyak. Setara dengan perempuan tidak berjilbab.

Artinya soal pakaian tidak menjadi penghalang perempuan jadi korban pelecehan. Asumsi bahwa pelecehan dimulai dari pakaian yang mengundang itu sungguh menyakitkan. Pertama karena asumsi itu justru menyalahkan korban. Kedua, pandangan seperti itu terkesan membela orang biadab yang melakukan pelecehan.

Pandangan seperti itu dimulai dari posisi perempuan yang ditempatkan hanya sebagai objek seksual. Maka doktrin tentang pakaian muslimah banyak yang beranjak dari cara pandang itu. Akibatnya seperti ada stigma bahwa perempuan tidak berjilbab diposisikan sedang mempertontonkan keindahan tubuhnya. Jika ada yang tergoda lalu melecehkan mereka, yang disalahkan justru perempuannya. Kenapa berpakaian mengundang?

Betapa piciknya.

Padahal, sekali lagi, perempuan berjilbab pun banyak yang jadi korban pelecehan. Di Indonesia jumlahnya lebih banyak dari perempuan tidak berjilbab. Bukan berarti pakai jilbab malah mengundang pelecehan. Tapi dalam kasus ini ternyata jilbab gak bisa menghalangi nafsu lelaki biadab sehingga tetap melakukan pelecehan.

Problem cara pandang ini jika ditelusuri lagi muaranya bersumber dari pemahaman agama yang menempatkan perempuan sebagai makhluk kelas dua.

Coba perhatikan baik-baik. Ada kesamaan cara pandang antara penganjur pakaian syari dengan para pelaku pelecehan. Kaum penganjur pakaian syari selalu memulai argumennya bahwa perempuan adalah objek seks. Karena itu memakai jilbab atau cadar berguna untuk menutupi dirinya dari pandangan nakal lelaki. Sementara para pelaku pelecehan juga memandang hal yang sama: perempuan adalah objek seks. Mau pakai jilbab atau bikini sama saja.

Problem cara pandang ini jika ditelusuri lagi muaranya bersumber dari pemahaman agama yang menempatkan perempuan sebagai makhluk kelas dua. Posisinya diletakkan di belakang lelaki. Seolah Tuhan menciptakan dunia untuk kaum lelaki. Termasuk penciptaan perempuan tujuannya juga untuk menyenangkan lelaki.

Pertanyaannya, apakah benar begitu? Padahal sebelum seseorang diciptakan sebagai perempuan, ia lebih dulu diciptakan sebagai manusia. Sementara jenis kelamin adalah atribut biologis. Hakikat dasarnya adalah manusia yang tidak dibedakan apa jenis kelaminnya. Toh, dalam agama, pada akhirnya masing-masing individu akan bertanggung jawab di hadapan Tuhan. Lelaki atau perempuan sama saja.

Tapi kebanyakan penganjur agama adalah lelaki. Bias biologisnya bisa saja mengaburkan tafsirnya soal posisi perempuan. Barangkali juga justru agama dijadikan sarana untuk melakukan eksploitasi pada kaum perempuan.

Jangan heran kalau kelompok ini gemar menebarkan pemahaman bahwa surga bisa diraih perempuan dengan cara pasrah bongkokan pada suaminya. Bagi saya ini sebuah penjara atas nama agama, agar para lelaki bisa memposisikan dirinya selalu yang paling benar.

Bayangkan. Saking mau menghilangkan makna kemanusiaan seorang perempuan, kini mereka didoktrin untuk memakai pakaian yang menghilangkan identitas dirinya. Wajah adalah identitas seorang manusia. Ada kaum agama yang memaksa perempuan bercadar agar wajahnya tidak mudah dikenali.

Biasanya kelompok ini adalah mereka yang juga mengkampanyekan poligami. Poligami hanya bisa berhasil kalau kaum perempuannya tertindas dan lemah. Poligami tidak mungkin berjalan kalau kaum perempuan memiliki bargaining yang cukup dan punya eksistensi kuat.

Secara keseluruhan cara pandang agama yang memposisikan perempuan cuma sekadar objek seks merupakan cara lelaki untuk mengambil manfaat maksimal dari ketidakberdayaan perempuan. Yang penting adalah lelaki. Perempuan nomor dua.

Bahkan fenomena ini merasuk sampai ke mitos soal perilaku seks. Misalnya, dalam melakukan hubungan seksual perempuan yang 'becek' dipandang dengan stigma buruk. Padahal secara biologis jika perempuan mendapat rangsangan seksual dan ia menikmati dengan sendirinya ada cairan yang dihasilkan. Tapi justru dikembangkan mitos bahwa 'becek' adalah sesuatu yang memalukan.

Akibatnya perempuan harus rela tidak menikmati hubungan seksualnya asal gak dipandang buruk oleh pasangan. Dia juga tidak dibuka kesempatan untuk menuntut mendapat menikmatan yang sama dari pasangannya.

Padahal, di sisi lain, agama menganjurkan untuk memberikan nafkah batin kepada istri. Lho, kalau nafkah batin untuk istri tapi hanya dinikmati oleh lekaki saja, itu gak bisa dikategorikan nafkah dong. Justru itu sedekah dari istri untuk suaminya.

Saya ingin mengatakan begini. Bahwa doktrin agama yang ditafsir secara serampangan seringkali menempatkan perempuan dalam posisi tidak adil. Termasuk juga dalam doktrin tentang pakaian.

Saya meyakini, jika agama diturunkan Tuhan untuk manusia, maka harusnya agama menempatkan setiap manusia setara. Perempuan dan lelaki, di mata Tuhan, semestinya sama saja.

*Penulis adalah Pegiat Media Sosial

Berita terkait
0
Surya Paloh Sebut Nasdem Tidak Membajak Ganjar Pranowo
Bagi Nasdem, calon pemimpin tak harus dari internal partai. Ganjar Pranowo kader PDIP itu baik, harus didukung. Tidak ada membajak. Surya Paloh.