Dunia Tak Siap Hadapi Omicron dan Varian Baru Lain

Pandemi virus corona (Covid-19) melanda dunia sejak dua tahun lalu, dunia tetap harus belajar hidup dengan pandemi
Petugas medis Jerman melakukan vaksinasi terhadap warga di sebuah kereta, dalam program "Vaksinasi Ekspres" di Frankfurt, Jerman, di tengah lonjakan kasus CovidD-19 (Foto: Dok/voaindonesia.com/Reuters)

Jakarta - Pandemi virus corona (Covid-19) melanda dunia sejak dua tahun lalu. Varian Omicron sekarang menyebar cepat, kebanyakan memang tidak mengakibatkan sakit parah. Tapi, dunia tetap harus belajar hidup dengan pandemi. Hal ini dikatakan oleh pejabat Organisasi KesehaanDunia PBB (WHO).

Sejak beberapa waktu belakangan, dengan makin banyak data masuk, ada harapan bahwa varian Omicron tidak menyebabkan penyakit parah secara massal. Namun, Direktur Jenderal WHO, Tedros Adhanom Ghebreyesus, di Jenewa, Swiss, mengingatkan: "Masih ada musim dingin yang berat di hadapan kita."

Tapi situasi di banyak tempat memang tidak separah yang dikhawatirkan semula. "Sekarang kita memiliki instrumen, untuk meredamnya", kata pejabat WHO urusan pandemi, Maria Van Kerkhove, baru-baru ini. Kita bisa "mengakhiri pandemi ini pada 2022", tambahnya,

Instrumen yang dimaksud antara lain vaksin yang semakin banyak dan didistribusikan makin cepat, dan obat penyakit Covid-19 yang sekarang juga mulai diproduksi secara massal.

dirjen whoDirektur Jenderal Organisasi Kesehatan Dunia PBB (WHO), Tedros Adhanom Ghebreyesus, berbicara dalam sebuah kesempatan di Jenewa, Swiss, 29 November 2021 (Foto: voaindonesia.com - AFP/WHO/Christopher Black)

1. Vaksinasi dan penyebaran vaksin tidak merata

Dalam waktu setahun, sekitar 8,5 miliar dosis vaksin sudah digunakan di seluruh dunia. Sampai pertengahan tahun depan produksi vaksin diperkirakan akan mencapai 24 miliar dosis, cukup untuk memvaksinasi seluruh penduduk dunia.

Namun masalahnya, pembagian vaksin dan kecepatan vaksinasi berbeda-beda. Sementara di beberapa negara vaksin booster sudah mulai diberikan dan anak-anak juga mendapat vaksinasi, di beberapa negara lain bahkan belum semua tenaga kesehatan bisa divaksinasi.

WHO kembali mengingatkan ketidakadilan dalam pembagian vaksin. Di negara industri kaya, tingkat vaksinasi rata-rata sudah mencapai 67 persen penduduk, “Sementara di negara miskin belum mencapai 20 persen, kata Tedros.

"Percepatan dan kampanye booster hanya akan memperpanjang pandemi, bukan mengakhirinya", dia mengingatkan. Karena jika virus corona terus bersirkulasi di negara-negara miskin, virus itu bisa terus bermutasi dan kembali lagi ke negara-negara yang sudah melakukan vaksinasi secara luas. Contoh terbaru adalah varian Omicron yang pertama muncul di kawasan Afrika.

Amsterdam setelah pemberlakuan lockdownPusat kota Amsterdam setelah pemberlakuan lockdown baru karena varian Omicron (Foto: dw.com/id)

2. Situasi tetap bisa menjadi di luar kendali

"Di kawasan yang miskin dan belum terjamah vaksinasi secara luas, virus corona akan menggunakan kesempatan untuk bermutasi dan mengembangkan diri," kata pejabat WHO untuk urusan kedaruratan Michael Ryan.

Professor Gautam Menon dari Universitas Ashoka di India mengatakan, negara-negara industri kaya "berpikir terlalu pendek, kalau mau membebaskan diri dari penyakit dengan memvaksinasi dirinya sendiri."

Sementara sebagian pakar menganggap, penyakit Covid-19 tidak lama lagi akan bisa dikendalikan dan akan menjadi endemi seperti penyakit-penyakit lain, WHO tetap mengingatkan bahwa munculnya mutasi-mutasi baru tetap bisa membuat situasi menjadi di luar kendali, “Karena dunia "belum cukup siap," kata Tedros [hp/as (rtr, afp, ap)]/dw.com/id. []

Pandemi di Masa Depan Bisa Lebih Mematikan

Penjelasan Lengkap Soal Pandemi yang Melanda Dunia

Kanselir Jerman dan Dirjen WHO Buka Pusat Pandemi Global di Berlin

Menkes Amerika Serukan WHO Selidiki Asal Muasal Covid-19

Berita terkait
Pandemi di Masa Depan Bisa Lebih Mematikan
Sarah Gilbert, penemu Vaksin AstraZeneca, vaksin yang ada bisa jadi kurang efektif hadapi Omicron, pandemi di masa depan bisa lebih mematikan