Din Syamsuddin Menanggapi Kasus Meiliana

Din Syamsuddin menanggapi kasus Meiliana. “Sekadar protes karena suara adzan yang terlalu keras tidak bisa disebut menistakan agama,” ujarnya.
Utusan Khusus Presidenmuntuk Dialog dan Kerja sama antar Agama, Din Syamsuddin. (Foto: Ant/Martha Simanjuntak)

Jakarta, (Tagar 27/8/2018) – Mantan Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) Din Syamsuddin mengatakan, sekadar protes karena suara adzan yang terlalu keras tidak bisa disebut menistakan agama bila dilakukan dengan cara yang baik.

"Kalau dia menolak sambil mencela adzan sebagai ajaran atau praktik keagamaan, maka itu termasuk menistakan agama," kata Din Syamsuddin di Jakarta, Senin (27/8).

Hal tersebut dikatakan Din Syamsuddin menanggapi Meiliana, seorang warga Tanjung Balai, Medan, Sumatera Utara, yang memprotes suara adzan di masjid yang divonis menista agama.

Utusan Khusus Presiden untuk Dialog dan Kerjasama Antaragama dan Peradaban ini seperti dirilis Antaranews mengatakan, bila protes terhadap suara adzan yang terlalu keras tersebut dilakukan dengan cara kasar dan sinis, mencela dan menghina, hal itu tidak bisa dikatakan hanya memprotes suara adzan.

"Itu sama saja mencela praktik keagamaan umat agama lain. Sesungguhnya dia telah menistakan agama," ujarnya.

Selain Din, putusan Pengadilan Negeri Medan atas Meiliana itu pun mengundang komentar sejumlah pihak. Juru Bicara Dewan Pimpinan Pusat Partai Solidaritas Indonesia (PSI) HM Guntur Romli mengatakan, keputusan pengadilan tersebut mencederai rasa keadilan dan kemanusiaan.

PSI setuju bahwa di Indonesia, penghinaan dengan sengaja terhadap agama, apalagi yang dengan sengaja dilakukan untuk menimbulkan kebencian dan permusuhan antarumat beragama, harus dilarang.

Namun dalam kasus Meiliana, menurut dia, sulit sekali diterima argumentasi bahwa apa yang dilakukan ibu Meiliana adalah sesuatu yang menghina atau menodai agama.

"Ibu Meiliana hanya membandingkan suara pengeras suara dari masjid yang menurutnya lebih keras dari sebelumnya. Itu tentu saja bukan penghinaan atau penodaan. Mengeluhkan suara pengeras suara tidak berarti mengeluhkan suara azan," tegas Guntur.

Guntur pun mengingatkan Kementerian Agama pada 1978 pernah mengeluarkan peraturan tentang penggunaan pengeras suara di masjid, langgar, dan mushala, yang tidak pernah dicabut sampai sekarang.

Dinyatakan dalam peraturan tersebut, penggunaan pengeras suara tersebut harus ditata agar jangan sampai suara dari masjid justru menimbulkan antipati dan kejengkelan.

"Wakil Presiden Jusuf Kalla sebagai Ketua Dewan Masjid Indonesia (DMI) juga pernah mengeluhkan hal yang sama agar pengeras suara diatur sebaik-baiknya," ucap Guntur.

Oleh karena itu, DPP PSI menyatakan keprihatinannya atas keputusan Pengadilan Negeri Sumatera Utara. PSI pun berharap pengajuan banding yang dilakukan tim penasihat hukum Meiliana dapat dikabulkan oleh pengadilan tinggi. "Dan, Bu Meiliana dapat dilepaskan dari tahanan sampai turun keputusan hukum yang bersifat tetap dan mengikat," ujar Guntur.

Baitul Muslimin Indonesia (Bamusi) juga menyayangkan putusan Pengadilan Negeri Medan terhadap Meiliana. "Kasus ini bisa menjadi pembelajaran bagi masyarakat," kata Sekretaris Umum Bamusi Nasyirul Falah Amru, di Gedung MPR/DPR/DPD RI, Jakarta, Kamis.

Sekretaris Umum Organisasi Sayap KeIslaman PDI Perjuangan ini berharap masyarakat tidak terprovokasi, serta lebih mengedepankan toleransi dan saling menghormati antarsesama warga negara yang berbeda keyakinan.

"Tidak ada ruang untuk intoleransi di bumi Pancasila," kata Nasyirul Falah Amru yang akrab disapa Gus Falah.

Menurut Gus Falah, persoalan yang dialami Meiliana seharusnya bisa diselesaikan secara musyawarah dan kekeluargaan, bukannya diselesaikan secara hukum, apalagi dengan delik pidana penistaan agama.

"Saya pikir apa yang dilakukan Ibu Meiliana dengan meminta mengecilkan volume adzan bukan penistaan agama. Kalau memohonnya dengan baik, tentunya harus direspons dengan baik, bukan malah dibawa ke sentimen agama," ujarnya.

Anggota Komisi VII DPR RI ini menilai, vonis 18 bulan penjara tidak adil untuk Meiliana yang memohon agar volume suara adzan dapat dikecilkan. "Permohonan Ibu Meiliana dilakukan dengan baik, bukannya dengan menantang. Ini bukan penistaan agama," ujarnya.

Gus Falah berharap, dalam proses banding nanti, Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Sumatera Utara dapat lebih cermat dalam mempertimbangkan dan memutuskan. "Hakim harus berpihak pada keadilan yang substantif, ucapnya.

Wakil Bendahara Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) ini juga berahap ke depan ada kajian hukum yang benar-benar bisa menjabarkan soal penistaan agama.

"Jangan sedikit-sedikit penistaan agama. Nanti ada masalah sedikit `digoreng jadi penistaan agama. Masyarakat kita kan sekarang lebih suka gorengan matang, mentahnya nggak ngerti, tapi matangnya dimakan juga, kata Gus Falah.

Gus Falah juga meminta nilai-nilai toleransi di bumi Pancasila ini tidak hanya jadi slogan dan meminta para elite untuk tidak memainkan sentimen agama demi ambisi atau kepentingan tertentu.

Nilai-nilai Pancasila harus kita bumikan. Semua pihak harus dapat menahan diri demi keutuhan bangsa dan negara, ujarnya.

Tidak Seharusnya Dipidana

Sementara itu, Ketua Umum Dewan Masjid Indonesia (DMI) Jusuf Kalla menilai, warga yang menyampaikan kritik atas terlalu kerasnya pengeras suara masjid tidak seharusnya dijatuhi hukuman tindak pidana, seperti yang dialami Meiliana.

"Tentu apabila ada masyarakat yang meminta begitu, ya tidak seharusnya dipidana, itu kita akan melihat kejadian sebenarnya apa. Apakah hanya meminta agar jangan diperkeras, itu wajar saja (karena) DMI saja meminta jangan terlalu keras dan jangan terlalu lama," kata Wapres Jusuf Kalla kepada wartawan di Kantor Wapres Jakarta, Kamis.

Wapres mengingatkan kembali bahwa DMI telah mengeluarkan imbauan kepada seluruh masjid untuk tidak terlalu keras membunyikan pengeras suara.

"Intinya adalah bahwa memang kita sudah meminta masjid itu jangan terlalu keras suara adzannya, jangan melampaui masjid yang satu dan lainnya karena jarak antarmasjid itu rata-rata 500 meter. Oleh karena itu, jangan terlalu keras," tegasnya.

Dalam kasus Meiliana, Wapres Kalla mengatakan belum mengetahui secara rinci awal mula kasus tersebut. Wapres Kalla mengatakan perlu ada penjelasan dari pihak-pihak terkait.

"Adzan itu cuma tiga menit, tidak lebih dari itu. Sudah berkali-kali Dewan Masjid menyerukan dan meminta kepada masjid-masjid untuk membatasi waktu pengajian, jangan lebih dari lima menit. Jadi semuanya delapan sampai 10 menit lah," jelas Wapres.

Kasus Meiliana bermula pada 29 Juli 2016 ketika dia menyampaikan keluhan kepada tetangganya, Uo, atas terlalu besarnya volume pengeras suara masjid di depan rumah.

Uo kemudian menyampaikan keluhan Meiliana tersebut kepada adiknya, Hermayanti.

Namun, ungkapan yang disampaikan Uo ke Hermayanti menyinggung ras Meiliana yang merupakan warga keturunan Tionghoa beragama Buddha.

Ucapan yang menyebut ras Meiliana itu juga disampaikan Hermayanti kepada Kasidi, ayah Uo dan Hermayanti, yang merupakan pengurus masjid setempat.

Kasidi pun menyampaikan keluhan tersebut kepada sejumlah pengurus masjid.

Akibatnya, terjadi konflik antara para pengurus masjid dan Meiliana hingga berimbas pada perusakan rumah tinggal Meiliana dan vihara setempat.

Meiliana pun dilaporkan ke polisi dan ditetapkan sebagai terpidana atas kasus penistaan agama dengan vonis 18 bulan penjara pada Selasa (21/8). []

Berita terkait