Denny Siregar: Jokowi, Rizieq Shihab dan Suriah

Mereka menguasai bandara internasional, objek vital yang seharusnya dilindungi, saya berpikir apa Jokowi tidak belajar pada Suriah. Denny Siregar.
Ilustrasi - Negara Suriah. (Foto: Tagar/Pikist)

Suriah dulu adalah negara yang indah. Selain dikenal dengan bangunan sejarah dan budayanya, rakyat Suriah terkenal plural. Dari beberapa kesaksian yang saya baca, masyarakat Suriah sering sekali saling berkunjung ketika hari besar agama tetangga mereka. Dan biasanya mereka pesta, saling merayakan sambil membawa makanan dari rumah.

Sebelum perang tahun 2011, sebenarnya sudah muncul banyak ormas agama, terutama dari Islam Sunni yang mencapai 60 persen dari agama masyarakat sana. Rakyat Suriah tidak begitu peduli, mereka sibuk dengan hari-harinya dan menganggap, "Ah, itu biasa."

Ya, menyampaikan pendapat dalam agama itu biasa di Suriah. "Mereka itu saudara seiman kita," begitu pendapat banyak orang, meski semakin lama narasi menjelek-jelekkan agama lain itu semakin keras.

Situasi di Suriah ini sudah dipetakan Amerika sejak lama. Ketika kemudian ternyata pemerintah Suriah lebih memilih China dan Rusia dalam kerja sama pipa gas mereka, Amerika pun marah. Kelompok kapitalis dari berbagai negara, seperti Saudi dan Jepang ikut kumpul untuk mengatur strategi bagaimana menguasai Suriah.

Strategi yang paling efektif adalah dengan membiayai ormas-ormas radikal berbaju agama di Suriah, supaya makin besar dan memperbanyak pengikutnya. Pendanaan Amerika dan kelompoknya ini disalurkan melalui kelompok oposisi pemerintah.

Semakin lama ormas radikal itu semakin besar, karena diterima oleh masyarakat Suriah. Ketegangan pun terjadi antar-pemeluk agama. Dan puncaknya adalah demonstrasi besar menuntut Bashar Assad mundur. Demonstrasi itu dipukul mundur dengan kekerasan. Dan yang terjadi, simpati untuk ormas radikal itu semakin besar.

Ketika mereka menguasai bandara internasional sebagai objek vital yang seharusnya dilindungi, tapi malah bebas mereka duduki, saya lalu menghitung waktunya.

Pembiaran pemerintah terhadap ormas radikal berbaju agama atas nama demokrasi itu, mungkin kesalahan terbesar Suriah. Pada akhirnya, monster-monster berbaju agama itu memunculkan perang saudara. Perang saudara ini membuka jalan untuk pasukan dari negara lain masuk Suriah. Kelompok ormas ini pun juga berperang satu sama lain.

Atau kelompok pembebasan Suriah, akhirnya perang dengan ISIS yang masuk belakangan. Mereka berdua juga sama-sama memerangi pemerintah Suriah. Suriah kacau dan hancur dalam waktu 8 tahun. Semua yang dibangun musnah. Ribuan rakyat sipil tewas.Free Syrian Army atau kelompok pembebasan Suriah, akhirnya perang dengan ISIS yang masuk belakangan. Mereka berdua juga sama-sama memerangi pemerintah Suriah. Suriah kacau dan hancur dalam waktu 8 tahun. Semua yang dibangun musnah. Ribuan rakyat sipil tewas.

Akhirnya, di tengah kekacauan, rakyat Suriah yang berbeda agama saling memandang wajah tetangganya masing-masing yang dulu datang ke rumah sambil membawakan makanan.

Mereka bertanya, "Kenapa kita tidak bisa seperti dulu lagi?" Mereka baru sadar, bahwa kedamaian yang dulu begitu murah, sekarang mahal harganya.

Situasi di Indonesia, punya pola yang mirip dengan Suriah. Suriah punya jalur pipa gas, kita punya nikel. Itu kekayaan yang sedang diincar oleh banyak negara.

Berkembangnya kelompok radikal berbaju agama di sini atas nama demokrasi, dan gamangnya pemerintah juga aparat menindak mereka, bisa jadi bom waktu untuk ke depan. Apa yang dibangun Jokowi dengan kerja keras, bisa jadi sekejap hilang jika kelompok radikal agama itu siap berperang.

Dan ketika mereka menguasai bandara internasional sebagai objek vital yang seharusnya dilindungi, tapi malah bebas mereka duduki, saya lalu menghitung waktunya.

Suriah hancur karena pemerintahnya dianggap kehilangan wibawa. Indonesia? Bisa begitu juga.

Kapan pemerintah kita belajar? Tidak cukupkah cerita Suriah, Libya, Afghanistan menjadi pelajaran? Membiarkan bahkan memelihara kelompok fanatik berbaju agama itu, bukan ketenangan yang didapatkan, malah kehancuran. Merekalah sesungguhnya para pembuat kerusakan.

Mereka monster, yang kecil jadi lawan, besar jadi pemakan.

Ingin kuseruput kopi soreku, dan kali ini pahit sekali rasanya. Nasib negeriku ke depan dipertaruhkan.

*Penulis buku Tuhan dalam Secangkir Kopi

Berita terkait
Rizieq Shihab Dijemput, Nama Harun Masiku Malah Trending
Eks kader PDI Perjuangan (PDIP) Harun Masiku tiba-tiba saja trending di media sosial Twitter, usai kepulangan pimpinan FPI Habib Rizieq Shihab.
Tengku Zul Buka Agenda Rizieq Shihab dan Anies Baswedan
Wakil Sekretaris Jenderal MUI Tengku Zulkarnain membuka agenda Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan dan Pimpinan FPI Habib Rizieq Shihab.
Rizieq Shihab: Tidak Ada Rekonsiliasi Kalau Kezaliman Dibiarkan
Pimpinan Front Pembela Islam (FPI) Habib Rizieq Shihab menyebut tidak ada rekonsiliasi kalau masih ada kezaliman terhadap umat dibiarkan.
0
DPR Terbuka Menampung Kritik dan Saran untuk RKUHP
Arsul Sani mengungkapkan, RUU KUHP merupakan inisiatif Pemerintah. Karena itu, sesuai mekanisme pembentukan undang-undang.