Denny Siregar: Doa Terbaik untuk Agus Harimurti Yudhoyono

Nasib Agus Yudhoyono setelah kekuasaannya di Partai Demokrat direbut Moeldoko. Ulasan Denny Siregar tentang partai-partai menuju Pilpres 2024.
Agus Harimurti Yudhoyono atau AHY. (Foto: Tagar/Instagram @agusyudhoyono)

Meski baru 3 tahun lagi, tapi ramainya Pilpres 2024 sudah terasa mulai sekarang. Golkar sudah ke banyak partai untuk mencalonkan Airlangga Hartarto sebagai capres, meski - maaf ya - namanya sama sekali belum masuk dalam daftar calon yang layak dipilih menurut hasil-hasil survei.

Tommy Soeharto juga berhasil kembali merebut partainya, Partai Berkarya, yang kemarin sempat kisruh karena perebutan kekuasaan.

Amien Rais juga sudah ditendang dari PAN dan kroni-kroninya dibersihkan, sekarang mereka bikin Partai Ummat. Buni Yani yang sempat dipenjara karena ketahuan mengedit kata-kata Ahok di Pulau Seribu, gabung di sana. "Kalau enggak gabung, dosa," katanya.

Mungkin menurut Buni Yani, dosa karena tidak bergabung di Partai Ummat, jauh lebih berbahaya daripada dosa karena mengedit dan menyebarkan fitnah ke mana-mana, sesuatu yang menyebabkan dia akhirnya masuk penjara.

Nah, sekarang giliran Partai Demokrat. Partai Demokrat sebenarnya sedang terancam karena posisi partainya sekarang sedang ada di bawah. Pernah mencapai 20 persen suara, tahun 2019 Partai Demokrat hanya bisa dapat 7,7 persen suara.

Sebagai catatan, untuk bisa masuk Senayan, sebuah partai harus bisa mendapat minimal 4 persen suara. Dan Partai Demokrat sudah tinggal di ujung tanduk. Diramal tahun 2024, Partai Demokrat bisa hilang dari peredaran dan hanya akan sejajar dengan partai-partai kecil seperti PKPI, PSI, bahkan nasibnya bisa seperti Partai Hanura, yang tahun 2019 ini hilang dari peredaran politik.

Inilah yang menyebabkan kisruh di dalam Demokrat yang sekarang dipimpin Agus Yudhoyono atau AHY.

Para pendiri Partai Demokrat lama, seperti Max Sopacua, mulai gerah karena partainya yang dulu berjaya, bisa jadi tinggal kenangan. Max protes keras kepada keluarga SBY, karena menurutnya SBY itu sama sekali tidak berdarah-darah waktu mendirikan Partai Demokrat.

Dari luar, saya sih hanya bisa mendoakan Agus Yudhoyono supaya bisa dapat yang terbaik.


MoeldokoTerjadi dualisme kepemimpinan di Partai Demokrat, Ketua Umum Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) dan Ketua Umum Moeldoko. (Foto: Tagar/Twitter AHY dan CNN)

Lha, kok sekarang enak benar menjadikan Partai Demokrat partai keluarga. Semua jabatan tertinggi dipegang keluarga. Ketua Majelis Tinggi dipegang SBY. Ketua Umum dipegang anaknya, AHY. Wakil Ketua Umum dipegang Ibas, adik AHY. Kalau tidak ada yang protes, bisa jadi nanti mulai ipar, tetangga, cucu, cicit, sampai tukang sayur langganan jadi orang penting semua dalam partai.

Partai yang dibuat dengan model demokratis, ternyata sekarang jadi partai dinasti. Tidak cocok dengan namanya. Partai Demokrat yang melambangkan demokrasi.

Jhoni Allen Marbun, mantan PNS DKI, yang kemudian gabung di Partai Demokrat tahun 2002, bahkan bilang SBY hanya keluar duit Rp 100 juta doang waktu pendiri lama Partai Demokrat berjuang supaya partai ini lolos verifikasi KPU. Itu juga bentuknya voucher hotel. Modalnya minim amat sih, Pak.

Nah, yang menarik itu kisah Agus Yudhoyono. Agus ini dipaksa mundur dari TNI oleh ayah tercintanya, SBY, hanya supaya dia bisa ikut Pilgub DKI pada tahun 2017. Waktu itu pangkat terakhir Agus, Mayor TNI.

Agus yang tidak berani membantah kata Bapak, akhirnya keluar dan ikut Pilkada, meski akhirnya - seperti kita tahu semua - gagal total. Tapi yang namanya SBY tidak mau menyerah, meski Agus gagal total di Pilkada DKI, dia sudah menyiapkan tempat terhormat untuk anaknya di Partai Demokrat, yaitu sebagai Ketua Umum.

SBY ingin penggantinya adalah anaknya sendiri. Dia tidak percaya dengan orang lain selain sama keluarganya. Meski Agus akhirnya terpilih secara aklamasi, tapi bibit-bibit perpecahan sudah mulai terlihat di internal Demokrat.

Model dinasti ini jadi pertanyaan di benak para pendiri Demokrat yang lama. Lho, kok jadi gini? Begitu pertanyaan mereka. Dan ketidakpuasan itu makin meledak ketika Pilpres 2019, SBY memaksa Demokrat untuk memilih Prabowo, padahal menurut mereka Prabowo sudah mengkhianati mereka karena tidak jadi pilih AHY sebagai cawapres.

Bahkan dulu Andi Arief, petinggi Demokrat yang pernah tertangkap polisi karena nyabu, menuding Prabowo sebagai Jenderal Kardus. Andi ngamuk karena pada menit terakhir Sandiaga Uno menyalip di tikungan dengan mahar uang sekardus. Demokrat pun kemudian patah arang.

Max protes keras kepada keluarga SBY, karena menurutnya SBY itu sama sekali tidak berdarah-darah waktu mendirikan Partai Demokrat.


Desas-desus semakin santer kalau ada kelompok yang tidak suka Partai Demokrat jadi partai dinasti. Mereka ingin mengembalikan Demokrat ke relnya lagi. Lagipula kalau tidak berubah sekarang, Partai Demokrat bisa hilang dari peredaran.

Dan mulailah orang-orang yang tidak puas itu bergerilya ke mana-mana, mencari siapa yang pantas memimpin Demokrat. Satu di antaranya yang mereka rangkul adalah Moeldoko, Kepala Staf Presiden. 

Di sinilah tangan dingin Agus Yudhoyono diuji. Kapal besar sedang oleng. Biduk mulai pecah. Agus, sang Mayor, kelihatan bingung ketika awal mendengar kabar Partai Demokrat sedang dalam bencana.

Dan layaknya orang bingung juga panik, keluarlah tuduhan-tuduhan "Demokrat sedang dikudeta". Lucunya lagi, tuduhan itu diarahkan kepada Presiden Jokowi yang tidak tahu apa-apa dan lagi sibuk membangun infrastruktur untuk Indonesia.

Tudingan itu akhirnya diralat sendiri oleh Demokrat, bahwa Jokowi sama sekali tidak terlibat. Duh, sudah kadung malu tuduh sana tuduh sini, ternyata tuduhannya tidak terbukti.

Sedangkan perpecahan di dalam Demokrat semakin kencang, bahkan ada rencana sebagian anggota Demokrat mau menyelenggarakan Kongres Luar Biasa atau KLB, untuk memilih ketua umum baru menggantikan Agus Yudhoyono sekarang ini.

Saya sendiri belum yakin, Agus akan bisa mengatasi situasi ini. Pengalamannya sangat kurang dalam memimpin model perang seperti ini.

Dia memang pernah di ketentaraan sih, dan katanya termasuk orang pintar. Tapi memimpin perang itu membutuhkan pengalaman. Dan dari pengalaman-pengalaman itulah, akhirnya belajar strategi cara mengalahkan musuh di lapangan.

Dari luar, saya sih hanya bisa mendoakan Agus Yudhoyono supaya bisa dapat yang terbaik. Kalau akhirnya terdepak dari Demokrat misalnya, jangan menyerah ya, Gus. Bisa saja bikin Partai Demokrat Perjuangan. Mirip seperti PDI dulu yang akhirnya PDI Perjuangan malah jauh lebih besar dari induknya yang lama.

Gus, Agus. Nasibmu, Gus.

*Penulis buku 'Tuhan dalam Secangkir Kopi' dan 'Bukan Manusia Angka'

Berita terkait
Isi Lengkap Pidato SBY Soal KLB Demokrat dan Moeldoko
SBY menyampaikan pidato guna merespons terpilihnya Moeldoko sebagai Ketua Umum Partai Demokrat lewat KLB di Sumatera Utara.
KLB Sumut Tetapkan Moeldoko Sebagai Ketua Umum Partai Demokrat
Kongres Luar Biasa Partai Demokrat kubu kontra Ketua Umum AHY menetapkan KSP Moeldoko sebagai Ketua Umum Demokrat periode 2021-2025.
Kisruh Demokrat: Agus Yudhoyono dan Moeldoko Menuju Pengadilan
Fakta politik saat ini, ada dualisme kepemimpinan Partai Demokrat, yaitu Agus Harimurti Yudhoyono dan Moeldoko. Solusinya di pengadilan.