Covid-19 Melonjak Presiden Donald Trump Serang China

Saat negaranya dilanda pandemi Covid-19 yang masif dengan kasus lebih 1,2 juta Presiden Donald Trump lancarkan serangan ke China terkait Covid-19
Seorang perwira polisi berjalan melintasi di 7th Avenue yang kosong di Times Square yang sepi karena kekhawatiran terhadap Covid-19, pada 20 Maret 2020, di New York, AS. (Foto: mainichi.jp/AP Photo/John Minchillo).

Ketika virus corona baru (Covid-19) terus berkecamuk di beberapa negara Eropa, Asia dan Amerika Latin Presiden AS, Donald Trump, habis-habisan menghujat China antara lain dengan menyebut China menyembunyikan informasi terkait Covid-19. Pada saat yang sama kasus positif Covid-19 di Negara Paman Sam itu terus bergerak ke puncak pandemi dunia dengan jumlah kematiant terbanyak.

Laporan situs independen worldometer tanggal 6 Mei 2020 pukul 06.18 GMT atau 13.18 WIB menunjukkan kasus di AS 1.237.761 dengan 72.275 kematian dan 200.669 sembuh. Jumlah kasus ini menempatkan AS di puncak pandemi Covid-19 dunia. Sedangkan kasus global 3.728.254 dengan 258.360 kematian dan 1.242.575 sembuh.

1. Perilaku Milenial AS Salahi Protokol Kesehatan WHO

Covid-19 yang semua bercemamuk di Wuhan, China, terbang ke Italia. Tanggal 8 Maret 2020 kasus di Italia dilaporkan 7.375 berada di peringkat ke-2 setelah China dengan kasus 80.823. Pergerakan virus ini mematahkan anggapan banyak kalangan yang memperkirakan ‘neraka’ akan bergerak ke Korea Selatan (Korsel) karena sampai tanggal 6 Mei 2020 kasus Covid-19 di Korsel sebanyak 10.806 dengan 255 kematian dan 9.333 sembuh. Kasus ini menempatkan Korsel di peringkat ke-38 global dari 212 negara dan teritori serta kapal pesiar mewah.

Selanjutnya tanggal 26 Maret 2020 AS menyalip China dalam jumlah kasus yaitu 83.836, sedangkan China 81.782. Italia di belakang China dengan kasus 80.589. Sejak 26 Maret 2020 sampai tanggal 6 Mei 2020 negara yang berada di posisi puncak pandemi Covid-19 adalah AS yang sekarang jumlah kasusnya 1.237.761 atau 33,20% dari kasus global.

ilus2 opini 6 mei 20Pengunjung pantai berkumpul di bawah dermaga, 30 April 2020, di Huntington Beach, California, AS. Gubernur California, Gavin Newsom, perintahkan pantai-pantai di Orange County ditutup hingga pemberitahuan lebih lanjut di tengah pandemi Covid-19. Newsom membuat pengumuman beberapa hari setelah puluhan ribu orang di Orange County padati pantai selama akhir pekan yang cerah. (Foto: pressdemocrat.com/AP Photo/Marcio Jose Sanchez).

Fakta tentang virus yang menyeberang ke AS tidak membuat Presiden Trump bergerak cepat menangani penyebaran Covid-19 di negaranya. Bahkan, ketika kasus sudah terdeteksi di beberapa negara bagian kalangan milenial tetap ramai-ramai ke pantai, ke tempat-tempat hiburan, dll.

Kalangan ahli sudah memberi peringatan bahwa perilaku warga AS itu berisiko karena menyalahi protokol kesehatan WHO, al. jarak fisik. Peringatan itu membuahkan hasil dengan kasus lebih dari 1,2 juta dengan kematian 72.275 yang merupakan jumlah korban terbanyak sepanjang wabah Covid-19.

Hanya dalam waktu 65 hari sejak kasus pertama dilaporkan di AS tanggal 23 Januari 2020 di Seattle, pada tanggal 27 Maret 2020 kasus Covid-19 di AS sudah menembus angka 100.000 dengan jumlah kasus 101.657.

2. Pelancong Wuhan Tidak Terdeteksi Tapi Menularkan

Presiden Trump sendiri sesumbar dengan mengatakan: “Virus (maksudnya virus corona-pen.) tidak akan memiliki peluang melawan kita.” Ini diucapkan Trump tanggal 11 Maret 2020. Padahal, kalangan ahli mengatakan pada tahap ini tes Covid-19 yang dilakukan AS sudah sangat terlambat. Pada 20 Maret 2020 pandemi Covid-19 sudah merebak di New York, Seattle, Los Angeles, dan beberapa negara bagian.

Baca juga: Soal Covid-19 Presiden Trump Menepuk Air di Dulang

Trump menuding WHO sekongkol dengan China dengan tidak melarang penerbangan dari dan ke China. Tapi, jauh sebelum tudingan itu laporan menunjukkan tanggal 1 Januari 2020 saja ratusan ribu warga Wuhan bepergian untuk merayakan Tahun Baru Imlek. Pada saat itu Trump belum melarang penerbangan internasional. Padahal, ratusan juta warga China akan bepergian untuk merayakan Imlek.

Otoritas China memberitahu WHO tanggal 31 Desember 2019 bahwa penyakit tersebut bisa dicegah dan dikendalikan. Laporan berdasarkan pergerakan manusia yang dipantau melalui ponsel menunjukkan tanggal 1 Januari 2020 sebanyak 175.000 warga Wuhan meninggalkan kota.

Otoritas China melakukan lockdown tanggal 23 Januari 2020, padahal sampai tanggal 21 Januari 2020 sekitar 7 juta warga Wuhan melancong ke berbagai negara. Sedangkan perjalanan di daratan China baru dilarang tanggal 4 Februari 2020.

Perkiraan ahli Jeffrey Shaman, Columbia University, New York, AS, ribuan dari pelancong itu terinfeksi corona. Baru tanggal 21 Januari 2020 otoritas China mengumumkan bahwa virus yang merebak di Wuhan bisa menular dari manusia-ke-manusia. Ini setelah ditemukan kasus di Shanghai dan Beijing serta kota-kota besar lain di China. Celakanya, 85% dari mereka tidak terdeteksi mengidap virus, tapi mereka bisa menularkan virus ke orang lain.

3. Kasus Covid-19 di Bangkok Terdeteksi pada Pelancong Wuhan

Sebelum otoritas China lakukan lockdown di Wuhan, berdasarkan data 9.000 warga Wuhan terbang setiap bulan ke New York, AS. Selain itu 2.200 melancong ke Australia melalui Sydney. Sedangkan yang melancong ke Bangkok, Thailand, disebut 15.000. Kasus pertama corona terdeteksi di Thailand pada seorang perempuan warga Wuhan yang berumur 61 tahun yang terbang dari Wuhan ke Bangkok dengan keluhan demam, sakit kepala dan sakit tenggorokan.

ilus3 opini 6 mei 20Rose Riggio, dari Los Angeles, bergabung dengan kerumunan orang yang berkumpul di sudut Main Street dan Walnut Avenue di Huntington Beach, CA, AS, untuk memprotes penutupan (lockdown) karena virus corona (Covid-19) pada hari Jumat, 17 April 2020. (Foto: ocregister.com/Photo by Jeff Gritchen, Orange County Register/SCNG)

Pemerintah Trump sendiri baru melarang warga Wuhan masuk ke AS kecuali warga AS tanggal 31 Januari 2020. Ini tentu saja bumerang karena warga AS yang pulang dari Wuhan bisa saja mengidap virus tapi tidak terdeteksi. Namun, disebutkan langkah AS itu sudah sangat terlambat karena pandemi corona sudah merebak di 30 kota di 26 negara yang diperkirakan sebagian besar terjadi karena kontak dengan pelancong asal Wuhan.

Baca juga: Covid-19 Dorong Xenophobia dengan Kebencian Rasial 

Lagi pula AS sendiri belum melarang warganya bepergian ke Eropa. Ini tentu saja berisiko karena di Eropa pandemi corona sudah merebak di banyak negara.

Pandemi yang terus merebak di AS ternyata tidak menyurutkan warga untuk melanjutkan keseharian mereka dengan menuntut agar lockdown dibuka. Trump sendiri mengatakan pandemi bisa menewaskan 100.000 warga AS. Kekhawatiran Trump ini sangat beralasan karena sekarang kematian di AS dilaporkan 72.271.

Tampaknya, Presiden Trump ingin ‘cuci tangan’ dengan menuding China sebagai biang keladi pandemi Covid-19 di negaranya. Langkah yang tidak arif dan mendorong stigma serta xenophobia di kalangan warga AS (Bahan-bahan dari: worldometer, nytimes.com, WHO, bbc.com, dan sumber-sumber lain). []

Berita terkait
Kisah Sukses Korea Selatan Hadapi Pandemi Covid-19
Keberhasilan Korea Selatan hadapi krisis karena pandemi Covid-19 yaitu karena kedisiplinan individu, langkah-langkah penanganan efektif serta tes
Covid-19 di Amerika Serikat Tembus Angka 1 Juta
Episentrum Covid-19 hanya sebentar di sumber awal yaitu China karena pandemi menyeberang ke Eropa dan Amerika Serikat yang sekarang jadi episentrum
0
Anak Elon Musk Mau Mengganti Nama
Anak CEO Tesla dan SpaceX, Elon Musk, telah mengajukan permintaan untuk mengubah namanya sesuai dengan identitas gender barunya