China Berjanji Tidak Akan Jual Senjata Kepada Rusia

Dia menegaskan Beijing berpegang pada kebijakan untuk tidak memberikan bantuan militer di wilayah perang
Menlu Jerman, Annalena Baerbock (kiri) dan Menlu China, Qin Gang (kanan) di Berijing, China (Foto: dw.com/id - Kira Hofmann/photothek/IMAGO)

TAGAR.id, Bijing, China - Komitmen tersebut diungkapkan oleh Menteri Luar Negeri (Menlu) China, Qin Gang, kepada Menlu Jerman, Annalena Baerbock, di Beijing, China, 14 April 2023.

Lawatan Menlu Baerbock dilatari kunjungan Presiden Prancis, Emmanuel Macron, ke China yang sempat memicu polemik soal Taiwan.

Menlu Qin, mengusir kecurigaan Barat terkait isu penjualan senjata kepada Rusia. Dia menegaskan Beijing berpegang pada kebijakan untuk tidak memberikan bantuan militer di wilayah perang.

"China tidak akan menyediakan senjata bagi pihak-pihak yang bertikai dalam konflik (di Ukraina), dan akan mengontrol ekspor produk berfungsi ganda sesuai Undang-undang,” kata dia merujuk pada barang untuk keperluan sipil dan militer.

Menlu Qin menegaskan komitmen China untuk mewadahi perundingan damai dan meminta semua pihak untuk tetap "tenang dan obyektif.”

Dia sebelumnya bertemu dengan Menteri Luar Negeri Jerman, Annalena Baerbock. Dalam lawatannya itu, Baerbock mendesak Beijing untuk melobi Moskow, karena "tidak ada negara lain yang punya pengaruh lebih besar di Rusia ketimbang China.”

"Adalah hal baik bahwa China telah mengisyaratkan komitmennya terhadap solusi, tapi sejujurnya saya bingung, kenapa posisi China sejauh ini belum mencakup desakan kepada agresor Rusia untuk menghentikan perang,” kata dia.

China dan Brasil sedang menggalang dukungan politik untuk perundingan damai di Ukraina. Namun inisiatif tersebut ditolak Kyiv dan NATO, lantaran menyaratkan kesiapan Ukraina merelakan Krimea kepada Rusia.

presiden macronPresiden Prancis, Emmanuel Macron, melambaikan tangan kepada para pendukungnya dalam perayaan kemenangan dirinya dalam pemilihan Presiden Prancis 2022 di Champ de Mars di Paris, Prancis, 24 April 2022 (Foto: voaindonesia.com - Reuters/Christian Hartmann)

Polemik kunjungan Macron

Di Beijing, Baerbock berusaha menyeimbangkan perluasan kerja sama bisnis untuk sektor vital dengan kebutuhan untuk membatasi kebergantungan industri Jerman kepada China. Namun begitu, perceraian ekonomi antara kedua negara menurutnya bukan merupakan kepentingan Jerman.

Lawatannya itu dibayangi tekanan untuk meluruskan pernyataan Presiden Prancis, Emmanuel Macron, di China pekan lalu. Dalam kunjungannya itu, Macron mengatakan Uni Eropa selayaknya menjaga jarak dengan Amerika Serikat dan bersikap lebih independen dalam isu Taiwan.

Ucapannya itu mendulang kritik dari berbagai arah, termasuk Menteri Pertahanan Jerman, Boris Pistorius, yang menyebut pernyataan Macron patut "disesali.”

Baerbock berusaha melunakkan situasi dengan merujuk pada kebijakan luar negeri Prancis yang searah dengan Uni Eropa. Dia menegaskan Brussels memiliki sikap jelas terkait Taiwan dan bahwa Paris selalu mengkoordinasikan kebijakan luar negerinya dengan pemerintah di Berlin.

Baerbock menyebut "eskalasi militer di Selat Taiwan sebagai skenario horor bagi seluruh dunia.” Hampir separuh perdagangan dunia melewati kawasan tersebut, selain itu Taiwan memasok 70 persen kebutuhan semikonduktor global.

Dia menegaskan betapa UE tetap berpegang pada kebijakan satu China. Tapi menurutnya, penggunaan kekuatan militer untuk mengubah paksa status quo di Taiwan tetap tidak bisa diterima.

Menlu Qin menepis wasangka tersebut. Taiwan, kata dia, "adalah urusan dalam negeri China dan tidak bisa dicampuri oleh pihak asing. Kemerdekaan Taiwan dan perdamaian tidak bisa hidup bersama.” [rzn/hp (dpa,rtr)]/dw.com/id. []

Berita terkait
Jerman Sebut China Picu Ketegangan dengan Manuver di Taiwan
Pemerintah Jerman menuduh China memicu ketegangan dengan menggelar latihan perang baru-baru ini di sekitar Taiwan