Cerita Pemakaman di Pemukiman dan Suara Keranda Tengah Malam

Salah satu lokasi pemukiman di Yogyakarta dulunya adalah kompleks pemakaman. Hingga saat ini masih ada beberapa makam di dalam rumah warga.
Sumartini, seorang warga Kampung Gendingan, Kecamatan Ngampilan, Yogyakarta, menunjukkan makam yang ada di dalam area dapur rumahnya, Jumat, 4 Desember 2020. (Foto: Tagar/Kurniawan Eka Mulyana)

Yogyakarta – Ruang dapur di rumah Sumartini tidak terlalu luas. Di sudut barat daya terdapat satu kamar mandi yang berdampingan dengan tempat mencuci piring. Sementara pada sisi timur, terdapat kotak persegi panjang berbahan batako, serupa dengan dinding tempatnya menempel.

Kotak persegi panjang berukuran sekitar 100 x 140 sentimeter itu berlubang pada sisi atasnya, hanya ditutup dengan beberapa lembar papan. Bagian atas kotak yang dilapisi lembaran papan digunakan sebagai tempat bumbu dapur.

Sore itu, Jumat, 4 Desember 2020, Sumartini sedang mengiris-iris bawang di dapur rumahnya, di Kampung Gendingan, Kecamatan Ngampilan, Kota Yogyakarta. Dapurnya yang dilengkapi dengan pintu belakang, terletak tepat di belakang bangunan utama rumah.

Sumartini menyapa ramah dan menghentikan aktivitasnya mengiris bawang merah. Suaranya terdengar terbata-bata dengan nafas sedikit ngos-ngosan. Namun dia tidak menolak untuk menjawab saat ditanya tentang keberadaaan makam di dalam rumahnya.

Makam 2 Perempuan Cantik

Dia membenarkan bahwa ada dua makam lengkap dengan batu nisan di dalam rumah, tepatnya di area dapur. Dia melangkah perlahan menuju kotak batako persegi panjang. Kemudian memindahkan beberapa barang yang ada di atas papan penutup.

Dia menoleh sebentar, sambil menanyakan apakah dirinya harus membuka seluruh papan penutup kotak tersebut, sebab dua makam yang dimaksud berada di dalam kotak.

Niki ndadak dibuka, niki wonten kalih. Kulo mboten ngerti naminipun. (Ini harus dibuka dulu, ini ada dua makam. Saya tidak tahu siapa namanya).

Sumartini menjelaskan, rumahnya dibangun sebelum gempa bumi besar melanda Yogyakarta pada tahun 2006. Tepat saat rumahnya selesai dibangun, terjadilah gempa bumi tersebut. Tapi saat itu bangunan dapur belum berdiri. Lokasi yang saat ini menjadi dapur masih merupakan tanah kosong yang di atasnya terdapat dua batu nisan.

Cerita Makam di Pemukiman (2)Kotak dari batako yang dibuat untuk menutupi dua makam di area dapur milik Sumartini di Kampung Gendingan, Kecamatan Ngampilan, Yogyakarta, Jumat, 4 Desember 2020. (Foto: Tagar.Kurniawan Eka Mulyana)

Beberapa tahun setelahnya, sang anak mengusulkan agar dia menambah bangunan hingga ke bagian belakang bangunan utama untuk dijadikan dapur, meski ada dua makam di situ. Dia pun menuruti saran dari sang anak.

Saat bangunan tambahan itu mulai dibangun, tukang yang digunakan jasanya oleh Sumartini sempat merasa takut untuk mendirikan bangunan dan memindahkan kedua makam itu. Akhirnya Sumartini dan suami mengambil keputusan untuk membiarkan kedua makam itu tetap berada di tempatnya.

Tukange wedi le mindahi, njuk kulo ngakon digawe kotak. (Tukangnya takut memindahkan, lalu saya menyuruhnya membuatkan kotak),” kata Sumartini masih dengan suara yang terbata-bata.

Kata Sumartini, kedua makam itu merupakan makam dua perempuan kembar yang cantik. Sumartini mengaku pernah didatangi oleh keduanya saat awal menggunakan ruangan itu. Kedua perempuan tersebut mendatanginya melalui mimpi.

Keduanya meminta agar Sumartini tidak takut sebab mereka tidak akan mengganggu. “Ra sah wedi, ora opo-opo. (Tidak usah takut, tidak apa-apa),” ucapnya menirukan pernyataan kedua perempuan itu.

Niki wonge ayu, Mas. Lemah lembut, apik wonge. Kembar. Sepisan thok diparani pas arep nganggoni. Alus suarane. Kulo mimpi antara sadar dan tidak sadar. (Ini orangnya baik, Mas. Lemah lembut, orangnya baik. Kembar. Saya cuma sekali didatangi pas mau menempati ruangan ini. Suaranya halus. Saya mimpinya di antara sadar dan tidak sadar),” dia memaparkan pertemuannya.

Sebenarnya bukan hanya dua makam di area dapur rumah Sumartini. Saat awal dibangun, ada dua makam lain yang terletak di depan pintu masuk rumahnya. Kedua makam itu merupakan makam janin bayi yang keguguran.

Namun kedua makam janin tersebut dipindahkannya ke lokasi lain setelah dia meminta izin pada keluarga pemilik makam. Setelah dipindahkan, keluarga Sumartini kemudian melakukan selamatan layaknya memakamkan jenazah orang yang baru meninggal.

Cerita Makam di Pemukiman (3)Tiga makam yang ada di depan rumah Wijiyono, di Kampung Gendingan, Kecamatan Ngampilan, Kota Yogyakarta, Jumat, 4 Desember 2020. (Foto: Tagar/Kurniawan Eka Mulyana)

Sumartini mengaku dirinya tidak pernah merasa takut meninggali rumahnya itu. Sebab dalam membangun rumah, dia tidak asal membangun. Ada beberapa ritual yang dilakukannya.

Sakderenge manggon mriki kulo poso disek, manut ajaran mbah kulo riyin. Mboten musyrik lho nggih.  Sebelum menempati rumah ini saya puasa dulu, mengikuti ajarannya leluhur saya dulu. Tapi bukan musyrik lho ya),” kata Sumartini.

Ritual semacam itu, lanjutnya, merupakan wujud permintaan izin pada penghuni lama di situ, karena sebelum dirinya dan keluarga tinggal di situ, sudah ada penghuni lain yang menempati.

Meski dirinya tidak merasa takut tinggal di situ, bukan berarti keluarganya yang lain juga merasa tidak takut. Kedua anaknya yang saat ini sudah berumah tangga dan tinggal tidak satu rumah dengan Sumartini pun masih merasa takut. Mereka tidak berani bermalam saat datang mengunjungi kedua orang tuanya. Begitu pula dengan keluarganya yang lain, seperti para sepupu dan keluarga dekat lainnya.

Padahal selama menempati rumah itu, Sumartini tidak pernah mengalami kejadian yang menakutkan. Hanya saja memang saat dia merasa jengkel atau stress, beberapa kali tiba-tiba tercium bau wangi.

Misale mangkel nopo stres ngaten ambune wangi, tapi nek mboten nggih mboten. Ning naming kulo, tapi bojo kulo mboten. (Misalnya jengkel atau stres, muncul bau wangi, tapi kalau tidak ya tidak juga. Tapi itu Cuma saya yang mengalami, suami saya tidak),” dia menegaskan.

Keranda yang Bunyi Sendiri

Meski Sumartini tidak pernah mengalami kejadian aneh dan menakutkan di dalam rumahnya, bukan berarti tidak ada kejadian aneh di sekitar lokasi yang dulunya merupakan kompleks pemakaman itu. Bahkan Sumartini pernah mengalami langsung.

Kejadian aneh itu justru berasal dari keranda mayat yang disimpan di belakang dapur rumahnya, hanya dibatasi oleh tembok batako.

Di tempat itu terdapat dua keranda mayat berwarna putih yang dilengkapi dengan semacam gerobak beroda. Dulunya keranda itu disimpan sekitar 10 meter di sebelah timur rumah Sumartini. Tapi lokasi itu kini menjadi balai RT, dan keranda-keranda tersebut dipindahkan ke sebelah utara rumahnya.

Cerita Makam di Pemukiman (4)Dua keranda mayat yang kadang menimbulkan suarasaat tengah malam, di samping rumah Sumartini, di Kampung Gendingan, Kecamatan Ngampilan, Yogyakarta, Jumat, 4 Desember 2020. (Foto: Tagar/Kurniawan Eka Mulyana)

Nek bandoso niki tertentu, kadang nek onten wong mboten wonten menika sok muni ‘srek’, ngoten. Koyo arep mlaku. (Kalau keranda ini tertentu, kadang kalau ada orang yang mau meninggal sering bunyi sendiri ‘srek’, begitu. Seperti mau jalan),” kata dia.

Biasanya suara dari keranda itu terdengar sekitar pukul 02.00 hingga 02.30 dini hari. Jika mendengar suara-suara itu, Sumartini hanya melafalkan doa dalam hati.

Penjelasan yang sama juga disampaikan oleh tetangga Sumartini yang bernama Wijiyono, 54 tahun. Saat didatangi ke rumahnya, pria paruh baya berkumis tebal ini baru saja keluar dari garasi sepeda motornya yang terletak di sisi timur laut rumahnya.

Rumah Wijiyono berhadapan langsung dengan Balai RT, tempat dulu keranda-keranda mayat itu disimpan. Sementara di sebelah rumahnya, tepat di sisi timur tembok rumah atau di selatan garasi, terdapat tiga makam.

“Dulu kan bandoso (keranda) ini tempatnya di sini di balai RT ini. Jadi kalau mau dipakai bunyi glodak-glodak malamnya.”

Ketika pertama kali tinggal di kampung itu, yakni tahun 1998, dia belum mengetahui bahwa keranda itu kadang berbunyi sendiri.

Wijiyono membuka jendela rumahnya saat pertama kali mendengar suara-suara dari keranda. Tapi, saat jendela dibuka, suara-suara itu menghilang. Ketika dia kembali menutup jendela rumahnya, suara-suara itu kembali terdengar.

“Kalau saya buka jendela, bunyinya berhenti. Saya kan penasaran, jadi saya keluar dan duduk di bawahnya bandoso. Nggak bunyi. Terus saya masuk lagi, bunyi lagi. Ternyata paginya mau dipakai,” dia menceritakan.

Setelah beberapa kali mengalami kejadian semacam itu, Wijiyono mengerti bahwa suara itu semacam pertanda. Suara-suara itu, kata Wijiyono, masih biasa terdengar hingga saat ini, ketika keranda itu akan digunakan pada keesokan harinya.

Cerita Makam di Pemukiman (5)Wijiyono, 54 tahun, warga Kampung Gendingan, Kecamatan Ngampilan, Yogyakarta, sedang membersihkan makam yang ada di samping rumahnya, Jumat sore, 4 Desember 2020. (Foto: Tagar/Kurniawan Eka Mulyana)

Sama seperti Sumartini, Wijiyono mengaku tidak pernah mengalami kejadian aneh meskipun ada sejumlah makam di sekitar rumahnya. Menurutnya, lokasi pemukiman itu dulunya merupakan kompleks pemakaman, tapi sejak tahun 1951 sudah tidak lagi digunakan.

“Informasi dari warga asli, dari tahun 1951 udah nggak dipakai. Saya datang dulu udah bukan pemakaman tapi udah jadi pemukiman. Di sini juga nggak ada yang aneh-aneh kayak hantu atau apa seperti itu.”

Mengenai batu nisan yang ada tepat di samping rumahnya, Wijiyono mengatakan, nisan tersebut merupakan makam warga setempat yang ahli warisnya juga sudah tidak ada. Dulu, saat ahli warisnya masih ada, mereka sering datang dan berziarah.

Sejak ahli warisnya tidak ada, Wijiyono lah yang merawat makam-makam tersebut, seperti yang dilakukannya sore itu. Dia menyapu area makam yang jadi satu dengan kandang burung merpati.

“Jadi sekarang saya rawat, saya bersihkan. Kan sama aja toh, nisan sama orang hidup, harus dirawat. Supaya nggak ada rumput dan kotoran,” kata dia.

Pengalaman unik lain diceritakan oleh Mardi Legowo, warga yang tinggal di belakang rumah Wijiyono. Mardi yang merupakan warga asli daerah itu mengaku pernah mendapatkan “rezeki” dari makam yang ada di dalam rumahnya.

Kala itu, beberapa puluh tahun yang lalu, saat tidur dia bermimpi. Tapi dia tidak menjelaskan perihal mimpinya. Dia hanya mengatakan bahwa setelah bermimpi, dirinya mencoba peruntungan dengan membeli nomor buntut.

“Saya pasangnya empat nomeran, tiga nomeran, dan dua nomeran,” kata dia menceritakan.

Rupanya Dewi Fortuna berpihak padanya. Nomor yang dipasangnya keluar dalam pengundian. Hasilnya, dia bisa membeli sepeda motor dan beberapa perabot, serta memasang listrik untuk penerang rumahnya.

“Dulu pasang listrik masih Rp 700,” ucapnya. []

Berita terkait
Cara Gadis Cilacap Bertarung Melawan Pagebluk
Seorang gadis berusia 20 tahun dari Cilacap, Jawa Tengah, terpaksa berhenti dari pekerjaannya akibat pandemi. Ini yang dilakukannya saat ini.
Mimpi dan Asa Oting Pembuat Naga Emas PVC di Bogor
Seorang warga Bogor, Jawa Barat memroduksi kerajinan dari limbah pipa PVC. Salah satunya adalah naga berwarna emas yang jadi masterpiece.
Malam-malam Sibuk di Kampung Perajin Ondel-Ondel Betawi
Cerita para perajin ondel-ondel di Jakarta yang pesanannya menurun drastis sejak pandemi, juga tentang aktivitas mereka mengamen membawa ondel.
0
PBB Serukan Taliban Batalkan Pembatasan Hak Perempuan
Dewan Keamanan (DK) PBB juga terus menekan otoritas Taliban untuk membatalkan pembatasan pada perempuan dan untuk menstabilkan negara