Cerita 50 Tahun Jadi Perajin Tanduk di Yogyakarta

Harto Mulyono, 78 tahun, pembuat kerajinan berbahan tanduk kerbau di Kotagede, Yogyakarta, menceritakan suka duka selama puluhan tahun.
Harto Mulyono, 78 tahun, pembuat kerajinan berbahan tanduk kerbau sedang menunjukkan proses pembuatan kerajinan, di kawasan Kotagede, Yogyakarta, Jumat, 6 November 2020. (Foto: Tagar/Kurniawan Eka Mulyana)

Yogyakarta – Lantunan ayat-ayat suci Alquran terdengar dari beberapa masjid di kawasan Kotagede, Yogyakarta. Beberapa pria bersarung dan mengenakan kopiah terlihat berjalan menuju masjid, meski azan sebagai penanda waktu salat Jumat baru akan dikumandangkan sekitar 30 menit ke depan.

Siang itu, Jumat, 6 November 2020, matahari bersinar cukup cerah, meski gumpalan mendung tampak kelabu di sisi langit sebelah barat.

Di salah satu rumah di lorong kecil di RT 07, RW 03, Kampung Gedongan, Kelurahan Purbayan, Kecamatan Kotagede, Kota Yogyakarta, seorang kakek berusia 78 tahun duduk di ruang depan rumahnya sambil menunggu waktu salat Jumat tiba. Di bagian depan ruangan itu terdapat etalase kaca berbingkai kayu.

Di dalam etalase itu berisi bermacam kerajinan yang terbuat dari tanduk kerbau dan tanduk sapi metal. Mulai dari alat kerik, alat akupresur, penggaruk punggung, gelang, dan beberapa jenis kerajinan berbahan tanduk lainnya.

Meski usia Harto Mulyono, nama kakek itu, menjelang 80 tahun, namun fisiknya masih terlihat kuat dan sehat, walaupun gurat-gurat keriput tampak jelas pada wajah dan jemarinya. Pembuat kerajinan berbahan tanduk kerbau tersebut masih sanggup duduk di tempat produksi kerajinan untuk membuat beragam barang.

Cerita Kerajinan Tanduk Yogyakarta (2)Tumpukan tanduk kerbau yang ada di bagian belakang ruang kerja Harto Mulyono, 78 tahun, di Kotagede, Yogyakarta, Jumat, 6 November 2020. (Foto: Tagar/Kurniawan Eka Mulyana)

Mbah Harto, sapaan akrabnya, menyapa ramah. Dia berdiri dari tempat duduknya dan mengajak untuk melihat ruang kerjanya yang berukuran sekitar 4 x 4 meter, tepat di samping rumah tinggalnya.

Puluhan Tahun Jadi Perajin

Mbah Harto menunjukkan tumpukan tanduk di bagian belakang tempat kerjanya. Sebagian besar tanduk itu berwarna kehitaman. Beberapa peralatan kerja lainnya tergeletak di tanah, seperti kikir, penjepit dari besi, kompor, dan sejumlah peralatan lain.

Dia kemudian duduk di kursi kayu kecil, menghadap ke meja kecil yang di atasnya terpasang penjepit tanduk. Lalu dia mengambil sejumlah pipa rokok dari tanduk yang belum selesai sepenuhnya, dan menunjukkan proses pengerjaan.

Jemari tangan kanannya yang menggenggam kikir, lincah menggosok sisi luar pipa rokok yang belum dilubangi agar menjadi lebih halus. Gerakannya maju mundur, menimbulkan suara khas gesekan kikir.

Produksine namung khusus kerikan, cocok, garuk punggung, pipo. Liyane pun mboten laku. Nek pipo niku apik. (Produksinya Cuma khusus alat kerik, alat pijat, garuk punggung, pipa. Barang lain sudah tidak laku. Kalau pipa itu bagus pasarannya).

Biasanya produksi kerajinan berupa pipa rokok hanya dititipkan pada beberapa toko kerajinan yang bersedia menampung hasil karyanya. Salah satunya adalah toko kerajinan yang ada di kawasan Kotagede.

“Wingi kulo gawe 40, kulo titip teng Tjokro Soeharto nggih diterima. Mangke bar Jumatan ambil danane. (Kemarin saya bikin 40, saya titipkan di Tjokro Soeharto dan diterima. Nanti setelah salat Jumat saya ke sana mengambil dananya),” ucap Mbah Harto.

Mbah Harto mengaku sejak kecil menggeluti bidang kerajinan berbahan tanduk, tepatnya sekitar tahun 1950-an.

Sejak awal terjun dalam bidang ini hingga saat ini, menurutnya pandemi Covid-19 memberikan dampak paling besar terhadap penjualan hasil karyanya, meski diakuinya sejak beberapa tahun terakhir pasaran kerajinan berbahan tanduk agak lesu.

Cerita Kerajinan Tanduk Yogyakarta (3)Harto Mulyono, 78 tahun, mengambil kerajinan berbahan tanduk yang dibuatnya dari etalase, di Kotagede, Yogyakarta, Jumat, 6 November 2020. (Foto: Tagar/Kurniawan Eka Mulyana)

Selama pandemi sangat jarang ada tamu dari luar daerah yang datang untuk membeli kerajinan, bahkan pesanan yang selama ini menjadi andalannya pun hampir tidak ada.

Ning saking adile pangeran nggih, ono tamu loro, tumbas bangsane nggo alat kerikan, cocok lan liyane barang niku, rong atus ewu, keno nggo urip, ngono. (Tapi saking adilnya Tuhan ya, ada dua tamu yang datang beli alat kerik dll, mereka belanja sampai Rp 200 ribu, bisa untuk hidup, begitu),” ucapnya tanpa kesan mengeluh.

Untuk menghasilkan kerajinan tanduk, ada beberapa tahapan yang harus dilakukan. Mulai dari membelah tanduk menjadi dua bagian, kemudian dipanaskan agar mudah dibentuk, lalu dipotong sesuai dengan bentuk kerajinan yang akan dibuat. Proses terakhir adalah diasah dan dihaluskan.

Dalam semua tahapan pembuatan kerajinan, Mbah Harto sama sekali tidak menggunakan bahan kimia. Seluruh prosesnya benar-benar alami sehingga warna kerajinan yang sudah jadi pun sama dengan warna asli tanduk bahan pembuatan.

Khusus untuk pembuatan pipa rokok, dia hanya mengambil sebagian kecil dari ujung tanduk yang belum dibelah.

Dulu, saat kerajinan tanduk mengalami masa kejayaan, sekitar tahun 1990-an, Mbah Harto sempat mempekerjakan 20 karyawan. Tapi saat ini dia tidak sanggup lagi, sebab peminatnya semakin berkurang.

Suka Duka dan Kenangan

Selama lebih dari 50 tahun menjadi perajin barang-barang berbahan tanduk, Mbah Harto mengalami banyak kejadian, baik yang menyenangkan, menyedihkan, maupun yang berkesan. Salah satunya adalah pengalamannya saat awal mencoba membuka usaha sendiri pada sekitar tahun 1974.

Cerita Kerajinan Tanduk Yogyakarta (4)Harto Mulyono, 78 tahun, menunjukkan salah satu tahapan pembuatan kerajinan berbahan tanduk, di Kotagee, Yogyakarta, Jumat, 6 November 2020. (Foto: Tagar/Kurniawan Eka Mulyana)

Waktu itu, cukup banyak tamu dari luar negeri yang datang untuk membeli kerajinan hasil karyanya, mulai dari Belanda, Jepang, dan beberapa negara lainnya. Meski sudah menjadi perajin yang tidak bekerja pada orang lain, bahan yang digunakan oleh Mbah Harto masih dibelinya secara kredit dari pedagang.

Kulo istilahe taksih buruh teng ibu-ibu pasar. Dadi kulo dikasih bahan, terus kulo setor, mangke dipotong harga bahan, misalnya sejuta dipotong Rp 500 ribu untuk harga bahannya. (Saya istilahnya masih jadi buruhnya ibu-ibu di pasar. Jadi saya diberi bahan, terus saya setor kerajinan, nanti dipotong dengan harga bahan, misalnya Rp 1 juta dipotong Rp 500 ribu untuk harga bahan),” ucapnya mengenang.

Saat Mbah Harto mulai bisa mandiri dan menitip hasil karyanya pada pedagang di pasar untuk dijual, dia mengalami hal yang menurutnya sedikit lucu. Beberapa dari pedagang itu sering membohonginya dengan mengatakan bahwa kerajinan buatannya belum dibayar oleh pembeli atau juragan. Padahal seluruh kerajinan yang dibeli sudah dibayar lunas.

Tapi, mereka mengaku kasihan pada Mbah Harto, kemudian menawarkan agar Mbah Harto meminjam uang dulu pada mereka. Mbah Harto boleh membayar uang pinjamannya jika kerajinan yang dibeli oleh juragan sudah dilunasi.

Terus sore kulo datangi jarene rung ketemu juragane. ‘Nyoh tak silihi’. Padahal jane saking riko pun beres. (Terus sore harinya saya datangi, katanya belum ketemu juragan. ‘Ini saya pinjami’. Padahal sebetulnya dari juragannya sudah beres),” kata Mbah Harto.

Setelah tahun 1974, Mbah Harto mulai mengembangkan usahanya. Dia sering memasuki toko-toko untuk menjual barangnya. Kala itu gelang dan kerajinan dari tanduk sangat digemari. Dia juga sempat menitipkan kerjainan buatannya di kawasan Malioboro, tetapi di sana penjualannya dengan sistem titip.

“Itu cuma ditiip. Misalnya saya punya pipa, saya antar tanggal 6, nanti bayarnya tanggal 10 atau kapan. Jadi tidak cash,” ucapnya dalam bahasa Jawa.

Cerita Kerajinan Tanduk Yogyakarta (5)Harto Mulyono, 78 tahun, sedang memilih satu di antara dua tanduk yang akan dibuat menjadi kerajinan, Jumat, 6 November 2020. (Foto: Tagar/Kurniawan Eka Mulyana)

Mbah Harto juga mengaku memiliki langganan penyuplai tanduk untuk kerajinannya. Setidaknya ada dua tempat yang menjadi langgananya, yakni di daerah Delanggu, Klaten, Jawa Tengah, dan di daerah Pucang, Magelang, Jawa Tengah.

Kulo nek mundut bahan teng Pucang niku ngebise menyang muleh ping wolu, Jombor, Magelang, Magelang ke Secang, terus Pucang. Mulihe ngaten malih. (Saya kalau beli bahan di Pucang itu naik bis pulang pergi sampai delapan kali. Dari rumah ke Jombor, Jombor ke Magelang, dari Magelang ke Secang, terus Pucang. Pulangnya begitu lagi,” ujarnya sambil mengatakan bahwa hal itu masih dilakukannya hingga saat ini.

Tidak jarang Mbah Harto menggunakan jasa ojek untuk ke Pucang. Biasanya, jika menggunakan jasa ojek, dia akan menawari si pengemudi ojek untuk menunggunya.

Mengenai harga kerajinan tanduk buatannya saat ini, Mbah Harto mengaku harganya masih yang termurah di antara harga yang dipatok oleh perajin lain.

Harga kerikan nek liyane kulo paling minim 80 ewu, kulo mung slawe ewu. Dho cerito kalih kulo. Pipo niku 25 sampai 30. (harga alat kerik kalau di tempat lain minimal Rp 80 ribu, kalau di saya Cuma Rp 25 ribu. Pembeli pada cerita ke saya. Pipa antara Rp 25 ribu hingga Rp 30 ribu,” kata dia lagi.

Namun sejak pandemi Covid-19, Mbah Harto sudah berhenti memproduksi kerajinan, sebab stok kerajinannya masih cukup banyak, kecuali pembuatan pipa rokok. []

Berita terkait
Wisatawan di Kaki Gunung Merapi dan Keponakan Mbah Marijan
Aktivitas warga di kawasan Desa Umbulharjo, Kecamatan Cangkringan, Kabupaten Sleman tidak banyak berubah meski status Gunung Merapi menjadi siaga.
Trauma Erupsi Gunung Merapi, Penjual Bakso Berbekal HT
Seorang penjual bakso dan mie ayam di Ngrangkah, Desa Umbulharjo, Kecamatan Cangkringan, Kabupaten Sleman, selalu ditemani HT saat menjual.
Ternak untuk Maulid Nabi Muhammad dan Kepercayaan Warga Aceh
Sebagian warga Aceh memiliki kepercayaan bahwa ternak yang diniatkan untuk disembelih pada perayaan maulid Nabi Muhammad bisa menghindarkan bahaya.
0
Investasi Sosial di Aceh Besar, Kemensos Bentuk Kampung Siaga Bencana
Lahirnya Kampung Siaga Bencana (KSB) merupakan fondasi penanggulangan bencana berbasis masyarakat. Seperti yang selalu disampaikan Mensos.