Buruh Gendong di Pasar-pasar Tradisional yang Terabaikan

Perempuan yang bekerja sebagai buruh gendong di pasar-pasar tradisional merupan perempuan perkasa yang jadi tulang punggung ekonomi keluarga
Fenomena buruh gendong perempuan di pasar-pasar tradisional di Kota Solo, Jawa Tengah, dan banyak kota lain di Indonesia (Foto: voaindonesia.com - VOA/Yudha Satriawan)

Jakarta – Ketika banyak orang bicara soal emansipasi dan pemberdayaan perempuan saat merayakan Hari Kartini, 21 April dan Hari Buruh 1 Mei, para buruh gendong di pasar-pasar tradisional sudah menjalaninya sebagai keseharian hidup sejak lama. Yudha Satriawan menemui mereka langsung di Solo. Yudha Satriawan melaporkannya untuk voaindonesia.com.

Langkah Suprapti untuk membawa barang-barang di punggungnya tak terhenti meski terik matahari menyengat tubuhnya. Bermodalkan selembar selendang kain dan fisik yang kuat, Suprapti bersama sedikitnya 25 perempuan buruh gendong hilir mudik di Pasar Legi Solo, Jawa Tengah, setiap hari mengangkut barang dengan berat puluhan kilogram di punggung mereka.

"Sudah 15 tahun saya jadi buruh gendong di pasar ini. Sekali angkut bisa 60-70 kilogram. Bayaran angkutnya antara Rp 7.000 - Rp 10.000, tergantung yang ngasih. Siang ini baru dapat dua orderan, sekitar Rp 20 ribu," ujar Suprapti dengan penuh semangat.

buruh gendongBuruh gendong perempuan di pasar-pasar tradisional di Kota Solo, Jawa Tengah, dan banyak kota lain di Indonesia. (Foto: voaindonesia.com - VOA/Yudha Satriawan)

Di sela-sela hiruk pikuknya pasar, Suprapti –yang berasal dari Karanganyar, di timur Kota Solo– bersama rekan kerjanya beristirahat di pojok pasar sambil makan minum dan bersenda gurau. Tak ada beban dalam tawanya. Tak ada diskusi panjang soal emansipasi atau pemberdayaan perempuan, karena yang ada dalam benak mereka adalah bagaimana menyambung hidup ke depan.

Suami Suprapti bekerja serabutan, kadang buruh bangunan, kadang buruh tani, atau pekerjaan apapun. “Yang penting halal,” tegasnya.

Uang hasil bekerja dikumpulkan untuk kebutuhan makan keluarga dan biaya sekolah anak-anaknya.

Kondisi serupa diungkapkan perempuan buruh gendong lainnya, Hartini. Bagi Hartini, pekerjaan ini dapat mencukupi kebutuhan hidup keluarganya. Ia mulai datang ke pasar dan bekerja mulai dari pukul 09.00 hingga 17.00. “Tergantung orderan,” katanya.

perempuan buruh gendongPerempuan yang jadi buruh gendong di pasar-pasar tradisional di Kota Solo, Jawa Tengah, dan banyak kota lain di Indonesia (Foto: voaindonesia.com - VOA/Yudha Satriawan)

"Saya sudah 19 tahun bekerja sebagai buruh gendong. Sejak anak saya usia 2 tahun hingga sekarang ia sudah berusia 21 tahun. Saya sudah tidak punya suami. Jadi saya menjadi tulang punggung keluarga,” ujar Hartini.

Hartini mengaku tak lagi merasakan beban berat di punggungnya karena sudah terbiasa. Hartini mengatakan mulai bekerja sebagai buruh gendong karena diajak saudara dan teman-temannya yang sudah lebih dulu memulai pekerjaan ini.

1. Saling Jaga, Saling Bantu

Ketika beristirahat siang, puluhan perempuan buruh gendong itu meluruhkan segala penat di badan dengan saling memijat dan mengoles balsem. Sesekali mereka tertawa, tak jarang menangis haru bersama. Misalnya ketika bicara soal teman sesama buruh gendong yang jatuh sakit.

Suprapti mengatakan selama ia dan teman-temannya menggunakan kartu kesehatan gratis yang diterbitkan pemerintah, yaitu Kartu Indonesia Sehat atau KIS. Mereka berobat ke puskesmas atau rumah sakit pemerintah yang gratis.

"Ya kalau sakit, berobat ke puskesmas, pakai kartu KIS itu. Gratis. Saya kan tidak punya uang berobat. Buat makan keluarga saja pas-pasan,” ungkap Suprapti.

2. Kartini Sejati

Pengamat sosial di Universitas Negeri Sebelas Maret UNS Solo Ahmad Romdhon melihat keberadaan perempuan buruh gendong di sejumlah pasar tradisional sebagai potret perempuan tangguh.

"Ada suatu segmen perempuan dalam pekerjaan yang merupakan domain laki-laki. Namun dalam ranah pasar menjadi pilihan realistis bagi perempuan," ujar Romdhon kepada VOA.

Mereka, lanjutnya, tidak punya modal kemampuan non-fisik lainnya, misal berdagang, bersaing bersama ekosistem di pasar. Mereka memilih bekerja sebagai buruh gendong.

3. Janji Wali Kota Solo

"Disebut emansipasi perempuan buruh gendong ini bisa iya, bisa tidak. Iya karena mereka keluar dari ranah domestik dalam rumah, bertanggung jawab pada keluarganya. Kalau kita lihat ibu rumah tangga di rumah, beban kerjanya melebihi beban kerja laki-laki yang harus bekerja di ranah publik," tegasnya.

Wali Kota Solo Gibran Rakabuming RakaWali Kota Solo, Gibran Rakabuming Raka, saat ditemui VOA di Balaikota Solo, 17 April 2021 (Foto: voaindonesia.com - VOA/ Yudha Satriawan)

Lebih jauh ia menyoroti kondisi fisik perempuan buruh gendong yang kurang diperhatikan, misalnya kondisi tulang belakang, siklus haid dan hormonal, hingga dampak ketika memasuki usia lanjut.

Sementara itu, Wali Kota Solo, Gibran Rakabuming Raka, saat ditemui di Balaikota Solo, Jumat (30/4), menyatakan akan lebih memperhatikan nasib para buruh gendong di pasar itu.

"Akan kami lebih perhatikan lagi nasib dan kondisi mereka. Kan kami kemarin yang jelas sudah membantu vaksinasi di pasar tradisional, termasuk para buruh gendong. Para buruh non-formal akan lebih kami perhatikan lagi", ujar Gibran (ys/em)/voaindonesia.com. []

Berita terkait
Peluh Keringat Buruh Gendong Usia Senja di Yogyakarta
Perempuan-perempuan berusia senja itu begitu perkasa, menjadi buruh gendong bahkan buruh panggul di Pasar Beringharjo Yogyakarta. Ini kisah mereka.
Kisah Buruh Gendong Pasar Beringharjo Yogyakarta
Sumiyati, buruh gendong Pasar Beringharjo hanya diupah Rp 5.000 sekali angkut. Toh, dia bisa menyekolahkan dua anaknya hingga menikah.
0
Melihat Epiknya Momen Malam HUT DKI Jakarta Lewat Lensa Galaxy S22 Series 5G
Selain hadir ke kegiatan-kegiatan yang termasuk ke dalam agenda perayaan HUT DKI Jakarta, kamu juga bisa merayakannya dengan jalan-jalan.