Bisakah Istri Mengubah Suami Sesuai Keinginannya?

Cinta istri kepada suami bisa hilang seiring berjalannya waktu, karena keadaan-keadaan yang sulit dijelaskan. Lantas, bisakah istri mengubah suami?
Ilustrasi - Suami Istri. (Foto: Tagar/Unsplash/Andrew Neel)

Oleh: Setiawati Intan Savitri*

“Bu, bagaimana caranya agar suami mengerti bahwa ia harusnya ikut membantu pekerjaan rumah saya?” 

“Bu, suami saya tidak pernah bersikap romantis, bagaimana agar suami saya bisa memenuhi kebutuhan saya tersebut?” 

“Suami saya sepertinya kurang bersemangat mencari uang, bagaimana agar ia mau bekerja lebih agar....” 

“Bu, suami saya.... “

Demikianlah beberapa istri mengeluhkan suaminya pada beberapa event yang mengundang saya atau saya adakan. Saya bisa jadi pernah ada dalam fase tersebut, mengira bahwa perkawinan adalah sebuah tempat reparasi. Apakah fase itu dapat saya lewati dengan baik? Alhamdulillah, lumayan. Tetap menganggap perkawinan adalah tempat reparasi, tetapi objeknya menjadi “diri sendiri”

Empati

Empati adalah pekerjaan menempatkan diri pada sisi orang orang. Empati menjadi sulit ketika kita harus berempati pada seseorang yang ‘berbeda’ dengan kita. Laki-laki dan perempuan tentu berbeda, tidak hanya dari sisi fisik, tetapi juga psikologisnya, serta kebudayaan diri yang dimilikinya. Itu sebabnya John Gray membagikan ideologinya tentang betapa berbedanya “Mars dan Venus” dengan intens dan radikal dan kemudian ideologi ini menjadi referensi para trainer pernikahan. 

Beraksi impulsif tidak akan banyak menolong. Distraksi dulu saja, jika ada perbedaan pendapat. Pergi ke laut, eh ke kamar atau ke taman untuk jalan-jalan, ke dapur masak yang enak.

Jika kita seorang yang normal dari sisi fisik, kita akan kesulitan berempati pada mereka yang memiliki disabilitas fisik. Jika kita berkulit putih, sulit bagi kita untuk berempati pada mereka yang berkulit hitam dan sebaliknya. Sebab pekerjaan paling mudah bagi kognisi kita adalah berempati pada mereka yang memiliki kesamaan dengan kita. Ketika berbeda, maka usaha kognitif yang harus kita lakukan jauh lebih menantang. Masalahnya hanyalah, bagaimana cara kita menghadapi tantangan itu. Kalau kita pengecut ya kita lari, kalau kita berani kita bertahan dan menghadapi.

Demikian pula empati kepada pasangan.

Pasangan kita pastinya memiliki hal-hal yang berbeda dengan kita. Coba pikirkan, hampir seperempat usianya dia dibesarkan dengan cara-cara tertentu oleh orang tuanya yang tentu berbeda dengan cara orang tua kita membesarkan kita. Ia mungkin memiliki budaya dari keluarga bahwa laki-laki harus dinomorsatukan, sementara di keluarga kita tidak ada beda laki-laki dan perempuan. Hal ini bisa jadi masalah besar, seperti juga masalah mematikan lampu atau tidak saat tidur.

Sulit? Ya tentu saja, sebab pada dasarnya seseorang itu egosentrik dan menganggap diri benar. Meskipun empati juga punya sisi gelap -sebagaimana semua konsep di dunia ini memiliki sisi gelapnya- namun saat kita menghadapi sebuah perbedaan dengan pasangan –orang yang setiap hari kita temui- maka agar kita survive, empati salah satu yang bisa membantu. Tetapi tahapnya harus dimulai dengan memahami diri Anda sendiri dulu. Sebelum Anda berempati kepada orang lain.

Bagaimana Caranya?

Pertama, tentu saja tidak langsung bereaksi saat perbedaan muncul. Beraksi impulsif tidak akan banyak menolong. Distraksi dulu saja, jika ada perbedaan pendapat. Pergi ke laut, eh ke kamar atau ke taman untuk jalan-jalan, ke dapur masak yang enak, atau menulis diary atau surat untuk si dia yang sedang menjengkelkan (p.s : ikut workshop saya boleh deh). Tapi ingat, peristiwa ini tidak boleh diabaikan atau dianggap tidak ada, sebab mengabaikan hanya akan menumpuk masalah yang pada suatu hari yang runyam akan menghantam.

Kedua, saat sedang distraksi itu, pikirkan diri Anda. Diri Anda ya, bukan suami Anda. Pikirkan kenapa diri Anda memiliki pendapat tersebut? (yang berbeda dengan pasangan Anda itu). Dari mana pendapat itu berasal? Mengapa penting untuk Anda? Mengapa pendapat itu menurut Anda ‘benar’? Adakah yang bisa ditawarkan untuk dikompromikan dengan pasangan? Jika tidak bisa dikompromikan, tanyakan kembali mengapa? Apakah hal tersebut membuat Anda mati?

Jika memang berbahaya dan mengancam kehidupan Anda, Anda harus datang ke profesional. Sembari mengingat kredo ini “Semua yang tidak membuat kita mati, akan membuat kita kuat”.

Ketiga, kadang-kadang pikiran kita saat memikirkan sesuatu akan bergerak secara acak dan tidak bisa terstruktur dengan baik. Maka cara yang mungkin kita lakukan adalah menyusun ulang dalam bentuk tulisan. Bisa tulisan bebas dulu ekspresikan semua pikiran dan perasaan Anda yang terdalam, nanti kita baca ulang saat kita sudah reda secara emosional.

Keempat, baca ulang tulisan Anda. Apakah masalah Anda benar-benar sangat genting bisa ketahui saat kita membaca ulang ini. Kita bisa menjadi orang lain saat membaca tulisan kita sendiri. Ketika Anda menjadi ‘konselor’ bagi Anda sendiri dengan membaca tulisan Anda, petakan masalah Anda. Identifikasi masalah Anda. 

*Psikolog Sosial dari Universitas Mercu Buana Jakarta

Berita terkait
9 Kalimat yang Tidak Boleh Ditanyakan pada Wanita Haid
Menstruasi dan perempuan adalah dua hal yang tidak terpisahkan. Dalam kondisi ini semua wanita pasti menjadi lebih sensitif dan mudah kesal.
5 Kondisi Kesehatan Picu Depresi pada Usia 40 Tahun
Memperhatikan kondisi kesehatan saat menginjak usia 40 tahun penting dilakukan, karena dapat memicu depresi.
Situs Resep Masak yang Menginspirasi Selama di Rumah
Kehabisan ide membuat masakan selama di rumah karena pandemi corona? Jangan khawatir, berikut sejumlah situs masak yang bisa membantu bunda.
0
Surya Paloh Sebut Nasdem Tidak Membajak Ganjar Pranowo
Bagi Nasdem, calon pemimpin tak harus dari internal partai. Ganjar Pranowo kader PDIP itu baik, harus didukung. Tidak ada membajak. Surya Paloh.