Bingung, Sarjana Masih Saja Nganggur? Ini Jawabannya!

Banyak sarjana nganggur lantaran tidak mau melakukan sembarang pekerjaan.
Presiden Joko Widodo (kiri) bersama Rektor IPB Herry Suhardiyanto (kanan) berbincang saat sidang terbuka di Kampus IPB, Dramaga, Bogor, Jawa Barat. (Foto: Ant/Arif Firmansyah).

Jakarta, (Tagar 13/9/3018) – Wisuda adalah mimpi setiap mahasiswa. Bagaimana tidak? Jatuh bangun selama kurang lebih empat tahun baru akan berakhir jika mereka telah melalui perhelatan sakral yang menjadikan toga sebagai simbolnya.

Para wisudawan dan wisudawati dengan muka sumringah melalui hari berbahagia itu. Tanpa mereka sadari, ada tugas lebih berat yang harus mereka lewati sebagai lulusan sarjana. Ya tentu mencari kerja.

Tak mudah. Bahkan cenderung sangat sulit bagi sarjana lulusan baru atau  yang lebih dikenal sebagai fresh graduate untuk mendapat pekerjaan impian mereka. Sebagian besar fresh graduate terpaksa harus  berstatus sebagai pengangguran untuk waktu yang cukup lama.

Sebut saja Marina Indah Iklima, sarjana lainnya yang tak jua mendapatkan pekerjaan usai dirinya diwisuda dua tahun lalu. Ia adalah sarjana Teknik Pangan dari universitas swasta di Bandung.

Meski tak patah semangat untuk mendapat pekerjaan, Marina menilai adanya kesulitan mencari kerja lantaran jurusan yang ia ambil.

“Mungkin karena saya lulusan dari jurusan teknik pangan, di mana jarang sekali ada perusahaan umum yang mencari posisi untuk jurusan tersebut. Paling tidak harus menunggu perusahaan pangan membuka lowongan pekerjaan, itu pun masih harus melalui seleksi yang ketat,” tandas dia kepada Tagar, Kamis (13/9).

Marina memang tak sendirian. Seorang Fresh Graduate dari salah satu universitas negeri di Kota Bandung, Fajar Gema Ramdhani mengaku bukan tanpa usaha dirinya dalam mencari pekerjaan.

Menurut pria berusia 23 tahun itu, tepatnya sudah delapan bulan ia menganggur sejak diwisuda pada Januari 2018 lalu. Kepada Tagar ia menjelaskan berbagai kendala dalam proses mencari kerja salah satunya yakni soal pengalaman.

“Kesulitan yang saya rasakan yakni terkait pengalaman kerja, rata-rata sebuah perusahaan jarang menerima mahasiswa yang fresh graduate, dalam persyaratan harus sudah minimal bekerja kurang lebihnya satu tahun atau dua tahun,” papar Fajar kepada Tagar, Kamis (13/9).

Fajar menilai syarat ini tentu memberatkan para sarjana fresh graduate, meskipun pernah menjalani magang selama satu bulan di sebuah perusahaan saat masih kuliah, hal ini kata dia, tak banyak berpengaruh.

“Kenapa harus ada aturan (pengalaman kerja) itu, bayangkan saja jika semua di Indonesia menerapkan aturan itu, lantas kami mau mencari pengalaman kerja di mana? Jaga warnet? Karena pada faktanya karyawan yang sudah mempunyai pengalaman kerja dan fresh graduate sama-sama masih dalam proses trial and learn, sehingga bisa menemui yang namanya error,” keluhnya.


Para pencari kerjaPara pencari kerja sedang mengurus surat AK-1 (surat untuk pencari kerja) Dinas Koperasi UKM Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupaten Jepara. (alf)

Guna meminimalisir banyaknya pengangguran, Fajar berharap setiap universitas atau pun perguruan tinggi untuk menjalin kerja sama dengan perusahaan-perusahaan sesuai jurusan, sehingga lulusannya nanti tak kesulitan mencari kerja.

“Alangkah lebih baiknya kalau universitas di Indonesia menjalin kerjasama dengan beberapa perusahaan di bidang-bidang tertentu sesuai fakultas atau prodi yang terdaftar pada universitas tersebut,” papar dia.

Tidak sampai di situ, Fajar menilai peran pemerintah pun sangat besar untuk bisa membantu mengurangi jumlah sarjana pengangguran di Indonesia.

“Juga didukung oleh pemerintah pusat di mana pemerintah pusat harus mewajibkan universitas menjalin kerjasama sekurang-kurangnga dengan lima sampai 10 perusahaan di Indonesia dan membuat undang-undang mengenai peraturan tersebut,” tegasnya.

Dilansir dari vice.com, jumlah lulusan perguruan tinggi di Indonesia setiap tahunnya mencapai 250 ribu orang. Ironisnya lagi, pertumbuhan jumlah perusahaan di Indonesia termasuk pesat dalam beberapa tahun terakhir. Dalam satu dekade terakhir, ada 3,98 juta perusahaan baru muncul di Tanah Air.

Itu berarti setidaknya setiap tahun bermunculan 398.000 perusahaan rintisan. Kini total perusahaan di Indonesia mencapai 26,71 juta berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) sepanjang 2017.

Di samping itu, berdasarkan data Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti) angka pengangguran saat ini ada 630 ribu sarjana yang tak jua mendapat pekerjaan, jumlah tersebut adalah 8,8 persen dari total 7 juta pengangguran di Indonesia.

Lalu, dengan jumlah perusahaan yang terbilang sangat fantastik itu mengapa masih banyak sarjana menganggur?

Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (Aptisi) menduga banyaknya sarjana pengangguran lantaran kebijakan pemerintah Indonesia yang tidak mengontrol izin pendirian perguruan tinggi baru.

Pada 2017, ada lebih dari 4.000 perguruan tinggi di Indonesia, di mana sekira 97 persennya adalah kampus swasta. Aptisi menuding pemerintah terlalu gampang memberikan izin pendirian perguruan tinggi. Tapi sayangnya hal tersebut tidak dibarengi dengan peningkatan kualitas pendidikan.


SBMPTMIlustrasi Ujian Seleksi Bersama Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SBMPTN). (Foto: Istimewa)


Pernyataan tersebut didukung oleh pakar pendidikan dan mantan Guru Besar Universitas Negeri Jakarta, Arief Rachman.

Arief menilai kualitas perguruan tinggi selama dua puluh tahun terakhir tidak kunjung membaik. Desain kurikulum pendidikan berbagai jurusan selalu tertinggal dari kebutuhan riil industri dan bisnis.

Semua ini, menurut Arief, adalah akumulasi kesalahan sistem pendidikan yang diwariskan era Orde Baru. Selama Suharto berkuasa, pendidikan tinggi dirancang untuk tidak menghargai proses belajar dan hanya mementingkan status akhir sebagai sarjana.

"Akhirnya banyak mahasiswa hanya mengejar status, bukan proses untuk menjadi sarjana. Akhirnya mereka jadi tak punya pemahaman apa-apa terhadap proses pendidikan yang sudah dilalui,” ungkap Arief.

Sementara itu, mengutip dari glints.com, Dirjen Pembinaan Pelatihan dan Produktivitas Kerja Kementerian Ketenagakerjaan RI, Bambang Satrio Lelono menilai penyebabnya adalah faktor preferensi, di mana masih banyak lulusan baru yang terlalu memilih-milih pekerjaan.

Menurut dia, masih banyak lulusan sarjana yang tidak mau melakukan sembarang pekerjaan karena dianggap tidak setara dengan kompetensi yang dimiliki. Alhasil, para lulusan ini malah menganggur dan tidak bekerja sama sekali.

Selain faktor tersebut, masih ada lagi faktor yang berperan dalam masalah pengangguran, yaitu tidak sesuainya kompetensi ilmu dengan kebutuhan di dunia kerja dan kualifikasi yang dimiliki.

Kualifikasi yang dimaksud merupakan kemampuan yang tidak sesuai, seperti seorang sarjana dengan kompetensi rendah, sehingga mendapatkan pekerjaan dengan level yang tidak sesuai. []

Berita terkait
0
Hasil Pertemuan AHY dan Surya Paloh di Nasdem Tower
AHY atau Agus Harimurti Yudhoyono mengaku sudah tiga kali ke Nasdem Tower kantor Surya Paloh. Kesepakatan apa dicapai di pertemuan ketiga mereka.