Untuk Indonesia

Bidak-bidak Jokowi

Jokowi bukan hanya seorang Presiden, ia juga ahli strategi perang yang handal.
Ilustrasi (Rully)

Oleh: Denny Siregar*

Serangan ini bukan tanpa maksud, karena ada kelompok yang ingin mengambil brand Islam dan ulama sebagai justifikasi kelompoknya. Dengan merampok brand tersebut, mereka ingin umat Islam condong pada kelompok mereka.Diterbitkannya buku "Jokowi Undercover" oleh seorang yang bernama Bambang Tri Mulyono, adalah bagian dari desain untuk membentuk citra Jokowi sebagai PKI, yang notabene adalah "musuh umat Islam".

Ketika Jokowi akhirnya membubarkan HTI, suara-suara bahwa Jokowi adalah Presiden yang anti dengan ormas Islam begitu kencang. Apalagi ketika Rizieq Shihab ditetapkan sebagai tersangka kasus chat seks, tudingan bahwa Jokowi telah melakukan kriminalisasi ulama semakin membahana.Yang saya kagumi adalah langkah-langkah Jokowi dalam mengatasi serangan mereka.

Jokowi diam seperti tidak menanggapi, tetapi sesungguhnya ia sedang memikirkan langkah-langkah strategis untuk mematikan gerakan mereka. Ia tidak perlu berhadapan langsung head to head dengan kelompok itu, tetapi justru berselancar dengan isu mereka..Ia juga merekrut pentolan-pentolan kelompok Islam untuk bergabung dengannya seperti Din Syamsudin, Ma'aruf Amin dan Ali Mochtar Ngabalin untuk berhadapan langsung dengan kelompok itu. Langsung kelompok yang selama ini sibuk memakai kalimat, "kami umat Islam", itu mati gaya.

Tidak hanya itu, Jokowi juga mendekatkan dirinya dengan ormas terbesar di Indonesia, Nahdlatul Ulama, sebagai tamengnya. Ia berbaur dengan para santri, sehingga secara pelan ia tercitrakan sebagai seorang santri. Ia menggandeng kyai-kyai NU yang dengan sadar membentuk barisan untuk melindunginya.Lawan politik Jokowi terbungkam hebat.

Jokowi bukan hanya seorang Presiden, ia juga ahli strategi perang yang handal. Dan itu diakui oleh Jenderal-Jenderal yang pendukungnya, seperti LBP, AM Hendropriyono dan Moeldoko. "Keras kepala, tapi strateginya gila.." Begitu ucapan salah seorang dari mereka waktu sempat berbincang sejenak.Butuh secangkir kopi untuk menonton pertandingannya, tetapi butuh bercangkir-cangkir kopi untuk memahami langkahnya.Sejak awal berkuasa, pemerintahan Jokowi sering diserang sebagai pemerintahan "anti Islam" dan "kriminalisasi ulama".

Serangan ini bukan tanpa maksud, karena ada kelompok yang ingin mengambil brand Islam dan ulama sebagai justifikasi kelompoknya. Dengan merampok brand tersebut, mereka ingin umat Islam condong pada kelompok mereka.

Perhatikan saja. Dengan kasar kelompok ini menggiring persepsi bahwa Jokowi adalah komunis, atau orangtuanya PKI.

Diterbitkannya buku "Jokowi Undercover" oleh seorang yang bernama Bambang Tri Mulyono, adalah bagian dari desain untuk membentuk citra Jokowi sebagai PKI, yang notabene adalah "musuh umat Islam".

Belum selesai, kelompok ini juga setiap mendekati tanggal 1 Oktober selalu meributkan kemunculan PKI dan mendorongnya ke Jokowi untuk mendapatkan reaksi yang bisa mereka goreng nanti.

Ketika Jokowi akhirnya membubarkan HTI, suara-suara bahwa Jokowi adalah Presiden yang anti dengan ormas Islam begitu kencang. Apalagi ketika Rizieq Shihab ditetapkan sebagai tersangka kasus chat seks, tudingan bahwa Jokowi telah melakukan kriminalisasi ulama semakin membahana.

Begitulah mereka, menunggangi agama untuk pelampiasan syahwat politiknya. Agama sudah bukan lagi petunjuk, the way of life, tetapi dijadikan senjata untuk bagaimana bisa berkuasa..

Yang saya kagumi adalah langkah-langkah Jokowi dalam mengatasi serangan mereka..

Berbeda dengan mantan Presiden SBY yang menggunakan media sosial sebagai ajang curhatnya, Jokowi tidak pernah bersuara menanggapi serangan-serangan yang datang padanya. Ia tahu, bahwa reaksi darinya akan memantik aksi selanjutnya, dan seperti bola salju mereka akan menggulung dirinya..

Jokowi diam seperti tidak menanggapi, tetapi sesungguhnya ia sedang memikirkan langkah-langkah strategis untuk mematikan gerakan mereka. Ia tidak perlu berhadapan langsung head to head dengan kelompok itu, tetapi justru berselancar dengan isu mereka..

Ketika diundang untuk nonton film PKI yang sudah lama tidak diputar di televisi, ia datang dengan gaya santai. Ini jelas membuat kekagetan dari penggagas acara yang berusaha membuat framing bahwa Jokowi tidak mau menonton film yang mendiskreditkan komunis. Jokowi malah bicara, seharusnya film PKI itu dibuat ulang dengan gaya milenial. Piye, toh ?

Ia juga merekrut pentolan-pentolan kelompok Islam untuk bergabung dengannya seperti Din Syamsudin, Ma'aruf Amin dan Ali Mochtar Ngabalin untuk berhadapan langsung dengan kelompok itu. Langsung kelompok yang selama ini sibuk memakai kalimat, "kami umat Islam", itu mati gaya.

Bagaimana bisa bilang Jokowi itu PKI atau anti Islam, jika pentolan-pentolan Islam itu ada disana ? Kan sama juga menuding mereka PKI ? Wah, bahaya..

Tidak hanya itu, Jokowi juga mendekatkan dirinya dengan ormas terbesar di Indonesia, Nahdlatul Ulama, sebagai tamengnya. Ia berbaur dengan para santri, sehingga secara pelan ia tercitrakan sebagai seorang santri. Ia menggandeng kyai-kyai NU yang dengan sadar membentuk barisan untuk melindunginya.

Puncak dari kemenangan Jokowi adalah ketika kemarin malam ia menggelar acara Zikir bersama di Istana yang dihadiri ribuan santri. Selesai sudah. Siapa yang masih menuding bahwa ada PKI di Istana?

Lawan politik Jokowi terbungkam hebat..

Isu "anti Islam" dan "kriminalisasi ulama" akhirnya anti klimaks. Jokowi begitu pandai menempatkan bidak-bidak caturnya dengan posisi rapat sehingga lawan tidak bisa menerobos ke benteng pertahanannya. Ia bukan hanya bertahan, tetapi juga menyerang sekalian. Deklarasi mendukung Jokowi oleh para ulama di daerah-daerah di gelar sebagai bagian dari memperkuat posisinya..

Jokowi bukan hanya seorang Presiden, ia juga ahli strategi perang yang handal. Dan itu diakui oleh Jenderal-Jenderal yang pendukungnya, seperti LBP, AM Hendropriyono dan Moeldoko. "Keras kepala, tapi strateginya gila.." Begitu ucapan salah seorang dari mereka waktu sempat berbincang sejenak.

Menonton strategi-strategi Jokowi dalam "perang"nya, seperti menonton bagaimana pecatur Bobby Fischer mengalahkan Boris Spassky di tahun 1972.

Butuh secangkir kopi untuk menonton pertandingannya, tetapi butuh bercangkir-cangkir kopi untuk memahami langkahnya.

* Denny Siregar, Penulis buku 'Tuhan dalam Secangkir Kopi'

Berita terkait
0
Tinjau Lapak Hewan Kurban, Pj Gubernur Banten: Hewan Kurban yang Dijual Dipastikan Sehat
Penjabat (Pj) Gubernur Banten Al Muktabar meninjau secara langsung lapak penjualan hewan kurban milik warga di Kawasan Puspiptek.