Bertaruh Nyawa Saat Berburu Baju Lebaran di Bantaeng

Pengunjung bejibun, kadang padatnya sampai bikin orang-orang jalan penuh keringat di pasar sentral Bantaeng, Sulawesi Selatan.
Tampak seorang pengunjung sedang mencari baju lebaran di pasar sentral Bantaeng, Sulawesi Selatan, Kamis, 21 Mei 2020. (Foto: Tagar/Fitriani Aulia Rizka)

Bantaeng - Menteri Agama Fachrul Razi mengumumkan Hari Raya Idulfitri 1 Syawal tahun 1441 Hijriyah jatuh pada hari Ahad atau Minggu tanggal 24 Mei 2020 besok. Tampaknya lebaran tahun ini jauh berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya, sebab pandemi virus corona atau Covid-19 belum masuk dan melanda Indonesia. Biasanya tak ada larangan berbelanja sesuka hati, berkumpul, bercengkerama, berdesak-desakan di pasar, beramai-ramai kongko, bahkan tak pernah ada imbauan untuk tidak salat Idulfitri berjamaah di masjid atau tempat terbuka lainnya. 

Saat udara segar dan bebas masih leluasa di nikmati. Belum juga ada tim medis yang harus rela berkorban hati dan diri jauh dari keluarga sendiri di saat seperti ini.

Ngeri, padahal sebelum-sebelumnya tidak begini. Pasar tetap ada pengunjung tapi dalam jumlah dan kondisi yang terkendali.

Seminggu sebelum lebaran pun pengunjung pasar sudah membludak. Apalagi di pasar sentral Bantaeng, Sulawesi Selatan. Tidak ada pusat belanja mewah di sini. Orang-orang masih menggunakan pasar tradisional untuk saling tawar menawar barang dan harga. 

Pengunjungnya bejibun, kadang padatnya sampai bikin orang-orang jalan penuh keringat. Demi memuaskan hasrat belanja yang serupa euforia. Beberapa orang bahkan menyebutnya budaya. Yah setelan pakaian baru di hari raya.

Selengkap-lengkapnya seolah wajib ada, ya kopiah baru, kerudung baru, gamis baru, baju koko baru, celana baru, sendal sepatu baru, semua mesti serba baru. Tak heran jika pasar kebanjiran orang. Bahkan terkadang, satu manusia dibelikan lebih dari satu setelan yang serba baru, misalnya anak-anak, musti genap dua atau tiga baju baru.

Tapi itu dulu, tahun ini semestinya berbeda. Sejak belasan pekan terakhir manusia hidup berdampingan dengan sebuah virus yang tak terlihat dengan mata kasar, apalagi kalau bukan Covid-19 alias virus corona. Keberadaannya membuat kehidupan kocar kacir, ya pemerintah ya rakyat juga. Hadirnya adalah sebuah ancaman, sehingga memutus banyak aktivitas dan mengimbau siapapun untuk di rumah saja.

Kamis, 21 Mei 2020, sehari lagi sebelum hari lebaran Idulfitri. Aprilia, perempuan berusia 20 tahun, yang bekerja sebagai penjaga salah satu stan di pasar sentral Bantaeng. Kepada Tagar, ia menceritakan gelombang manusia yang tiba-tiba menyerbu pasar sehari sebelum lebaran di hari pelarangan atau hari yang semestinya punya banyak aturan dan larangan ini. Kata Aprilia, meski bertubi-tubi imbauan pemerintah dan iklan sana sini untuk mengontrol diri, tapi semuanya seperti tidak punya arti.

"Ngeri, padahal sebelum-sebelumnya tidak begini. Pasar tetap ada pengunjung tapi dalam jumlah dan kondisi yang terkendali, mereka ikut aturan, bukan seperti tadi, hari ini betul-betul ngeri," kata Aprilia sambil memicingkan mata mengingat kembali apa yang disaksikannya sejak pagi hingga sore hari tadi.

Pasar BantaengTampak pengunjung memadati pasar sentral Bantaeng, Sulawesi Selatan, Kamis, 21 Mei 2020. (Foto: Tagar/Fitriani Aulia Rizka)

Orang-orang datang menyerbu, kios-kios pedagang dipadati sejak pagi. Namun entah, pikir Aprilia, apakah ini berkah atau justru musibah. Siapa yang akan dituntut jika ternyata salah satu pengunjung ini adalah seseorang yang mengidap Covid-19 namun tidak terdeteksi. 

Apakah harus dipertaruhkan uang yang tak seberapa hari ini dengan nyawa yang dilindungi selama beberapa bulan terakhir.

Siapa yang akan bertanggung jawab, jika kabupaten Bantaeng yang sejauh ini bertahan di zona aman tiba-tiba menjadi zona merah dalam sehari hanya karena hasrat memenuhi euforia baju baru yang tak terkendali.

Sungguh menakutkan, kata Aprilia. Sangat disayangkan kebebasan yang diberikan pemerintah tidak dimanfaatkan sebagaimana mestinya. Pengunjung pasar yang disaksikannya seperti orang yang sama sekali tak pernah mendengar informasi bahaya dari virus corona ini. 

Ada yang jalan bergandengan tangan, bertegur sapa dengan rekan sambil bersalaman, tidak memakai masker dan mungkin tak mengantongi hand sanitizer, bahkan buruknya beberapa meludah bebas semau hatinya.

Tak sampai di situ, beberapa pedagang juga lupa untuk mawas diri dan terkecoh dengan ramainya pengunjung. Tak ada ketegasan untuk memberikan ruang bagi pelanggannya untuk saling jaga jarak, tak ada yang saling mengingatkan. Apakah karena sekian lamanya pasar sepi, dan hari ini dijadikan hari pengobat alias hari balas dendam untuk meraup banyak untung. Lalu bagaimana dengan resiko-resikonya? Apakah ia tak punya keluarga untuk dilindungi? Apakah ia tak ingin melindungi dirinya sendiri?

"Sepertinya sebagian orang yang selama ini mengeluh kurang pembeli cukup puas dengan penghasilannya hari ini, yang biasanya dapat pembeli dua atau tiga orang hari ini pasti panen karena dapat 10-15 pelanggan, tapi apakah harus dipertaruhkan uang yang tak seberapa hari ini dengan nyawa yang dilindungi selama beberapa bulan terakhir," keluh Aprilia sambil mencoba menerawang apa yang dipikirkan orang-orang tadi.

Kepanikan yang luar biasa tampak dari raut wajah perempuan bermata bulat itu. Mungkin ia begitu banyak menonton dan membaca berita-berita tentang perkembangan Covid-19 sejauh ini. Ia juga mengaku prihatin terhadap para pekerja medis yang berada di garda depan dan tak bisa bersua dengan keluarga mereka karena sedang bertugas.

Jika bukan karena bekerja, saya ingin di rumah saja seperti yang lainnya tapi saya harus bekerja selagi bisa. Hanya saja, hari ini benar-benar mengerikan.

"Sebelum berangkat kerja saya sudah bayangkan sepertinya hari ini akan baik-baik saja, toh sudah hari terakhir di bulan puasa tapi ternyata hari ini saya merasa terjebak bahkan tempat parkir yang biasanya banyak kosong hari ini penuh," tutur Aprilia penuh kepasrahan.

Setelah pulang dari pasar tadi, ia lantas membersihkan diri dan berupaya untuk menjaga hati dan pikirannya agar tetap tenang. Menurutnya, ia adalah pribadi yang sangat sensitif dan mudah tersugesti. Aprilia melakukan segala upaya pembersihan diri untuk mengantisipasi terjangkitnya Covid-19.

"Iya saya sudah mandi dengan bersih, pakaianku kurendam air panas lalu kusabuni dengan baik, saya benar-benar khawatir bukan karena diriku sendiri, tapi saya takut jika nantinya saya adalah pembawa musibah di keluargaku. Jika bukan karena bekerja, saya ingin di rumah saja seperti yang lainnya tapi saya harus bekerja selagi bisa. Hanya saja, hari ini benar-benar mengerikan," kata Aprilia sambil menangkupkan kedua telapak tangannya.

Ia berharap, agar pandemi ini cepat berlalu. Sama seperti harapan kebanyakan orang di seluruh dunia. Tak ada yang ingin berlama-lama dengan kondisi seperti ini. Tapi jika kesadaran sendiri belum dimiliki, mungkin harapan itu akan tetap menjadi harapan jangka panjang saja.

"Kalau pemerintah tidak tegas dan masyarakat tidak sadar diri, sepertinya kita benar-benar harus pasrah dan terbelenggu seperti ini dalam waktu yang lebih lama lagi," ujar Aprilia. []

Baca cerita menarik lainnya: 

Berita terkait
Beroperasi di Bantaeng, Ini Empat Layanan Gojek
Gojek sudah resmi beroperasi di Kabupaten Bantaeng sejak, Selasa 19 Mei 2020, dengan empat layanan unggulan. Ini ke empat layanan tersebut.
Warga Bantaeng Diimbau Salat Idulfitri di Rumah Saja
Bupati Bantaeng mengeluarkan surat imbauan kepada warganya agar salat Idulfitri di rumah saja.
Seni Menyablon Papadev di Bantaeng
Nirman berdiri di antara tumpukan lebih dari 1000 lembar goodie bag berwarna hitam, pesanan pelanggan. Ia gesit, sangat menguasai pekerjaannya.