Belum Move On dari Joni

Belum move on dari Joni. Ia berlari ke hutan, memanjat pohon asam, memetik buahnya, dan ibunya mengumpulkannya ke dalam karung.
Belum Move On dari Joni | Joni si pemanjat tiang bendera. (Foto: Tagar/AF)

Jakarta, (Tagar 25/8/2018) - Masih soal Joni, belum mau move on dari Joni. Anak laki-laki berusia 14 tahun asal Desa Silawan, Kecamatan Tasifeto Timur, Kabupaten Belu, Nusa Tenggara Timur (NTT), yang sejak 17 Agustus 2018 menjadi buah bibir masyarakat Indonesia.

Nama lengkapnya Yohanes Ande Kalla Marcal. Namun, menurut sang kakak, Joqino Carvalho Marcal (19), sejak kecil adiknya yang duduk di kelas 1 SMP Negeri 1 Silawan ini memang sudah dipanggil Joni.

Mungkin semua sudah tahu bagaimana Joni menjadi begitu ramai diperbincangkan, sampai akhirnya diterbangkan oleh Menteri Pemuda dan Olah raga Imam Nahrowi ke Jakarta. Bertemu sejumlah menteri bahkan Presiden.

Bungsu sembilan bersaudara dari pasangan Lorensa Gama (53) dan Viktorlino Fahik Marcal (65) ini yang membuat Merah Putih akhirnya bisa dikibarkan saat upacara perayaan Hari Ulang Tahun (HUT) Republik Indonesia ke-73 di Atambua.

Joni memanjat tiang setinggi 20 meter yang terlihat semakin bergoyang hebat manakala puncaknya berhasil dicapai. Namun toh akhirnya tali pengait bendera yang terlanjur meluncur ke puncak tiang tersebut berhasil digapai.

Peristiwa spontanitas Joni ini mengingatkan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendy pada pemicu pecahnya pertempuran Surabaya, yakni penyobekan bagian bendera Belanda yang berwarna biru di atap Hotel Yamato sehingga meninggalkan hanya warna merah dan putih sebagai bendera Indonesia.

Situasinya memang berbeda, namun setidaknya semangatnya sama, yakni memastikan Merah Putih tetap berkibar.

Mencari Asam 

Joni di hadapan wartawan di Jakarta mengaku tidak takut saat memanjat tiang tersebut karena selama ini dirinya sudah terbiasa memanjat pohon. Mulai dari pohon pinang, asam hingga kelapa.

Bagi anak-anak, memanjat pohon mungkin hal lumrah dan terkadang justru mengasyikkan, terutama jika ternyata yang dipanjat itu pohon jambu atau mangga yang sedang lebat berbuah.

Tapi untuk pohon dengan ketinggian 10 hingga 20 meter? Qino, kakak ke-6 Joni yang ditemui saat menemani adiknya di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), Jakarta, bercerita tentang keseharian adiknya di tapal batas.

Desa Silawan, tempat keluarga Joni tinggal memang ada di tapal batas antara Indonesia dan Timor Leste. Menurut Qino, rumah keluarganya pun berjarak hanya beberapa ratus meter saja dari perbatasan dua negara.

Menurut siswa SMK Negeri 2 Belu yang mengambil jurusan otomotif ini, adik bungsunya seusai sekolah selalu membantu ibunya mengambil dan mengumpulkan asam.

Karena itu, hanya satu atau dua jam saja tersisa waktu di sore hari yang terkadang digunakan Joni untuk bermain sepak bola dengan teman-temannya.

Tentu yang memanjat pohon asam Joni, bukan mamaknya, ujar Qino. Adiknya biasa memanjat pohon asam dan mengambilnya, dan ibunya yang mengumpulkannya ke dalam karung.

Aktivitas mengumpulkan buah asam untuk dijual ini dilakukan di hutan sekitar desa. Menurut Qino, hutan yang ditumbuhi pohon-pohon asam ini cukup luas melingkupi tiga desa perbatasan Belu, bahkan menyeberang hingga ke Timor Leste.

"Iya kadang mereka (mamak dan Joni) juga mengambil asam sampai melewati perbatasan. Tidak apa-apa, boleh," ujar Qino.

Bulan-bulan di musim kering seperti ini, dari Juli hingga Oktober, menurut dia, merupakan waktu terbaik untuk mengambil asam. Terkadang jika pergi mengumpulkan asam dari pagi bisa membawa pulang hingga empat atau lima karung berisi asam.

"Tapi kalau pergi jam satu siang paling hanya dua kilogram terkumpul," lanjutnya.

Pohon asam di sana banyak dan juga sudah lumayan tua usianya, karenanya banyak pula yang tingginya 10 meter atau lebih. Pohon-pohon seperti ini yang hampir setiap hari dipanjat oleh adiknya, ujar Qino.

Setelah mengumpulkan asam, mamak akan kupas kulitnya lalu dimasukkan lagi dalam karung untuk kemudian dijual ke Atambua. "Atau nanti ada yang datang jemput," kata Qino.

Biasanya asam akan terkumpul hingga 40 kilogram (kg) dalam seminggu, dan akan dijual dengan kisaran Rp 5.000 per kg. Tapi jika benar-benar sedang banjir asam, menurut dia, terkadang hanya dikasih harga Rp 2.500 per kg.

Jual Roti Bakar

Selain menjual asam, sumber pendapatan lain keluarganya berasal dari roti bakar. Ibu Joni di malam hari, sepulang dari mengumpulkan asam, akan membuat roti bakar yang akan dijual sebagai menu sarapan pagi hingga ke perumahan terdekat di Timor Leste.

"Ada banyak rumah di sana, mungkin ada 100 rumah. Joni yang bawa ke sana pagi-pagi sebelum sekolah, dijual Rp 1.000 satu roti bakar," kata Qino.

Qino yang sekarang duduk di kelas 3 SMK ini mengatakan keseharian Joni sebenarnya sama dengan apa yang dilakukannya saat dirinya seusia adiknya. Karena sudah mulai banyak melakukan praktikum di sekolah akhirnya kegiatan membantu mamak diserahkan semua pada adik bungsunya.

"Ambil asam, panjat pohon, ambil rumput (untuk pakan ternak), jual roti bakar," kata Qino menyebutkan apa saja yang biasa dilakukan dirinya dan adiknya.

Sang ayah kebetulan sedang menderita asma dan hanya bisa sekali-sekali berladang jagung dan ubi jalar untuk makan sehari-hari.

Aktivitas mengumpulkan asam dan menjualnya ke Atambua atau diambil pembeli di rumah, menurut Qino, bukan hanya keseharian di keluarganya saja. Karena kebanyakan warga di desanya juga melakukan hal serupa.

Untuk anak-anak di tapal batas seperti Joni dan Qino, selain memanjat pohon, sepak bola jelas menjadi permainan terfavorit yang tidak boleh dilewatkan. Setelah berkutat dengan asam, gantian si kulit bundarlah yang dikejar dan ditendang mereka. []

Berita terkait
0
Tidak Pergi Haji ke Tanah Suci Mekkah Tapi Dapat Pahala Haji, Bagaimana Bisa
Apa mungkin mendapat pahala haji padahal seseorang tidak pergi ke tanah suci Mekkah untuk menjalanakan ibadah haji. Apakah ada contohnya.