Bagus Klitih Sebelum Menulis Naskah Film Tilik

Banyak tahapan yang harus dilalui untuk mendapatkan rangkaian cerita yang detil, unik dan menarik. Salah satunya nglithih.
Tangkapan layar salah satu adegan pada film Tilik yang skenarionya ditulis oleh Bagus Bacep Sumartono. (Foto: Tagar/Screenshot FIlm Tilik).

Yogyakarta – Perempuan dengan setelan hijab dan gamis berwarna hijau itu berdiri di dalam bak truk bersama beberapa perempuan lain. Jemari kedua tangannya menggenggam erat tampar plastik berwarna biru tua yang membentang dari sisi kanan ke kiri truk.

Warna bibir perempuan itu merah menyala, tampak kontras dengan pakaian yang dikenakannya. Namun sangat serasi dengan gerakan bibirnya yang cepat dan terkesan cerewet saat berbicara.

Truk yang ditumpangi para perempuan itu melaju di atas jalanan aspal berkelok-kelok, membuat salah satu perempuan di dalamnya mual dan muntah-muntah.

Beberapa kali pengemudi truk tersebut membunyikan klakson, sebagai peringatan untuk para penumpangnya, bahwa truk akan melintas di titik yang terdapat polisi lalulintas. Para perempuan itu spontan duduk di lantai bak truk jika mendengar kode tersebut.

Itu adalah sebagian adegan yang ada dalam film pendek berjudul Tilik, yang secara lugas mengisahkan tentang perjalanan sebagian warga saat menjenguk kerabat atau keluarga yang sedang sakit. Tilik sendiri dalam bahasa Indonesia berarti menjenguk.

Film dengan tokoh utama Bu Tejo itu viral dan diputar hingga 16 juta kali sejak tayang perdana di YouTube pada 17 Agustus 2020.

Kental dengan Muatan Lokal

Bagus Sumartono, penulis naskah film tersebut mengaku tidak pernah menyangka bahwa film yang ditulisnya itu akan viral seperti saat ini. Terlebih ide cerita film tersebut menurutnya sangat sederhana. Bagus terinspirasi oleh kebiasaan warga di Daerah Istimewa Yogyakarta, khususnya di Kabupaten Bantul, yakni menjenguk kerabat atau keluarga secara rombongan.

Saat itu, kata Bagus, dia bersama beberapa rekannya sedang menggarap satu project di daerah Saradan, Teriong, Kecamatan Dlingo, Kabupaten Bantul.

Di sana dia melihat beberapa warga yang mayoritas ibu-ibu berencana untuk menjenguk salah satu kerabat mereka. Mereka berangkat menggunakan truk bak terbuka, persis seperti yang ada dalam film. “Mergi kulo tepang kaleh sederek wonten mriko (Karena saya kenal dengan keluarga/teman di sana). Saya tahu ada ibu-ibu mau tilik (menjenguk) ke rumah sakit,” ujarnya memulai cerita.

Menurutnya, sudah menjadi rahasia umum bahwa saat banyak orang berkumpul, pasti ada satu atau beberapa yang bersikap seperti Bu Tejo dalam film.

Itu kayak jadi keniscayaan kalau rombongan tilikan itu pasti ada yang cerewet.

Selain kebiasaan yang dinilainya unik, minatnya untuk membuat film juga timbul saat melihat lokasi yang jalannya berkelok-kelok. Kata dia, secara visual lokasi itu sangat menarik untuk dijadikan lokasi syuting.

“Awalnya terpilih karena muatan lokalnya kental banget. Walaupun di luar jogja juga ada budaya tilikan. Yang mengesankan dari Dlingo naik turun, berkelok-kelok, secara visual itu menarik banget,” ucapnya.

Bagus Bacep SumartonoBagus Bacep Sumartono, penulis skenario film Tilik yang viral dengan tokoh Bu Tejo. (Foto: Tagar/Youtube Tagar TV).

Bagus sempat berniat untuk membuat film dokumenter tentang kegiatan itu, namun kemudian niatnya berubah setelah bertemu dengan Wahyu Agung Prasetyo.

Bagus akhirnya memantapkan diri untuk membuat film dengan cerita fiksi, meski ide awalnya berasal dari kejadian-kejadian di dunia nyata.

Bahkan dirinya sengaja membuat dialog dalam bahasa Jawa, sebab menurutnya dialog dengan bahasa Jawa akan lebih mengena dan lebih sesuai dengan apa yang ada di lapangan.

Selain itu, dengan bahasa Jawa, diyakini lebih bisa mengedukasi masyarakat supaya tidak gampang termakan hoaks, sekaligus menyindir kontestasi pilpres yang justru menjadi sumber pemecah belah di tengah masyarakat.

“Jadi naskah Tilik tersebut memang bervisi untuk mengedukasi masyarakat untuk cermat terhadap informasi apa pun, terutama yang berkaitan dengan internet,” ujar Bagus.

Sebagian besar pemeran dalam film Tilik adalah masyarakat desa Saradan, Dlingo, Bantul. Hanya satu pemeran yang merupakan aktris profesional, yakni Bu Tejo yang diperankan oleh Siti Fauziah. ”Pemeran utama memang aktris profesional, sisanya warga Saradan asli. Yang jadi sopir truk itu juga beneran sopir truk,” lanjutnya.

Bagus mengaku tidak pernah belajar secara khusus untuk membuat naskah skenario cerita. Keterampilannya itu dipelajari secara otodidak di komunitas film indie di Yogyakarta.

Dia bergabung di komunitas film indie sejak tahun 2003, namun Bagus mengatakan dirinya tidak ingat secara pasti berapa banyak skenario yang telah ditulisnya. Dia juga tidak ingat film apa saja yang pernah ditulisnya.

Terlebih sebagai pekerja seni, dia dan rekan-rekannya seringkali hanya berniat untuk membantu rekan lain dalam memroduksi film, sehingga tidak terlalu memikirkan credit tittle atau pencantuman nama dalam film yang telah selesai diproduksi.

“Kalau di komunitas indie itu sering nggak pakai credit tittle, yang penting bikin film,” kata Bagus menegaskan.

Klitih dan Kliping

Bagus juga mengakui bahwa untuk menulis naskah cerita bukan merupakan hal yang mudah. Ada banyak tahapan yang harus dilalui untuk mendapatkan rangkaian cerita yang detail, unik dan menarik. Bagus mengistilahkan pengumpulan bahan penulisan itu seperti mengkliping beragam kejadian.

Tangkapan Layar Film TilikTangkapan layar salah satu adegan dalam film Tilik, yang naskahnya ditulis oleh Bagus Bacep Sumartono. (Foto: Tagar/Screenshot Film Tilik).

“Kalau saya memandang proses menulis kayak orang bikin kliping, kalau makin banyak yang kita kliping perspektif kita makin utuh terhadap satu obyek,” jelasnya saat dihubungi melalui telepon seluler, Rabu, 26 Agustus 2020.

Dia mencontohkan, saat akan bercerita tentang pasar, tidak cukup hanya melihat tentang pasarnya saja. 

Agar cerita menjadi lebih detail dan hidup, dalam bercerita tentang pasar harus memasukkan unsur-unsur pendukung. Misalnya kegiatan pedagang, buruh gendong, tukang parkir, proses tawar menawar barang, dan segala yang terjadi di dalam pasar, bahkan kejadian-kejadian di sekitar pasar.

“Misalnya kita mau cerita tentang pasar, kan yang dikliping itu bukan pasarnya saja, tapi barang dagangannya, kondisi pasar, apa saja yang ada di pasar, dan lain-lain,” lanjutnya.

Untuk mengkliping segala kejadian yang dibutuhkan dalam penulisan, lanjut Bagus, dibutuhkan semacam survei lokasi. Dia menyebutnya dengan klitih atau jalan-jalan tanpa tujuan yang jelas. Sebab dengan nglithih, akan lebih banyak kliping yang bisa terekam dan ditulis.

“Sering-sering nglithih, main, dolan. Apa yang kita dengar, apa yang kita lihat, yang kita rasakan, itu kalau semakin banyak, juga membuat semakin kaya dalam menulis.”

Dari sekian banyak bagian dalam industri perfilman, Bagus mengaku dirinya hanya berminat untuk menjadi penulis skenario. Alasannya karena hanya keterampilan itulah yang dimilikinya.

Bagus mengatakan kondisi fisiknya tidak memungkinkan dirinya untuk bekerja di bagian lain yang membutuhkan banyak aktivitas fisik. Tapi dia tidak menjelaskan secara rinci tentang kondisi fisiknya.

“Karena memang dalam perjalanan karir saya bahwa saya bisanya cuma duduk dan nulis, bukan pekerjaan yang fisik gerak, karena tidak memungkinkan,” kata Bagus. []

Berita terkait
Mobil Internet Gratis untuk Anak di Yogyakarta
Seorang jurnalis di Yogyakarta berkolaborasi dengan komunitas Untuk Teman menyediakan internet gratis dan perpustakaan untuk anak.
Cerita Tegang dan Bahagia Khitanan Massal di Medan
Sejumlah anak mengikuti khitanan massal yang dilaksanakan di Sekretariat Bersama (Sekber) Rumah Kolaborasi Bobby Nasution, Jalan Cut Mutia, Medan.
Dara Bantaeng 2020 dan Sampah Hutan Pinus Rombeng
Aisyah, 17 tahun, Dara Bantaeng, menyoroti salah satu obyek wisata di Kabupaten Bantaeng, yakni Hutan Pinus Rombeng di Kecamatan Uluere.