Asal Usul Tradisi Angpau

Angpau sudah jadi tradisi dalam memperingati hari raya keagamaan seperti lebaran
Angpau China dan Angpau Lebaran. (Foto: deviantart.com dan pagekili.com)

Jakarta - Hari Idul Fitri telah tiba. Tentu saja momen ini sangat dinanti-nantikan oleh jutaan umat Islam di Indonesia bahkan di belahan dunia lain.

Namun tidak dipungkiri, momen kemenangan ini bagi anak-anak selalu menunggu kucuran angpau atau akrab disebut salam tempel. Seperti sudah menjadi tradisi jika hari raya keagamaan, ada amplop berisi sejumlah uang. 

Pastinya tak sedikit orang yang mengetahui asal-usul angpau. Melongok katanya, sudah dapat ditebak berasal dari Cina atau Tiongkok

Dari sejarahnya, sudah dimulai pada masa Dinasti Qin di Cina. Mulanya orang tua dahulu biasa mengikat uang koin dengan benang merah atau yang disebut dengan yāsuì qián yang berarti “uang pengusir roh jahat”. Seturut waktu, digantikan dengan amplop merah yang saat itu metode printing di Cina.

Warna merah itu sendiri melambangkan ungkapan keberuntungan atau mengusir energi negatif. Biasanya pemberi adalah mereka yang sudah menikah. Sedangkan penerima orang-orang yang belum berumah tangga atau masih anak kecil. 

Semakin berkembangnya zaman, angpau diadaptasi dan ditemukan saat Idul Fitri atau Lebaran. Biasanya diberikan oleh orang tua atau orang yang sudah bekerja kepada sanak saudara yang belum bekerja hingga anak kecil. 

Apa yang membedakan angpau Cina dengan di Indonesia. Terlihat dari warna amplopnya. Jika tradisi Cina warna merah, Di Indonesia berwarna hijau, melambangkan nuansa islami.

Namun berjalannya waktu, amplop berisi uang sudah warna putih atau bermotif gambar aneka rupa. Saat Lebaran, pemberian didasarkan pada tradisi sadaqah dalam ajaran Islam.

Ini juga berlangsung di Jepang. Uang jadi hadiah yang sangat umum dalam sebuah perayaan pernikahan di Negeri Sakura itu.

Orang tua mempelai pria memberikan uang kepada keluarga pengantin wanita dalam amplop khusus yang disebut ashugi-bukuro. Ada hiasan emas dan perak yang dipilin dan diikat menjadi simpul dekoratif. 

Jumlah uang di dalamnya biasanya sebesar tiga bulan gaji pengantin pria atau jumlah yang ditetapkan sebesar 500.000 yen (sekitar US$ 5.000).  

Tidak sampai di situ saja, di Negeri Matahari Terbit itu para tamu undangan yang menghadiri perayaan pernikahan juga memberikan hadiah uang tunai kepada pengantin wanita. 

Di sana ada juga kebiasaan memberi uang sebagai hadiah kepada anak-anak setiap tahun, yang disebut sebagai "Otoshidama". Ketika anak-anak itu tumbuh dewasa, maka gilirannya untuk melakukan hal sama.

Namun, tidak saja memberikan uang di hari bahagia, di Jepang sebagaimana juga di Nusantara, tradisi memberikan uang juga ada saat peristiwa kematian. 

Ini mencerminkan bentuk hubungan sosial untuk selalu memiliki rasa peduli kepada sesama di tengah kehidupan bermasyarakat. Apapun bentuknya dan di mana pun, memberi uang untuk hadiah dalam konteks positif harus terus dilakukan sampai sepanjang masa.[]

Baca juga:

Berita terkait
0
Gempa di Afghanistan Akibatkan 1.000 Orang Lebih Tewas
Gempa kuat di kawasan pegunungan di bagian tenggara Afghanistan telah menewaskan lebih dari 1.000 orang dan mencederai ratusan lainnya