Asal Mula Istilah Lelaki Hidung Belang

Kapan sebenarnya istilah lelaki hidung belang ini pertama kali digunakan? Ternyata sejarahnya sudah berumur ratusan tahun.
Stadhuisplein (sekarang Gedung Museum Fatahillah Jakarta) tempat dimana Sara dan Pieter dihukum ratusan tahun lalu masa VOC berkuasa di Batavia. (Foto: Istimewa)

Jakarta, (Tagar 7/1/2019) - Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) istilah hidung belang merujuk kepada laki-laki yang memiliki perilaku suka mengganggu perempuan. Biasanya jenis lelaki seperti ini tak bisa dilepaskan dari hubungan perkelaminan (seks).

Istilah hidung belang ini kembali mencuat saat artis Vanessa Angel digerebek Polda Jawa Timur saat berhubungan intim dengan seorang pengusaha di sebuah hotel di Surabaya. Istilah lelaki  hidung belang pun lantas dialamatkan kepada sang pengusaha.

Kapan sebenarnya istilah lelaki hidung belang ini pertama kali digunakan? Ternyata sejarahnya sudah berumur ratusan tahun. 

Sejarawan sekaligus budayawan Betawi Alwi Shahab menyebut istilah hidung belang berasal dari sebuah kejadian di tahun 1629 di Batavia. Saat itu, Batavia tengah digegerkan oleh sebuah skandal yang melibatkan dua pasangan sejoli: Sara Specx dan Pieter J. Cortenhoeff.

“Sara atau sering dipanggil dengan nama Saartje merupakan putri pejabat VOC yang bernama Jaques Specx dengan seorang gundiknya yang berkebangsaan Jepang,” tulis Alwi dalam bukunya Robin Hood Betawi.

Baca Juga: Ini Sosok Pengusaha Penyewa Vanessa Angel di Bisnis Prostitusi Online 

Begitu lahir, Sara kecil dititipkan sang ayah kepada Jan Pieterzoon Coen, yang tak lain adalah Gubernur Jenderal VOC di Batavia. Lelaki asal Hoorn, Belanda tersebut lantas menjadikan Sara sebagai anak angkat dan menyerahkan pengasuhannya kepada sang istri. Eva.

Memasuki usia 13 tahun, Sara tumbuh bak mawar yang baru mekar. Wajah cantiknya yang menyiratkan perpaduan antara Barat dan Timur, menjadikan Sara bukan hanya dikenal di kalangan para sinyo tapi juga menjadi buah bibir dan dambaan para calon perwira muda VOC. Salah satu calon perwira yang tergila-gila itu bernama Pieter J. Cortenhoeff.

Penulis Tjoa Piet Bak menyebut Pieter sebagai prajurit muda penjaga kastil (de vaandrig van de kasteelwacht) yang memiliki wajah tampan rupawan. Bisa jadi karena ketampanan itu pula, menjadikan ia mendapat perhatian lebih dari Sara dibanding para peminat lainnya. Singkatnya, cinta Pieter tak bertepuk sebelah tangan. “Mereka lantas menjalin sebuah hubungan percintaan diam-diam,” tulis Tjoa dalam Sara Specx, sebuah roman sejarah yang pertama kali diterbitkan di Bandung pada 1926.

Kendati dijalani secara rahasia, namun intel sang Gubernur Coen mencium juga hubungan tersebut. Pada mulanya, ia memang tak percaya pada laporan para intelnya itu. Namun suatu hari, ia justru memergoki sendiri Sara dan Pieter sedang “bermesra-mesraan” di salah satu ruang benteng, maka beranglah Si Tuan Jangkung (sebutan orang Betawi kepada Coen) ini. 

Baca Juga: Dari 45 Artis Terjerat Bisnis Prostitusi Online, Tarif Termurah Rp 2 Juta

Coen wajar menjadi berang. Sebagai seorang Kristen aliran Calvinis yang fanatik, ia sangat membenci segala hal yang berbau kecabulan. Tidak cukup dalam wacana pribadi, kebencian itu lantas ia buat sebagai sebuah peraturan. Dalam bukunya yang berjudul Persekutuan Aneh, Leonard Blusse menyebut soal ini sebagai sebuah ketentuan yang mengikat bagi pegawai-pegawai VOC, terutama di Batavia.

“Sejak mendirikan pemukiman-pemukiman Eropa di Batavia, pemerintah VOC berupaya menghilangkan jiwa gelandangan dan kecabulan. Hingga hukuman yang kejam dan peraturan yang keras merupakan praktek yang lazim berlaku saat itu,” tulis Blusse dalam karya yang dibuat berdasarkan disertasinya di Universitas Leiden, Belanda tersebut.

Begitu marah dan malunya Coen terhadap kejadian tersebut, hingga ia memerintahkan anak buahnya untuk menyiapkan dua tiang gantungan sekaligus di depan Stadhuisplein (sekarang Gedung Museum Fatahillah Jakarta). Untunglah, Pengadilan Batavia (Raad van Justitie) dan para pendeta cepat turun tangan dan memutuskan hukuman skandal tersebut harus diputuskan lewat meja pengadilan.

Pada 18 Juni 1629, keputusan pengadilan turun. Sara dijatuhi hukuman cambuk dan Pieter dijatuhi hukuman pancung. Sehari kemudian, Sara diseret ke arah pintu gerbang balaikota Batavia. Setelah dilucuti seluruh pakaiannya, para algojo tanpa peduli akan jeritan memilukan dari Sara, mendera kulit halus gadis cantik itu dengan puluhan kali cambukan. Pemandangan keji itu konon menjadi tontonan ratusan orang.

Pieter sendiri digiring ke muka Stadhuisplein. Setelah diikat dalam sebuah tiang pancang, leher lelaki 17 tahun itu langsung dipenggal. Namun, sebelumnya para algojo mencoreng moreng wajah Pieter dengan arang. Itu dilakukan bisa jadi sebagai bentuk “penghinaan” khas terhadap seorang pelaku kecabulan.

Ketika kepala Pieter menggelinding ke tanah, orang-orang Betawi melihat bagian hidungnya belang-belang akibat aksi coreng moreng yang dilakukan para algojo kompeni tersebut. Sejak itulah, kata "hidung belang" menjadi stereotipe masayarakat Betawi untuk lelaki cabul. Dari abad ke abad, dua kata tersebut terus diwariskan lewati bibir ke bibir hingga kemudian menyerap dalam bahasa Indonesia yang kita pergunakan sehari-hari saat ini. []

Berita terkait
0
Tinjau Lapak Hewan Kurban, Pj Gubernur Banten: Hewan Kurban yang Dijual Dipastikan Sehat
Penjabat (Pj) Gubernur Banten Al Muktabar meninjau secara langsung lapak penjualan hewan kurban milik warga di Kawasan Puspiptek.