Untuk Indonesia

Arogansi 'Jubir' Jokowi

'Pilpres ini seharusnya menjadi pertarungan sekelas Liga Inggris, bukan liga tarkam.' - Denny Siregar
Farhat Abbas. (Foto: Instagram/Farhat Abbas)

Oleh: Denny Siregar*

"Yang memilih Jokowi masuk surga. Yang tidak, masuk neraka...."

Begitu tulisan Farhat Abbas dalam status di Instagramnya. Dan pernyataan ini sontak mendapat reaksi keras yang datang baik dari mereka yang pro Jokowi maupun yang kontra.

Meskipun Farhat mencoba mengklarifikasi bahwa "Itu hanya berbalas pantun" tetapi reaksi yang datang justru berbeda. Ia akhirnya mendapat teguran keras dari rekan-rekannya bahwa menggunakan narasi akhirat itu akan menaikkan tensi politik dalam isu agama.

Raja Juli Antoni, Sekjen PSI, langsung menegur Farhat Abbas dan menolak jika Farhat dibilang sebagai juru bicara dari tim kampanye Jokowi.

Sebelum Farhat, kita juga melihat "ganasnya" Ali Mochtar Ngabalin, yang diangkat sebagai tenaga ahli di Kantor Staf Presiden dalam membela pemerintah. Ngabalin yang kemudian diangkat menjadi Komisaris Angkasa Pura ini, juga ditegur oleh sesama pendukung Jokowi seperti Dedi Mulyadi, politisi Golkar.

Menurut Dedi, gaya frontal Ngabalin cenderung bisa menurunkan elektabilitas Presiden. "Problemnya bukan di popularitas, tetapi elektabilitas Jokowi jangan sampai tergerus," katanya.

Memang ada dualisme sikap di barisan pendukung Jokowi dalam menyikapi keberadaan Farhat Abbas dan Ali Mochtar Ngabalin.

Sebagian menganggap bahwa gaya frontal itu sebagai strategi menghajar "jubir" Prabowo yang arogan dan seenaknya ketika berbicara di depan publik, seperti Fadli Zon, Fahri Hamzah dan Amien Rais.

Sedangkan sebagian lagi menganggap bahwa justru sikap frontal yang "kurang cerdas" seperti itu malah akan menggerus suara Jokowi, terutama dari para pemilih ngambang "swing voters" yang belum menentukan siapa yang akan mereka coblos di pilpres nanti.

Saya pribadi, awalnya setuju ketika Ali Mochtar Ngabalin menjadi bumper untuk menghadapi arogansi lawan politik Jokowi. Tetapi lama kelamaaan saya melihat justru sikap arogansi yang ditunjukkan Farhat Abbas dan Ngabalin itu kebablasan - bahasa Suroboyo yang berarti kelewatan.

Jika Farhat Abbas "bablas" dengan memainkan isu surga dan neraka, sedangkan Ali Mochtar Ngabalin lebih pada sikap arogan yang cenderung tidak pada tempatnya. Mereka berdua masih kurang cerdas dalam memainkan narasi-narasinya dan cenderung emosional sehingga membuat jengah para pendukung Jokowi sendiri.

Saya lebih suka gaya Adian Napitupulu yang tenang tetapi kata-katanya membungkam. Atau gaya Irma Chaniago dari Nasdem yang lantang tetapi tetap menjaga ritme bicaranya yang menusuk jantung lawan.

Ini memang masalah kecerdasan sikap. Sikap provokatif dan cenderung ngajak gelut, seharusnya ditinggalkan dan ganti dengan kefasihan kata-kata yang andal.

Menurut penelitian lembaga survei Alvara Research Centre, swing voters berada pada kisaran lebih dari 19 persen, dan ini angka yang besar. Mereka baru menentukan pilihan saat mendekati hari pencoblosan sambil melihat-lihat dulu banyak kemungkinan. Yang ditakutkan, mereka ini akan condong ke Prabowo karena memutuskan tidak menyukai "jubir" Jokowi dengan sikap arogansi yang kelewatan.

Belum lagi jumlah pemilih milenial mencapai sekitar 40 persen di tahun depan. Termasuk di kelompok ini adalah pemilih yang "fun" dan tidak menyukai kebisingan. Jadi sangat mungkin mereka tidak memilih Jokowi karena jubirnya yang "gak gue banget.."

Sudah seharusnya timses Jokowi mengubah pola serangan menjadi serangan yang elegan, bukan yang membabi buta ( sudah babi, buta pulak).

Jokowi sudah tergambar sebagai sosok yang cerdas, brilian dan matang. Jangan hanya karena "jubir"nya yang grusa-grusu, akhirnya bangunan itu runtuh dalam semalam. Menyerang harus, tetapi serangan yang tidak terpola dan condong asal bacot saja, akan membuat simpati berubah arah. Dan jangan kaget kalau akhirnya serangan balik datang dan gawang kebobolan.

Jika ingin menang, timses Jokowi harus mencetak Adian Napitupulu dan Irma Chaniago sebanyak-banyaknya. Buat para penonton tertawa karena argumen juru bicaranya benar. Bukan membuat penonton emosi karena mereka terbakar.

Pilpres ini seharusnya menjadi pertarungan sekelas Liga Inggris, bukan liga tarkam. Kalau liga tarkam, sudah mainnya gerudukan, pemainnya emosian, wasit dikejar-kejar, tambah lagi penontonnya main keroyokan. Berprestasi nggak, muka bonyok dibanggakan.

setuju silakan, yang penting seruput kopi dulu biar paham....Gak setuju silakan, yang penting seruput kopi dulu biar paham....

*Denny Siregar Penulis Buku 'Tuhan dalam Secangkir Kopi'

Berita terkait