Apa yang Terjadi dalam Skandal Darah Terinfeksi HIV dan Hepatitis di Inggris?

Penyelidikan itu menulusuri bukti bagaimana ribuan orang terjangkit HIV atau hepatitis melalui transfusi darah
Logo dari Layanan Kesehatan Nasional Inggris (NHS) terlihat di Rumah Sakit St. Thomas Hospital, dengan latar belakang Menara Big Ben di London, pada 13 Januari 2017. (Foto: voaindonesia.com/AFP/Isabel Infantes)

TAGAR.id, London, Inggris – Laporan akhir penyelidikan kasus darah yang terinfeksi di Inggris diterbitkan pada Senin (20/5/2024) waktu setempat, enam tahun setelah penelitian tersebut dimulai. Penyelidikan itu menulusuri bukti bagaimana ribuan orang terjangkit HIV atau hepatitis melalui transfusi darah dan produk darah yang tercemar pada tahun 1970-an hingga 1980-an.

Harapannya, penyelidikan tersebut dapat mengkritik para praktisi medis, pegawai negeri, perusahaan farmasi besar dan politisi, sehingga membuka jalan bagi rancangan undang-undang kompensasi yang sangat besar, sehingga pemerintah Inggris akan berada di bawah tekanan untuk segera membayarnya. Mantan Perdana Menteri Theresa May menginisiasi penyelidikan tersebut pada tahun 2017, dan mengatakan itu adalah "tragedi mengerikan yang seharusnya tidak pernah terjadi."

Skandal itu secara luas dianggap sebagai skandal paling mematikan yang menimpa Layanan Kesehatan Nasional (NHS) Inggris sejak pembentukkanya pada tahun 1948. Sekitar 3.000 orang meninggal akibat terjangkit HIV dan hepatitis, atau penyakit peradangan hati, dalam skandal tersebut.

Jika bukan karena para aktivis yang tak kenal lelah, yang banyak di antara mereka menyaksikan orang-orang tercinta meninggal dalam waktu beberapa puluh tahun terlalu cepat, besarnya skandal tersebut mungkin akan tetap tersembunyi selamanya.

Pada tahun 1970-an hingga 1980-an, ribuan orang yang memerlukan transfusi darah, misalnya setelah melahirkan atau menjalanai operasi, terpapar oleh darah yang tercemar penyakit hepatitis, termasuk jenis yang belum diketahui yang kemudian disebut Hepatitis C, dan HIV.

Mereka yang mengidap hemofilia, suatu kondisi yang mempengaruhi kemampuan darah untuk membeku, menjadi terpapar pada apa yang digadang-gadang sebagai pengobatan baru yang revolusioner yang berasal dari plasma darah.

donor darah di londonIlustrasi - Donor darah di pusat Layanan Darah Nasional di London, Inggris, 16 Maret 2004. (Foto: voaindonesia.com/Reuters)

NHS di Inggris yang merawat sebagian besar orang, mulai menggunakan pengobatan baru itu pada awal tahun 1970-an. Pengobatan itu disebut Faktor VIII. Pengobatan tersebut lebih nyaman jika dibandingkan dengan pengobatan alternatif dan dijuluki sebagai obat ajaib.

Permintaan segera melampaui sumber pasokan dalam negeri, sehingga pejabat kesehatan mulai mengimpor Faktor VIII dari AS, di mana sebagian besar sumbangan plasma berasal dari narapidana dan pengguna narkoba, yang dibayar untuk menyumbangkan darahnya. Hal tersebut secara dramatis meningkatkan risiko pencemaran plasma.

Faktor VIII dibuat dengan mencampurkan plasma dari ribuan penyumbang darah. Dalam pengumpulan ini, satu donor yang terinfeksi akan membahayakan seluruh kelompok.

Penyelidikan itu memperkirakan, lebih dari 30.000 orang terjangkit dari darah atau produk darah yang dikompromikan melalui transfusi atau Faktor VIII.

Pada pertengahan tahun 1970-an, terdapat bukti yang menunjukkan pasien hemofilia yang menjalani pengobatan Faktor VIII berisiko tinggi terjangkit hepatitis. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) lalu mendorong negara-negara untuk tidak mengimpor plasma. (ps/rs)/Associated Press/voaindonesia.com. []

Berita terkait
Korban Transfusi Darah Tercemar di Inggris Terima Kompensasi dari Pemerintah
Ribuan warga Inggris yang tertular HIV atau hepatitis akibat transfusi darah yang tercemar pada 1970-an dan 1980-an terima 100.000 pound sterling