Untuk Indonesia

Anies Cari Modal untuk Menggantikan Prabowo

Anies Baswedan seperti sedang mempersiapkan diri untuk momentum Pilpres 2024, menggantikan Prabowo. Tulisan opini Eko Kuntadhi.
Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan. (Foto: Antara/Nova Wahyudi)

Oleh: Eko Kuntadhi*

Saya kok merasa semua langkah Anies Baswedan melulu pendekatannya sangat politis. Tidak salah jika banyak orang mengira Anies seperti sedang mempersiapkan diri untuk momentum Pilpres 2024.

Secara politik, Anies memang belum punya kendaraan. Ia bukan anggota partai. Untuk kendapatkan tiket Anies butuh partai pengusung. Jika merujuk pada angka Presidential Threshold 20 persen sepertinya bukan perkara mudah mengumpulkan partai dengan perolehan angka sebesar itu. Partai yang di atas 10 persen hanya ada tiga, PDIP, Gerindra dan Golkar.

PDIP rasanya gak mungkin memberikan tiket ke Anies. Kemungkinan Golkar juga kecil. Yang paling mungkin adalah Gerindra, tapi itu juga harus melewati banyak kader lain. melihat fenomena itu, setidaknya Anies butuh paling tidak tiga parpol.

Gak gampang meyakinkan tiga parpol untuk dapat tiket capres. Karena itu Anies butuh modal, baik modal pendanaan maupun bargaining lain.

Langkah Pemda DKI yang belakangan terlihat bermesraan dengan HTI, bisa kita baca dalam konteks itu. Kemarin Dinas Perempuan dan Anak Pemda DKI mengundang Muslimah HTI dalam sebuah rapat. Surat undangannya tersebar dan membuat netizen marah. Katanya sih, acara dibatalkan.

Tapi siapa yang percaya? Pasalnya pada acara lain, Pengajian Bulanan Pemda DKI mengundang Felix Siauw sebagai narasumber. Kita tahu Felix adalah salah satu pentolan yang paling getol memperjuangkan khilafah.

Meski diprotes netizen, nyatanya acara Felix jalan terus. Sampai digeruduk Banser.

Apa yang bisa kita baca? HTI punya sekitar 3 juta anggota yang tunduk patuh. Ini modal yang sangat besar untuk Anies. Bisa menjadi bargaining ke parpol. Jika Pilpres dan Pileg dilaksanakan bareng lagi, angka 3 juta anggota itu setara 2 persen total pemilih. Bagi parpol kelimpahan sampai 3 juta pemilih baru itu sangat luar biasa.

Mulut aduhai ini cukup bisa membuai massa yang tadinya pendukung Prabowo yang memang sangat percaya pada jargon. Soal jargon Anies adalah jagonya.

Inilah yang kayaknya dikejar Anies Baswedan sebagai modal awal.

Modal kedua adalah ia selalu berusaha membangkitkan sentimen anti-Ahok, sehingga memberi efek dukungan publik kaum islamist kepadanya. Makanya jangan heran, dalam berbagai kebijakan yang dikritisi publik, Anies kerap menarik-narik Ahok dalam wacananya.

Keluarnya IMB untuk pulau reklamasi, misalnya. Bukannya dia bertanggung jawab dan pasang badan atas kebijakannya, tetapi justru melempar masalah ke Ahok. "Saya gak berdaya karena ada perjanjian Ahok dengan pengembang," begitu alasannya.

Kebijakan lain yang juga dilakukan adalah membuka Monas seluas-luasnya untuk digunakan berbagai gerakan politik yang mengasong agama. Kita tahu reuni 212 dan berbagai acara sejenis dipusatkan di Monas. Anies mendukungnya sepenuh hati. Sebab itu adalah investasi politik di masa depan.

Anies paham, euforia politik kaum islamist masih akan menjadi kekuatan tersendiri. Dia dengan cerdik memanfaatkan psikologis massa untuk keuntungan dirinya.

Setelah Prabowo keok, Anies sepertinya mencoba berselancar untuk memanfaatkan massa pendukung Prabowo yang kerap dibakar dengan sentimen keagamaan. Ia bermaksud menggantikan Prabowo sebagai pengantinnya. Artinya bagi Anies, memperpanjang keterbelahan publik akibat Pilpres merupakan salah satu strategi.

Tapi Prabowo rupanya tidak mau juga kehilangan massa tersebut. Ia ingin tetap tampil sebagai pusat massa. Wajar saja jika belakangan ini tagar #KamiTetapSetiaBersamaPrabowo naik ke permukaan. Prabowo khawatir 44 persen massa pendukungnya dicopet orang lain.

Meskipun, harus diakui, Prabowo punya banyak kelemahan jika berharap pada massa dengan sentimen keislaman. Status beragama yang tidak jelas dan latar belakang agama kekuarganya selalu menjadi batu sandungan.

Berbeda dengan Anies. Dia keturunan Arab. Sipil. Dikenal sebagai intelektual. Dan mulutnya aduhai. Mulut aduhai ini cukup bisa membuai massa yang tadinya pendukung Prabowo yang memang sangat percaya pada jargon. Soal jargon Anies adalah jagonya.

Jadi segala hiruk pikuk yang terjadi di Pemda DKI, bisa kita baca sebagai strategi untuk mencari modal bargaining buat Anies Baswedan.

Makanya saya selalu mengira semua langkah Anies selalu sarat dengan kepentingan politik. Ia melulu tampil sebagai politisi. Jarang ia tampil sebagai pemimpin yang sedang menjalankan program untuk kesejahteraan rakyat Jakarta.

*Penulis adalah Pegiat Media Sosial

Baca juga:

Berita terkait
0
Hasil Pertemuan AHY dan Surya Paloh di Nasdem Tower
AHY atau Agus Harimurti Yudhoyono mengaku sudah tiga kali ke Nasdem Tower kantor Surya Paloh. Kesepakatan apa dicapai di pertemuan ketiga mereka.