Anies Baswedan Ngaku Jawa, Kenapa Ditertawakan Banyak Orang

Kenapa jawaban Anies Baswedan yang mengaku sebagai orang Jawa asli, menjadi tertawaan banyak orang. Apa yang salah dari jawaban Anies itu.
Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan. (Foto: Antara/Aprillio Akbar)

Sebenarnya tidak ada yang salah dengan jawaban Anies saat ia ditanya Gus Miftah, seorang tokoh NU. Ini disiarkan dalam akun Instagram milik Gus Miftah. Kata Gus Miftah, "Pak Anies, jenengan ini sebenarnya orang apa? Orang Jawa, apa orang Arab?" Anies langsung menjawab, "Saya ini wong Jogja, sukanya makan gudek," Nah, gitu kira-kira jawabannya.

Iya benar. Enggak ada yang salah dengan jawaban itu. Anies memang dibesarkan di Yogyakarta. Ia dilahirkan di Kuningan, Jawa Barat, dari ayah Ibu keturunan Arab.

Jika pertanyaan yang sama diajukan kepada Ahok misalnya, "Pak Ahok, Anda ini sebenarnya orang mana? Orang China, apa orang Belitung?" Saya yakin jawabannya sama kayak Anies juga. Ia orang Belitung asli, lahir di Belitung, dibesarkan di Belitung. Kemudian sekolah di Jakarta. Lalu menjadi politisi.

Sama seperti Anies juga yang berdarah Arab, dalam diri Ahok mengalir darah Tionghoa. Darah yang memang bukan asli Indonesia atau Nusantara.

Tapi Anies dan Ahok adalah putra Indonesia asli, lahir di Indonesia, dibesarkan di Indonesia, meskipun dalam diri mereka ada darah dari luar, dari Yaman atau Tionghoa, jadi keduanya punya hak dan kedudukan yang sama dengan warga negara lain seperti kita.

Enggak penting lagi ada darah Arab atau darah Tionghoa, keturunan Arab, keturunan Tionghoa. Yang penting adalah seberapa besar peranmu bagi Indonesia. Kalau mereka WNI, atau kita WNI, itu yang paling penting.

Jawaban Anies yang mengaku sebagai orang Jawa asli, menjadi tertawaan banyak orang, ya tahu dong karena aksi politiknya. Anda ingat kan waktu Anis berpidato saat pelantikan sebagai Gubernur DKI Jakarta beberapa tahun lalu. Dengan alasan apa dalam pidato itu ia membawa narasi pribumi saat itu.

Meskipun dalam pidatonya ia menyebutkan masa penjajahan Belanda, tapi siapa pun bisa tahulah latar belakang dari kosakata pribumi dalam konteks perpolitikan di Jakarta saat itu. Orang ini sudah menjadi rahasia umum, Anies seperti ingin mengatakan ada pribumi dan non-pribumi.

Jawaban Anies yang mengaku sebagai orang Jawa asli, menjadi tertawaan banyak orang.

Dan kita ingat selama 32 tahun kekuasaan Soeharto, stigma non-pribumi ditempelkan kepada WNI yang punya darah Tionghoa, atau keturunan Tionghoa. Meskipun kosakata itu sudah dihapuskan dan dilarang di Indonesia.

Larangan itu tercantum dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis. Sebelumnya ada Instruksi Presiden Nomor 26 Tahun 1998 juga melarang penggunaan kata pribumi dalam setiap perumusan kebijakan pemerintah.

Sudah ada larangan, ketika ngomong kayak begitu, bagi saya pilihan diksi pribumi dalam pidato Anies waktu itu seperti ingin meneguhkan kembali politik identitas. Kita tahu Anies memenangkan pertarungan di Jakarta melawan Ahok itu seperti ini, meneguhkan kembali politik identitas yang menjijikan.

Kita tahu Anies memenangkan pertarungan di Jakarta melawan Ahok dengan menggunakan seluruh energi politik identitas yang paling brutal. Ingat dong ayat dan mayat jadi tunggangan politik. Isu rasial dijadikan slogan. Sesuatu yang sebetulnya sangat berbahaya bagi Indonesia, jika ketajaman perbedaan justru dijadikan pijakan untuk memenangkan pertarungan politik.

Sampai sekarang residu politik identitas Pilkada Jakarta masih terus kita rasakan. Anda ingat atau Anda tahu sekarang PA 212 misalnya, masih saja berulah. Seolah mereka adalah kekuatan politik tersendiri yang punya power menggerakkan massa. Padahal orangnya itu-itu juga. Ya ganti nama dari FPI lah. Mereka meneruskan kemenangan politik identitas yang brutal di Pilkada Jakarta lalu, dalam peran politik selanjutnya.

Dan kita semua juga tahu, di Jakarta Anies adalah episentrum dalam pertarungan politik itu sampai sekarang. Coba saja perhatikan. Sampai sekarang istilah asing, asu, entah apalagi masih terus diperdengarkan. Ditujukan kepada para investor asal China. Jadi mereka protes. Dan ketika tudingan itu ditujukan kepada China, kita juga tahu itu bukan China terbatas negara di sana. Itu bisa juga tertuju kepada WNI keturunan Tionghoa di Indonesia.

Kebencian pada China akhirnya menumbuhkan kebencian rasial di Indonesia. Bukan hanya membenci soal negara komunis yang ada jauh di sana. Karena tampilannya sama, mirip, jadi mereka gampang menstigma itu. Itu seperti meneguhkan kembali politik orde baru yang menempatkan warga keturunan Tionghoa sebagai warga kelas dua.

Kita tahu Anies memenangkan pertarungan di Jakarta melawan Ahok dengan menggunakan seluruh energi politik identitas yang paling brutal.

Jadi ketika Anies bilang bahwa ia adalah keturunan Jawa asli, saya ngakak sendiri, bukan karena saya enggak setuju dengan statement-nya. Ya itu terserah dia. Saya sih enggak masalah dengan ungkapan itu. Ya memang Anies lahir di Kuningan dan besar di Jogja. Tapi apa dia melupakan peran politiknya selama ini yang justru menyuburkan kebencian rasial dan politisasi agama di Indonesia.

Saya setuju saja Anies mengaku sebagai orang Jogja, Jawa asli, doyan gudeg. Enggak ada masalah. Meskipun di mata saya, itu juga enggak lepas dari target politiknya juga. Dengan mengaku sebagai orang Jawa atau mengidentifikasi diri sebagai orang Jawa, Anies tahu itu bisa menarik simpati banyak warga negara Indonesia yang kebetulan keturunan Jawa.

Anehnya gerombolan yang selama ini mendukung Anies dengan politik rasialnya, politik identitasnya, sangat senang dengan statement itu. Iya, Anies keturunan Jawa, katanya. Anies yang keturunan Arab diaminkan ketika ia bilang Jawa asli. Dan enggak masalah, buat saya sendiri enggak masalah.

Sementara mereka menuding Jokowi yang Jawa asli keturunan China, Nah, itu yang aneh. Bangke, kan?

Jadi begini, politik rasial kayak begini memang enggak ada manfaatnya jika terus-menerus diembuskan di Indonesia. Anies itu WNI, Ahok WNI, Rizieq juga WNI tapi yang kabur ke Saudi. Sebagai WNI, mereka semua sama kayak kita, punya hak dan kewajiban yang sama di mata hukum.

Kalau Ahok atau Anies berprestasi ya harus diapresiasi. Jika berbuat salah, dia mesti bertanggung jawab di hadapan hukum. Kalau berbuat salah kemudian buron, ya itu mah enggak tanggung jawab.

Jadi soal politik identitas itu sebetulnya enggak penting lagi kita dengung-dengungkan. Mau Anies mengaku Jawa, Sunda, mengaku Manado pun kita enggak masalah. Yang penting dia sadar bahwa perannya selama Pilkada Jakarta kemarin itu sudah membuka gerbang yang cukup berbahaya bagi Indonesia dengan politik identitas, politisasi agama, politisasi rasial.

Sudahlah, kita lupakan, jangan lagi ngomong soal rasial, identitas, dan lain-lain. Yang paling penting adalah perannya buat Jakarta atau buat Indonesia.

*Pegiat Media Sosial

Berita terkait
Reklamasi Ancol, Ferdinand: Jangan Dibodohi Anies
Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan tetap melanjutkan proyek reklamasi Ancol meski keputusan dan cara reklamasi menuai kritik.
Reklamasi Seret Agama, Demokrat: Anies Tiru Erdogan
Politikus Partai Demokrat Ferdinand Hutahaean menilai Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan meniru gaya Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan.
Anies Ngaku Tak Orang Arab Demi Kepentingan Politik
Ferdinand menyayangkan sikap Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan yang tidak mengakui dirinya keturunan Arab hanya untuk kepentingan politik.
0
Sejarah Ulang Tahun Jakarta yang Diperingati Setiap 22 Juni
Dalam sejarah Hari Ulang Tahun Jakarta 2022 jatuh pada Rabu, 22 Juni 2022. Tahun ini, Jakarta berusia 495 tahun. Simak sejarah singkatnya.