Anak Muda Cendekia Pembuat Sejarah (Bagian 2)

Anak muda cendekia pembuat sejarah. "Bahwa mereka mati, bagiku bukan soal. Tetapi apa yang lebih puitis selain bicara tentang kebenaran," tulis Soe Hok Gie.
Kerusuhan Mei 1998. (Foto: Ist)

Jakarta, (Tagar 22/5/2018) – Tiga anak kecil/ Dalam langkah malu-malu/ Datang ke Salemba sore itu/ Ini dari kami bertiga/ Pita hitam pada karangan bunga/ Sebab kami ikut berduka/ Bagi kakak yang ditembak mati/ siang tadi

Bait-bait puisi berjudul "Karangan Bunga" karya Taufiq Ismail itu mungkin tidak asing. Beberapa tahun lalu, puisi tersebut beberapa kali ditampilkan dalam buku-buku pelajaran Bahasa Indonesia di sekolah.

Puisi tersebut jelas bukan tanpa makna. Taufiq menulis puisi itu sebagai reaksi atas kematian salah satu mahasiswa demonstran yang menuntut Tiga Tuntutan Rakyat (Tritura) kepada pemerintahan Presiden Sukarno di Jakarta pada 24 Februari 1966.

Arif Rahman Hakim lahir di Padang, Sumatera Barat, 24 Februari 1943. Saat itu dia adalah mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia yang ikut serta dalam gelombang massa Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) yang memprotes pemerintahan Sukarno.

Bersama elemen mahasiswa lainnya, terlepas dari politik tingkat tinggi yang sedang terjadi, Arif ikut berperan menjatuhkan Presiden Sukarno dan menaikkan seorang perwira tinggi TNI Angkatan Darat, Suharto, menjadi pemimpin tertinggi di Indonesia.

Suharto menamakan rezimnya dengan Orde Baru dan menyebut rezim Sukarno sebagai Orde Lama, sebuah antitesis untuk Orde Baru.

Untuk mengenang Arif Rahman Hakim, masjid di kampus Salemba Universitas Indonesia dinamai dengan namanya. Beberapa jalan di beberapa kota Indonesia juga dinamai dengan namanya, salah satunya sebuah ruas jalan di Menteng, Jakarta Pusat.

Sejarah seolah berulang. Berselang 32 tahun kemudian, atau 20 tahun yang lalu, mahasiswa Indonesia kembali turun berdemonstrasi.

Apabila demonstrasi pada 1966 menaikkan Suharto sebagai pemimpin negeri, demonstrasi pada 1998 menuntut reformasi dan Suharto mengundurkan diri.

Serupa dengan tahun 1966, kembali jatuh korban dari mahasiswa pada 1998. Tanggal 12 Mei 1998, saat mahasiswa berdemonstrasi menuntut Suharto mundur, empat mahasiswa Univeritas Trisakti meninggal karena tembakan.

Empat mahasiswa gugur. Mereka adalah Elang Mulia Lesmana, Heri Hertanto, Hafidin Royan, dan Hendriawan Sie.

Mereka tewas tertembak di dalam kampus, terkena peluru tajam di tempat-tempat vital seperti kepala, tenggorokan, dan dada.

Gelombang tuntutan terhadap reformasi terus bergulir, hingga akhirnya Presiden Suharto mengundurkan diri pada 21 Mei 1998 dan menyerahkan jabatannya kepada wakilnya, Bacharuddin Jusuf Habibie.

Keempat mahasiswa itu kemudian disebut sebagai Pahlawan Reformasi. Bahkan Univeritas Trisakti menyebut diri sebagai "Kampus Pahlawan Reformasi", sebagaimana tertulis besar-besar di gerbang kampusnya.

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memberikan Bintang Jasa Pratama kepada mereka berempat pada Senin, 15 Agustus 2005. Pemberian penghargaan kehormatan dilakukan di Istana Negara dalam suatu upacara penghormatan.

Keempat mahasiswa dianggap berjasa sebagai pejuang reformasi lantaran pengorbanan jiwa mereka dapat mendorong terjadinya perubahan besar dalam kehidupan bernegara.

Budi Utomo

Sejarah juga mencatat, 110 tahun lalu, lahir sebuah organisasi pemuda nasionalis pertama di Nusantara. Namanya dikenal dengan Budi Utomo.

Budi Utomo didirikan oleh pemuda-pemuda kaum terdidik yang menimba ilmu di Sekolah Dokter Bumi Putera atau School tot Opleiding van Inlandsche Artsen (STOVIA).

Siswa-siswa STOVIA yang berasal dari berbagai daerah, seperti Maluku, Sulawesi, Sumatera dan lain-lain, memiliki arti penting terhadap kesadaran nasionalisme. Para siswa dari berbagai daerah saling berinteraksi dan bertukar pikiran.

Kesadaran nasionalisme itu muncul juga karena siswa-siswa STOVIA berasal dari kalangan bangsawan kelas menengah yang lebih dekat dengan rakyat. Hal itu berbeda dengan bangsawan kelas atas yang lebih banyak belajar di Sekolah Pamong Praja Bumi Putera atau Opleiding School Voor Inlandsche Ambtenaren (OSVIA).

Membaca sejarah Budi Utomo, tentu ada bagian yang menyebutkan dr Wahidin Sudirohusodo yang berkeliling Jawa, kemudian membangkitkan semangat siswa-siswa STOVIA untuk berhimpun mendirikan Budi Utomo.

Wahidin adalah lulusan Sekolah Dokter Jawa yang juga menjadi asisten guru. Kemudian dia menjadi dokter Kesultanan Yogyakarta. Dia berkeliling Jawa menyuarakan dana pendidikan bagi anak-anak bumi putera.

Saat menuju Banten, Wahidin singgah ke STOVIA pada Desember 1907. Ikatan batin sebagai lulusan Sekolah Dokter Jawa tampaknya membuat Wahidin memilih STOVIA sebagai tempat singgahnya di Batavia.

Di STOVIA, Wahidin memaparkan gagasan dan cita-citanya di depan para siswa. Gagasan dan cita-cita Wahidin kemudian menginspirasi pemuda Sutomo dan kawan-kawan untuk berhimpun dan berorganisasi sebagai wadah perjuangan.

Pada Rabu, 20 Mei 1908 pukul 09.00, siswa-siswa STOVIA di bawah pimpinan Sutomo berkumpul di Ruang Anatomi, lalu bermusyawarah mendirikan organisasi dan membentuk kepengurusan. Pada saat itulah berdiri Budi Utomo, organisasi modern pertama dalam sejarah Indonesia dengan ketua Sutomo.

Nama Budi Utomo dipilih atas usulan Suraji Tirtonegoro berdasarkan ucapan Sutomo saat mengantarkan kepergian Wahidin Sudirohusodo yang hendak melanjutkan perjalanan, yaitu "meniko satunggaling pedamelan ingkan sae, nelakaken budi ingkang utami".

Kelahiran Budi Utomo menandai perubahan bentuk perjuangan bangsa Indonesia, yang semula bersifat perjuangan fisik dan kedaerahan menjadi organisasi dan diplomasi yang bersifat nasional sehingga menjadi tonggak Kebangkitan Nasional.

Muda Cendekia

Perjalanan bangsa Indonesia telah menuliskan peran penting kelompok-kelompok muda terdidik atau cendekia dalam sejarah. Pada saat bangsa mengalami krisis, kaum muda cendekia tampil sebagai agen-agen perubahan.

Kebangkitan Nasional, pergantian rezim dari Orde Lama ke Orde Baru, dan dari Orde Baru ke Reformasi, mencatatkan peran kaum muda cendekia sebagai pembuat sejarah.

Itu menunjukkan bahwa pendidikan merupakan salah satu aspek penting bagi bangsa Indonesia.

Di tengah berbagai persoalan yang dihadapi, pendidikan di Indonesia terus melahirkan kaum-kaum muda cendekia yang siap membuat sejarah.

Optimisme terhadap kelompok-kelompok muda cendekia bahkan juga dinyatakan oleh Sukarno dengan pernyataan, "Beri aku 1.000 orang tua, niscaya akan kucabut semeru dari akarnya. Beri aku 10 pemuda niscaya akan kuguncangkan dunia."

Sejarah mencatat mahasiswa sebagai kaum muda cendekia, tidak seharusnya hanya berkutat dengan buku-buku tebal di kampus. Tugas mahasiswa memang belajar di kampus. Tetapi bila rakyat memanggil, mahasiswa harus menjawab panggilan itu.

Arif Rahman Hakim, Elang Mulia Lesmana, Heri Hertanto, Hafidin Royan, dan Hendriawan Sie adalah contoh mahasiswa yang berani menjawab panggilan itu, meskipun harus mengorbankan nyawanya.

Mereka bagaikan kelompok Inge School di Jerman, yang oleh mahasiswa demonstran 1966 Soe Hok Gie memiliki keberanian untuk berkata "tidak" terhadap kekejaman Hitler.

"Bahwa mereka mati, bagiku bukan soal. Mereka telah memenuhi panggilan seorang pemikir. Tidak ada indahnya (dalam arti romantik) penghukuman mereka, tetapi apa yang lebih puitis selain bicara tentang kebenaran," tulis Soe Hok Gie. (Dewanto Samodro/ant/yps)

Berita terkait