Oleh: Denny Siregar*
Aku dulu seorang Golput sejati.
Sejak boleh memilih, aku tidak pernah memilih. Aku skeptis dengan yang namanya Pemilu, kuanggap itu perbuatan sia-sia dalam hidup.
Untuk apa ikut Pemilu? Toh pemenangnya sudah pasti si doi. Jadi setiap Pemilu aku senang-senang karena libur. Itu saja yang menyenangkan bagiku selama Pemilu ada.
Ketika Soeharto jatuh karena rakyat Indonesia muak dengan "si itu itu lagi", aku juga tetap tidak pernah ikut Pemilu.
Untuk apa? Sama saja. Toh suaraku tidak menentukan siapa Presidennya. Suaraku hanya untuk mendudukkan seseorang yang tidak kukenal duduk di DPR. Dan yang memilih Presiden ya MPR. Jadi, untuk apa aku memilih ? Aku bangga sebagai Golput sejati.
Ketika pertama kali Indonesia menetapkan pemilihan langsung, aku juga tetap tidak mau memilih.
Ngapain? Wajah calon Presidennya itu-itu saja, wajah lama. Tidak ada yang menarik bagiku untuk menjatuhkan pilihan karena tidak ada sesuatu yang baru yang mereka tawarkan. Jadi, golput lebih menarik daripada bersusah payah memilih sesuatu yang tidak layak dipilih.
Aku dulu seorang golput sejati. Dan aku bangga.
Sampai ketika ada Jokowi.
Entah kenapa pada waktu 2014 lalu, aku melangkahkan kaki ke TPS hanya sekadar ingin memilih seseorang.
Aku dulu golput dan aku bangga. Tetapi sekarang, justru ketika memilih aku bangga. Aku bisa menggunakan senjataku pada saat negeri ini meminta. Inilah saat aku menjadi berguna.
Kenapa? Karena kulihat Jokowi berbeda. Dia sangat Indonesia. Lugu, dari desa, wajah standar. Secara penampilan tidak menarik, tetapi pintar. Apalagi ketika aku membaca semua rekam jejaknya ketika dia sebagai Wali Kota Solo dan Gubernur Jakarta.
Dan sekarang di Pilpres 2019 aku harus memilih lagi. Kali ini sudah bukan masalah siapa Presidennya, tetapi ini bagian dari perjuangan menjaga negeri.
Aku sudah tidak peduli siapa calonnya. Bagiku inilah saatnya mengangkat senjata untuk menjaga negeri dari kelompok radikal dan intoleran yang ingin merebut Indonesia. Aku harus memilih Jokowi karena kelompok radikal itu ada di pihak lawannya. Ini sudah merupakan kewajiban, bukan lagi sebuah hak yang boleh kupakai atau tidak.
Aku tahu Jokowi tidak sempurna. Tetapi ketika dia dengan berani melawan kelompok radikal itu dan membubarkan organisasi mereka, apakah aku harus diam saja?
Tidak. Aku bukan pengecut. Aku harus ada di samping orang yang berjuang. Aku tidak ingin satu waktu aku dimintai pertanggung-jawaban oleh Tuhan, "Ketika Tanah Air memanggilmu, kenapa kamu tidak menjawab panggilan mereka?"
Bagiku, saat genting seperti ini golput sudah bukan lagi netral. Golput adalah menyerahkan senjata yang kita punya, yang justru dipakai lawan untuk membunuh kita.
Aku dulu golput dan aku bangga. Tetapi sekarang, justru ketika memilih aku bangga. Aku bisa menggunakan senjataku pada saat negeri ini meminta. Inilah saat aku menjadi berguna.
Seruput....
*Denny Siregar penulis buku Tuhan dalam Secangkir Kopi
Baca juga:
- Video: Usai Jumatan, Jokowi Imbau Masyarakat Tidak Golput
- Atlet Indonesia, Golput atau Masuk Bilik Suara pada Pilpres 2019?
- Hari Ini Jokowi Jumatan di Bogor, Prabowo di Mana?
- Fenomena Trump, Bolsonaro dan Dueterte, Akan Terjadi pada Prabowo?
- Senjata Pamungkas Prabowo-Sandi Jelang Akhir Kampanye Pilpres 2019