Akhir Kisah Slamet Jumiarto, Pelukis yang Ditolak Ngontrak Karena Katolik

Slamet Jumiarto, pelukis Yogyakarta yang mendapat penolakan mengontrak karena beragama Katolik.
Slamet Jumiarto. (Foto: Capture video Facebook)

Bantul, (Tagar 3/4/2019) - Slamet Jumiarto (42), pelukis Yogyakarta yang mendapat penolakan mengontrak karena beragama Katolik akhirnya memilih pergi. Warga ber-KTP Notoprajan Kota Yogyakarta itu hanya mendiami kontrakannya di Dusun Karet, Desa Pleret, Kecamatan Pleret, Bantul, selama dua hari.

Di Pedukuhan Karet, tempat Slamet mengontrak rumah, memiliki aturan tertulis bagi pendatang. Salah satunya warga non-muslim tidak diperbolehkan mendiami padukuhan tersebut. "Saya memilih pergi, mencari kontrakan baru," kata Slamet, Rabu (3/4).

Slamet memutuskan pergi, meski pedukuhan Karet mencabut aturan tertulis yang disepakati warga sejak 2015 lalu. Aturan tersebut dicabut setelah kasus Slamet yang Katolik ini membanjiri media massa, juga di media sosial.

Dia berpikir, dari pada nanti jika tetap tinggal di Padukuhan Karet menjadi pergunjingan, lebih baik menyingkir. Ke mana kontrakan barunya? Slamet saat ini masih mencarinya. Mencari tempat dengan aturan bebas diskriminasi.

Kepala Dukuh Karet Iswanto memastikan aturan tertulis yang melarang warga non-muslim berdomisili di wilayahnya, resmi dicabut. Aturan tersebut sudah tidak berlaku lagi sejak Selasa malam (2/4).

Pengumuman pencabutan aturan tersebut dilakukan di kontakan Slamet Jumiarto, yang batal dikontrak itu. Pencabutan disaksikan oleh Kapolres Bantul Ajun Komisaris Besar Polisi (AKBP) Sahat Hasibuan.

Pada kesempatan itu, Iswanto mewakili warga Padukuhan Karet meminta maaf atas aturan tertulis yang diskriminatif itu. "Aturan Pedukuhan Karet resmi dicabut, tidak berlaku lagi karena bertentangan dengan perundang-undangan. Kami mohon maaf," paparnya.

Iswanto menegaskan, warga Padukuhan Karet sudah tidak mempermasalahkan lagi pendatang non-muslim yang ingin berdomisili di pedukuhannya. "Kita sepakat mengikuti aturan pemerintah," tegasnya.

Warga, kata dia, sudah tidak mempermasalahkan kehadiran Slamet Jumiarto bertempat tinggal di Padukuhan Karet. "Sudah tidak ada masalah. Silakan kalau mau mengontrak rumah di sini," ujarnya.

Namun, Slamet sudah memutuskan pergi. Uang kontrakan Rp 4 juta untuk sewa satu tahun, juga sudah diterima dari Suroyo, pemilik rumah. "Kalau saya belum tau keputusannya. Cari kontrakan baru atau tetap di sini, silakan. Masalah sudah selesai," kata Iswanto.

Iswanto berharap, setelah aturan tertulia resmi dicabut, Pedukuhan Karet tidak dicap sebagai daerah intoleran. "Setelah dicabut, jangan sampai ada korban lagi (ditolak berdomisili karena non-muslim). Jangan sampai dicap intoleran," pintanya.

Sebenarnya apa yang melatarbelakangi warga bersepakat melahirkan aturan tertulis tersebut? Iswanto bercerita, aturan tersebut berawal dari keinginan warga untuk tidak mencampur malam muslim dan non-muslim. Warga kawatir, jika ada warga non-muslim membeli tanah di Pedukuhan Karet maka akan dimakamkan di pemakaman yang sama.

Salah satu bunyi aturan tertulis yang disepakati adalah warga non-muslim dilarang membeli tanah di Pedukuhan Karet. Kemudian warga pendatang non-muslim dilarang bertempat tinggal di Padukuhan Karet. "Saya yang mengesahkan aturan tersebut setelah mendapat persetujuan dari 30 tokoh masyarakat," jelasnya.

Bupati Bantul Suharsono menegaskan, aturan tertulis di Pedukuhan Karet tidak memiliki dasar hukum yang jelas. Bahkan, aturan tersebut sangat bertentangan empat pilar kebangsaan; Pancasila, NKRI, Bhinneka Tunggal Ika dan UUD 1945. "Itu bertentangan dengan keberagaman, kebhinekaan Indonesia," tandasnya.

Baca juga: Slamet Jumiarto, Ditolak Berdomisili Karena Non-Muslim?

Berita terkait