Pematangsiantar - Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2017, sebesar 15 persen warga Kota Pematangsiantar atau sebanyak 37.500 jiwa tidak dapat mengakses sanitasi yang layak termasuk jamban.
Data ini dilontarkan Tumpak Hutabarat alias Siparjalang, saat menjadi narasumber dalam seminar nasional tentang keadilan iklim yang berlangsung di aula HKBP Nomensen Kota Pematangsiantar, Sumatera Utara, Rabu 4 Desember 2019 kemarin.
Hal ini menurut dia, membuktikan bahwa lingkungan yang sehat belum dapat diakses oleh semua orang di Kota Pematangsiantar, yang dulunya dikenal sebagai kota asri.
"Ketidakadilan ini justru menaikkan indeks kemiskinan di sebuah kota yang tidak dikelola secara bertanggung jawab," ungkapnya.
Dia mengajak peserta dan pemerintah untuk melihat potensi lokal yang dimiliki oleh Kota Pematangsiantar yang bisa dikembangkan menjadi potensi ekonomi berbasis wisata. Potensi tersebut, menurutnya tidak terlihat karena tingkat kerusakan lingkungan yang luar biasa.
Selain Siparjalang, dua narasumber lainnya, ada Apni Naibaho seorang petani organik dan Kadis Lingkungan Hidup Kota Pematangsiantar, Dedi Tunasto.
Apni menceritakan perjalanannya menjadi seorang petani organik dalam usianya yang masih sangat muda. Ia menganggap profesi petani sebagai sebuah status, namun sebagai pilihan berbuat sesuatu untuk keberlanjutan bumi.
Dedi meyakinkan peserta seminar bahwa pemerintah kota terus melakukan inovasi dan menerima masukan dari masyarakat terkait upaya-upaya pelestarian lingkungan.
Pertumbuhan ekonomi tidak boleh dijadikan sebagai alat keuntungan segelintir, namun pada sisi lain menjadi monster iklim bagi banyak orang
Fernando Sihotang yang mengorganisir kegiatan bersama Siparjalang, menguatkan opini tentang keadilan iklim, dalam perjalanannya adalah gagasan reflektif dunia tentang pembangunan ekonomi dan keberlanjutan.
Dua kata kunci yang selalu digaungkan oleh komunitas internasional, yaitu bagaimana pembangunan ekonomi dapat berjalan selaras dengan prinsip-prinsip keberlanjutan.
"Pertumbuhan ekonomi tidak boleh dijadikan sebagai alat keuntungan segelintir, namun pada sisi lain menjadi monster iklim bagi banyak orang," katanya mengingatkan.
Pada sesi awal hadir juga tiga sebagai penyampai refleksi yakni Ephorus GKPS dan Ketua KNLWF Indonesia Pdt Rumanja Purba, Vice President LWF Desri Sumbayak dan Rektor Universitas HKBP Nomensen Pematangsiantar Prof Dr Sanggam Siahaan.
Rumanja menyampaikan bahwa tanggung jawab iklim adalah tanggung jawab semua agama. Gerakan melestarikan bumi harus dimulai dengan refleksi spiritualitas yang diimani oleh masing-masing individu.
Desri memberikan gambaran global keterlibatan Lutheran World Federation (LWF) bersama-sama dengan institusi-institusi agama dan Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) dalam membangun platform bersama mencegah terjadinya krisis iklim.
Sanggam beranggapan bahwa institusi pendidikan tinggi harus berperan penting dalam membangun gagasan-gagasan ilmiah yang bisa dijadikan sebagai referensi oleh pengambil keputusan di pemerintahan.
Kegiatan mencakup seminar nasional dan pameran lukisan bertemakan lingkungan dan perubahan iklim yang disajikan oleh para pelukis muda di Pematangsiantar.
Selain mendukung gerakan global untuk iklim, kegiatan ini bertujuan membangun ruang aksi kolaboratif bagi warga kota untuk memitigasi kerusakan lingkungan yang melibatkan seluruh elemen.[]