Ya, Tuhan... Bayi Sekecil Itu Sudah Harus Cuci Darah

Bayi yang sedang sakit itu harus pulang ke kampung halamannya lagi. Menempuh jarak yang sangat jauh.
Muhammad Rafif Farqah (Foto: Petrus Hariyanto/KPCDI/Facebook)

Kala subuh, saat hari masih gelap, seorang ibu sudah mengantri di Poli Gigi dan Mulut di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) Kiara, Jakarta. Ketika hari sudah siang, baru dinyatakan kalau rujukannya bermasalah. Bisa dilayani dengan syarat harus kembali urus rujukan baru. Padahal, sebulan yang lalu rujukan baru sudah diperbaiki. Sebuah penantian yang sia-sia.

Keluhan di atas mungkin biasa kita dengar. Saking biasanya, kita sering memaklumi. “Ya begitulah kalau berobat dengan BPJS. Sudah mending ada BPJS. Kalau tidak ada, nasibmu lebih parah,” ungkap banyak orang.

Tapi, keluhan yang diposting di Facebook dengan nama akun Edhiesuesant pada tanggal 7 Agustus 2018 ini membuat hatiku pedih. Yang berobat ternyata seorang bayi, yang baru berumur 2 (dua) tahun lebih 2 (dua) bulan. Ibu itu hanya mendampingi. Ya Tuhan, ternyata sang bayi itu sakit Gagal Ginjal Kronik, dan sudah harus cuci darah.

Lebih lanjut sang bunda menuliskan keluhannya bahwa ia merasa kasihan kepada bayinya, Muhammad Rafif Farqah. Bayi yang sedang sakit itu harus pulang ke kampung halamannya lagi. Menempuh jarak yang sangat jauh.

“Faskes (Fasilitas Kesehatan) pratama Rafif di Wonosobo (Jawa Tengah). Kalau menggunakan bus, perjalanannya memakan waktu 12 jam. Saya hanya mampu naik bus,” ujarnya sedih diujung telpon.

Semakin sesak dadaku saat mengetahui kerepotan Ibu dan Ayah Rafif. Ketika pulang kampung, ia harus membawa barang begitu banyak. Rafif melakukan cuci darah mandiri atau CAPD (Continous Ambulatory Peritoneal Dialysis). Cairan adalah komponen utama bagi terapi CAPD. Entah berapa banyak yang mereka bawa?

Kata bunda Rafif, sebelum balik ke Jakarta, Rafif harus istirahat selama empat hari di Wojosobo untuk memulihkan kondisi tubuhnya. Terbayangkan berapa banyak dus cairan untuk proses CAPD yang harus dibawa selama di kampung halaman?

“Bagi kami yang berat bukan membawa barangnya. Bagi kami yang membebani adalah biaya transportasinya yang mahal sekali. Harus per tiga bulan kami urus rujukan di kampung. Ayahnya Rafif sudah keluar dari pekerjaan. Sudah tidak dapat cuti lagi untuk urusin Rafif. Saat ini, suamiku hanya bekerja serabutan,” ujarnya dengan suara lirih.

Ketika kutanya kapan Rafif dinyatakan sakit gagal ginjal, ibu tiga anak ini menjawab ketika Rafif berumur 105 hari, dan mulai terapi cuci darah di usia 120 hari.

Katanya, saat umur 40 hari, Rafif dibawa ke RSUP Sarjito Yogyakarta karena sakit kritis.”Pada waktu itu saturasi oksigen dalam darah Rafif tinggal 45 (kemampuan tubuh menyerap oksigen), denyut nadi sudah 50. Saat disuntik Rafif sudah tidak bisa nangis lagi,” ujarnya dengan terbata.

Hati ibu mana yang tidak hancur, jauh-jauh datang dari Wonosobo ke Yogyakarta hanya untuk mendengar vonis dokter yang menyatakan putra kesayangannya tidak mungkin tertolong.

“Saya kecewa dengan diri saya sendiri. Saya merasa gagal menjadi seorang ibu,” ucapnya kini dengan terisak.

RafifRafif (Foto: Petrus Hariyanto/KPCDI/Facebook)
Karena di Yogyakarta tidak bisa menangani, Rafif lantas dirujuk ke Pusat Kesehatan Ibu Anak (PKIA) RSCM Kiara, Salemba, Jakarta.

Di sanalah Rafif yang saat itu berumur 105 hari, dinyatakan mengalami gagal ginjal. Sang bunda dengan rasa sedih menceritakan kalau pemasangan CDL (Catheter Double Lumen) di leher Rafif mengalami kegagalan.

“Yang pertama mengalami pendarahan. Diganti ke kiri, tapi lepas karena dicabut sama Rafif sendiri,” ungkapnya.

Ketika kutanya Rafif tidak pernah cuci darah tapi langsung menggunakan CAPD, sang bunda menginyakan. “Dua jam sekali dia harus ganti cairan. Keluar cairan terakhir pada Pukul 11 malam, setelah itu dikosongkan sampai Pukul 6 pagi,” ujarnya.

Ketika dokter di RSCM menyatakan hidup Rafif hanya mampu bertahan enam bulan lagi sebagai penyandang gagal ginjal, sang bunda lantas bersimpuh di hadapan Allah.

“Saya punya Allah yang bisa menyembuhkan. Saya berdoa kepada-Nya agar diberi kesempatan lagi untuk menyayanginya dan merawatnya lebih lama lagi. Dan Allah mengabulkan doa saya pak,” ucapnya dengan menangis.

Kekuatan Seorang Ibu
Bagi orang dewasa saja, sangat berat menjalani hidup sebagai pasien gagal ginjal. Apalagi Rafif yang masih bayi, tentu saja sang bunda kewalahan mendampingi anaknya.

Menurutnya, kondisi Rafif sering tidak stabil. Seperti postingannya di Facebook pada tanggal 8 September 2018, lagi-lagi Rafif mengalami bengkak, albumin rendah (1,8), batuk, flu, hidrokel (kantung berisi cairan pada testis) muncul lagi.

Aku tak tega melihat foto Rafif tangannya bengkak dan membiru. Kata bundanya, sejak dari pukul 09.30 WIB suster berusaha memasang jarum infus (memasukan albumin) tapi tidak berhasil.

“Saya minta intirahat dulu. Saya tidak tega lagi mendengar tangisannya. Airmata ini ngalir begitu saja melihat tangan mungilnya yang memar dan  membiru karena pembuluh darah yang pecah,” tulisnya.

Bila Rafif sedang nggak enak badan, ia hanya menangis. “Aku mengalami kesulitan memahami apa yang sakit dan apa yang dirasakan. Ia hanya bisa menangis tanpa bisa bicara. Aku harus melakukan apa? Aku tak tahu yang dia rasakan,” ujarnya.

Ketika kutanya kenapa di semua foto yang diposting di Facebook di hidung Rafif selalu tertempel selang. Sang Ibu lantas menghela nafas lagi sebelum menjawab.

“Sewaktu umur 40 hari, Rafif kejang-kejang tapi tidak demam. Setelah menjalani pemeriksaan EEG (Eklektroensefalografi) ternyata ada gelombang epilepsi yang menyebabkan badan Rafif  kaku-kaku. Dari mulai leher sampai tangan dan kaki, kehilangan kemampuan untuk menelan susu ataupun makanan,” ungkapnya.

Bunda juga mengatakan untuk menghindari pemburukan di otaknya, Rafif menjalani terapi obat anti kejang selama 2 Tahun.

“Selang itu untuk jalan masuk susu dan obat. Hanya bisa susu yang masuk. Dan susunya harus susu khusus,” ujarnya dengan sedih.

Di bulan Agustus 2018 yang lalu, hatinya dikokohkan oleh seorang ibu. Saat itu sama-sama antri obat di instalasi farmasi. Katanya, sang ibu telah mendampingi sang suami cuci darah selama 9 Tahun.

“Ibu itu bercerita sambil menangis. Anaknya satu-satunya kini terkena leukimia. Penyakit yang mematikan. Harus pandai membagi waktu mengantar suami dan anak ke rumah sakit yang berbeda. Dan juga waktu untuk berjualan sayur di pasar untuk menafkahi keluarga,” tulisnya di linimasa Facebooknya.

“Kisah itu sungguh membuat aku banyak belajar darinya. Saat ini, bagi kami bukan saatnya menangis, tapi saatnya berjuang,” ujarnya penuh semangat.

RafifRafif bersama kedua orangtuanya (Foto: Petrus Hariyanto/KPCDI/Facebook)

Segala upaya mereka lakukan berdua untuk kesembuhan sang buah hatinya. Termasuk kemungkinan Rafif melakukan cangkok ginjal.

Hambatannya karena kondisi tubuh  Rafif yang masih lemah, karena masih bayi. Katanya bobotnya baru 9 kg. Juga mengalami Sindrom Nefrotik Kongenital (bawaan). Belum lagi dana yang begitu besar.

Bagi sang bunda, yang terpenting sekarang Rafif stabil dan tumbuh besar. Untuk itu, kami tetap bersemangat mendampinginya.

Seperti postingan di Facebooknya tanggal 28 September kemarin, tepat hari ulang tahun Rafif yang ke kedua tahun,”Aku ingin sembuh. Aku ingin bisa duduk dan berjalan. Aku ingin bisa makan. Aku ingin bisa berbicara. Aku ingin bermain. bersama orang-orang yang aku cintai”.

Sungguh kamu ibu yang begitu sayang kepada anaknya. Ibu yang begitu tegar dan punya keyakinan tinggi untuk anaknya kelak bisa sehat. Luar biasa perjuanganmu. Semoga para pendamping yang membaca kisah ini dikuatkan dan diberi energi baru.

Oleh:  Petrus Hariyanto (Sekjen Komunitas Pasien Cuci Darah Indonesia, KPCDI)

Berita terkait
0
Sejarah Ulang Tahun Jakarta yang Diperingati Setiap 22 Juni
Dalam sejarah Hari Ulang Tahun Jakarta 2022 jatuh pada Rabu, 22 Juni 2022. Tahun ini, Jakarta berusia 495 tahun. Simak sejarah singkatnya.