Wasisto Raharjo Jati, Peneliti Politik LIPI yang Lahir dari Doa Ibu

Doa ibu mengiringi Wasisto yang kerap menjadi narasumber rujukan bagi media.
Peneliti Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Wasisto Raharjo Jati. (Foto: Instagram/wasistojati)

Jakarta, (Tagar 2/4/2019) - Nama Wasisto Raharjo Jati mungkin tak terdengar asing di telinga awak media yang berkecimpung di dunia politik. Karena, Wasisto kerap kali menjadi narasumber rujukan kepentingan dan keberimbangan pemberitaan berbagai media.

Wasisto, adalah seorang Peneliti Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dengan konsentrasi minat kajian Politik Kelas, Kelas Menengah, Ekonomi-Politik, dan Gerakan Politik.

Berkarir sejak 2014, rupanya Wasisto awalnya tak pernah bermimpi menjadi seorang peneliti. "Saya sebenarnya tidak pernah berpikir akan menjadi peneliti sebelumnya," kata Wasisto kepada Tagar News, Senin (1/4).


BACA JUGA: Ketika Wasisto Raharjo Jati Menemukan Indomie di Supermarket Australia - Bagian 1


Kenapa? Karena awalnya, Wasisto hanyalah mahasiswa Jurusan Politik dan Pemerintahan, Universitas Gadjah Mada (UGM) yang punya hobi menulis. Kemudian, perlahan-lahan tulisan yang dimuat di majalah kampus dan koran, mulai memotivasinya untuk mendapatkan uang tambahan.

"Ketika saya masih kuliah di UGM itu suka kirim tulisan ke koran dan majalah biasanya rubrik suara Mahasiswa. Motivasi saat itu ya dapat tambahan uang jajan untuk ditabung," terangnya.

Mulai dari titik itulah, dirinya yang semasa kuliah mengaku tak pandai berorasi maupu bernegosiasi seperti teman-temannya, merasa menemukan jalan hidup. Apalagi, pria kelahiran Yogyakarta ini, bukan tipikal si percaya diri.

Baca juga: Voxpol Center, Pemain Muda Lembaga Survei Politik Nasional

"Saya pikir saat itu menulis mungkin jalan hidup saya, karena saya tidak pandai berorasi, bukan negisiator, apalagi memikat orang lain karena penampilan pas masih kuliah itu cupu sekali," beber dia.

WasistoWasisto (paling kiri) bersama sejumlah Peneliti LIPI. (Foto: @wasistojati)

Jadi peneliti, sebuah doa ibu

Wasisto, tak pernah melupakan doa-doa yang dipanjatkan ibunya, semasa hidup untuknya. Ia meyakini apa yang telah dicapai dirinya kini, menjadi Peneliti, kemudian berkembang menjadi pengamat politik adalah restu dari ibunya.

"Bagi saya, peneliti itu adalah doa almarhumah ibu saya ketika saya melamar kerja di Jakarta. Karena restu beliau, saya bisa jadi seperti ini," ungkapnya.

Telah mencapai pekerjaan impiannya, pria kelahiran Yogyakarta, 15 Maret 1990 ini pun tak lantas puas dengan pendidikan ilmu politik dan pemerintahan yang didapatkannya pada 2012 silam. Maka, ia pun kini meneruskan pendidikan yakni program S2, Master of Political Science di The Australian National University, (ANU), Canberra.

Wasisto yang kini meneruskan pendidikannya ke jenjang S2 pun, seorang pengamat politik yang diandalkan para jurnalis. Namun, ia tak lantas jumawa dengan profesinya sebagai pengamat politik.

Sebagai pengamat politik, dirinya menilai, semua labeling terhadap dirinya  kini, bukan hasil sendiri. Melainkan hasi dari kerja keras rekan-rekan sesama profesi serta dorongan dari wartawan.

"Menjadi pengamat politik itu juga bukan kerja saya sendiri. Ada banyak pertolongan yang membantu saya termasuk bantuan teman-teman sesama akademisi dan jurnalis. Tanpa mereka, saya hanya staf pegawai kantoran saja," jelasnya.

Maka tak heran, Wasisto yang selalu ramah melayani pertanyaan dan tanggapan junalis berbagai media ini tak pernah merasa terganggu dengan profesi jurnalis. Malah, menurutnya ketika ada pertanyaan jurnalis membuatnya menelurkan ide untuk penelitiannya ke depan.

"Justru, ketika saya juga terbantu dengan pertanyaan teman-teman jurnalis ini soal update politik Indonesia. Saya yang jauh dari tanah air ini sangat terbantu memahami isu-isu mutakhir yang mungkin bisa tema riset ke depan," urainya.

Meski kini terkadang menemukan kendala, terkait perbedaan waktu antara Indonesia dan Australia tapi ia mengaku akan tetap membalas ketika dirinya ada waktu untuk membalasnya. "Saya di Canberra maju empat jam dari WIB. Kadang pas sudah tiduran, ada WA masuk. Ya besoknya baru kubalas," imbuhnya.

Karena ia punya prinsip untuk tak menyulitkan pekerjaan lain, terutama profesi jurnalis yang menurutnya tidak mudah.

"Intinya saya tidak mau menyulitkan kerjaan orang lain kareba saya juga tahu pekerjaan jurnalis itu bagaimana. Saya bantu sebisa saya," pungkasnya.

Baca juga: Politisi Pindah-pindah Partai, Pengamat: Itu Habis Manis Sepah Dibuang

Berita terkait
0
Sejarah Ulang Tahun Jakarta yang Diperingati Setiap 22 Juni
Dalam sejarah Hari Ulang Tahun Jakarta 2022 jatuh pada Rabu, 22 Juni 2022. Tahun ini, Jakarta berusia 495 tahun. Simak sejarah singkatnya.