Upah Pekerja Asing di Australia Rendah dan Dipotong Majikan Pula

Pekerja asing dipersulit untuk mendapatkan upah mereka yang tidak bibayarkan di Australia walaupun sudah menang di pengadilan
Ilustrasi: Meski sudah memenangkan gugatan di pengadilan, namun tidaklah mudah bagi mantan pekerja asing di Australia untuk mendapatkan upahnya yang dipotong secara tidak sah. (Foto: abc.net.au/indonesian – Unsplash/Pema Lama)

Oleh: Sally Brooks

TAGAR.id - Kasus pekerja asing di Australia yang dibayar rendah oleh majikannya masih sering terjadi. Bahkan ketika sudah menang di pengadilan, upaya mereka mendapatkan kekurangan upah terbukti sangat sulit.

Hal itu dialami oleh Kajal Limbachiya, seorang mahasiswa asal India, yang mengaku harus tidur di kursi di restoran tempatnya bekerja, karena jam istirahatnya tidak cukup.

Di awal tahun 2020, mahasiswa berusia 24 tahun ini tidak pernah menduga dirinya akan mengalami salah satu masa tersulit dalam hidupnya. "Namun saya mampu bertahan," katanya.

Kajal LimbachiyaKajal Limbachiya dirugikan dengan sekitar Rp 150 juta upah yang tidak dibayar. (Foto: abc.net.au/indonesian – Supplied)

engan bayaran 10 dolar Australia (sekitar Rp 100 ribu], dia bekerja siang dan malam, melakukan berbagai tugas seperti memasak, melayani pengunjung dan berbagai tugas lainnya.

Setelah selesai jam 4 pagi, dia harus masuk lagi dalam 10.30 sehingga dia tidur di restoran tempatnya bekerja di Melbourne. Tempat tinggalnya terlalu jauh dari sana.

Kajal mengalami masalah keuangan karena tidak mendapat upah yang layak dari majikannya, dan sekarang mengatakan masih ada kekurangan pembayaran sebesar 15 ribu dolar Australia (sekitar Rp 150 juta) dalam bentuk upah dan tabungan pensiun ketika pandemi terjadi di bulan Maret 2020.

Masa lockdown tersebut juga tidak memudahkannya untuk pindah pekerjaan. Kajal mengaku tidak mampu membeli makanan, membayar sewa rumah dan biaya kuliah, sehingga ia mengalami depresi.

"Kalau dia (majikannya) membayar saya ketika itu, saya tidak akan menderita seperti ini," katanya.

Dua tahun berlalu, Kajal yang sekarang berusia 26 tahun masih belum mendapatkan uang pembayaran dari mantan majikannya, meski pengadilan memutuskan bahwa Kajal harus mendapat bayaran.

Pengalaman ini menunjukkan betapa sulitnya bagi pekerja di Australia untuk mendapatkan uang dari gaji mereka yang tidak dibayarkan sebelumnya.

Banyak celah dalam sistem hukum di Australia dalam hal mengurusi pembayaran kompensasi dengan maksimal sampai 20 ribu dolar Austalia (sekitar Rp 200 juta).

"Saat ini ada begitu banyak keputusan pengadilan untuk hal ini berkenaan pengajuan pembayaran upah yang belum dibayarkan, namun semua itu hanya jadi kemenangan semu," kata pengacara Kajal, Gabrielle Marchetti.

Vaishnavi LellaVaishnavi Lella mengatakan mahasiswa harus berani melaporkan majikan yang tidak jujur. (Foto: abc.net.au/indonesian – ABC News: Sally Brooks)

1 Bagaimana menemukan bantuan

Vaishnavi Lella dan Vineeth Kuddigana juga bekerja di restoran India di awal tahun 2020 dan juga mendapat bayaran di bawah upah minimum.

Seperti Kajal, Vaishnavi Lella setuju dalam percakapan lisan untuk mendapat bayaran 10 dolar Australia per jam karena merasa susah mendapatkan pekerjaan lain ketika itu.

Lella mengatakan setelah dua minggu dia tidak mendapat bayaran keseluruhan upah, dan bosnya hanya menjawab "berapa yang kamu perlukan?"

Dia berhenti setelah satu bulan dan kemudian berusaha mendapatkan bayaran sebesar 3.200 dolar Australia dari bos tersebut.

Di pengadilan, OzeeOze Pty Ltd sebuah perusahaan swasta yang dimiliki oleh Shoukath Ali Mohammed secara resmi adalah majikan dari para mahasiswa tersebut.

Shoukath mengatakan kepada ABC bahwa dia tidak mempersoalkan perintah pengadilan.

Dia mengakui ada staf yang tidur di restoran namun katanya akan memberikan bantuan akomodasi ketika staf memerlukannya.

Ketika ditanya mengapa dia membayar upah $10, Shoukath mengaku mengorbankan uang dari kantong pribadinya untuk menjalankan restoran dan para mahasiswa itu tidaklah dipaksa untuk menerima upah rendah.

Dia mengatakan restorannya yang sekarang ditutup juga menderita karena pandemi.

Lawyer Gabrielle MarchettiLawyer Gabrielle Marchetti mengatakan para pekerja muda harus cepat melaporkan bila mereka tidak mendapat bayaran yang seharusnya. (Foto: abc.net.au/indonesian – Supplied/JobWatch)

2 Penegakan hukum yang rumit

Gabrielle Marchetti adalah pengacara utama dari lembaga bernama Job Watch yang membantu para mahasiswa dan mengatakan masalah upah yang belum dibayarkan ini sudah sering terjadi.

Dia mengatakan kadang untuk menemukan majikan yang menghilang setelah adanya kasus membuatnya bekerja seperti 'detektif swasta".

Marchetti pernah menangani kasus yang melibatkan tiga mahasiswa asal India dan tiga mahasiswa asal Kolombia.

Para mahasiswa Kolombia ini yang bekerja sebagai pembersih gedung mendapat kerjaan dengan bayaran 20 dolar Australia per jam.

Namun setelah bekerja selama 522 jam, mereka hanya mendapat bayaran 740 dolar Australia dan tanpa dana pensiun.

Awal tahun ini, Pengadilan Federal Australia memenangkan kasus gugatan yang diajukan para mahasiswa internasional tersebut.

Pengadilan memutuskan jumlah kompensasi keseluruhan yang harus dibayar adalah 50 ribu dolar Australia (sekitar Rp 500 juta).

"Tetapi sampai sekarang tidak ada dari uang tersebut yang dibayarkan," kata Marchetti.

"Bila majikan tidak jujur dan tidak tahu malu tidak mempedulikan keputusan pengadilan dan tidak mau membayar, proses penegakan hukum memang rumit."

ilustrasi mahasiswaIlustrasi: Sejak perbatasan internasional dibuka di tahun 2022, belasan ribu mahasiswa sudah kembali ke Australia. (Foto: abc.net.au/indonesian – Unsplash/Element5 Digital)

Keenam mahasiswa tersebut yang sudah menyelesaikan pendidikan sekarang harus memutuskan untuk mengambil tindakan lanjut, seperti menyewa kantor sheriff untuk menyita aset dari mantan majikan, aset yang mungkin tidak ada lagi.

"Sheriff akan mendatangi alamat yang diberikan dan mengambil aset kebendaan yang ada di tempat tersebut," kata Marchetti.

Namun dalam sistem hukum Australia, pengadilan hanya bisa memutuskan majikan dalam bentuk perusahaan untuk membayar namun bukannya pihak ketiga seperti pemilik perusahaan tersebut.

Gabrielle Marchetti mengatakan sering kali pemilik perusahaan yang akan memindahkan aset dari perusahaan yang bermasalah ke perusahaan baru sehingga tidak bisa dijangkau oleh sistem hukum yang ada.

Marchetti mengatakan JobWatch sekarang sedang mendesak adanya perubahan aturan. "Kalau upaya hukum ini berhasil pengadilan bisa menjatuhkan keputusan terhadap perusahaan dan juga terhadap pemiliknya yang membayar upah di bawah minimum," katanya.

"Yang menjadi masalah sekarang ini bahkan kalau klien mau mengeluarkan dana untuk menyewa sheriff untuk menyita aset dari perusahaan yang mempekerjakan mereka, sheriff hanya akan menemukan perusahaan tanpa ada aset lagi," jelasnya.

"Pelajaran bagi para pekerja lain terutama pekerja muda adalah lapor langsung kalau Anda merasa tidak mendapat bayaran yang sesuai," jatanya.

Shoukath mengatakan kepada ABC bahwa perusahaanya yang mempekerjakan para mahasiswa India tersebut - OzeeOze Pty Ltd — sekarang tidak memiliki aset apa pun atas nama perusahaan.

Teresa AlvarezTeresa Alvarez tidak mendapat bayaran semestinya ketika bekerja sebagai pembersih. (Foto: abc.net.au/indonesian – Supplied/JobWatch)

3 Mendesak agar mahasiswa lain melapor

Tidaklah semua majikan yang semula membayar upah di bawah minimum kemudian tidak mau membayar utang mereka.

Majikan Teresa Alvarez membayar kekurangan pembayaran setelah adanya perintah pengadilan.

Alvarez tiba di Australia dengan visa pelajar bersama suami dan anak perempuannya di tahun 2019 dan pasangan itu bekerja sebagai pembersih di Mulgrave di Melbourne.

Mereka berhenti bekerja setelah mendapat upah di bawah minimum dan menghubungi JobWatch untuk membawa kasus ke pengadilan.

Pengadilan memenangkan gugatan mereka dan perusahaan harus membayar kompensasi sebesar 5.500 dolar Australia (sekitar Rp 55 juta).

Alvarez mengatakan pada awalnya dia enggan untuk mengambil tindakan hukum karena sebagai pemegang visa pelajar dia khawatir dampaknya terhadap visa yang dipegangnya.

"Kalau Anda ke Australia sebagai pelajar dengan visa yang benar, maka hak anda harus dilindungi sama seperti pekerja Australia lainnya," katanya.

Meski ada kesulitan untuk mendapatkan kembali kekurangan pembayaran upah yang seharusnya menjadi hak mereka Vaishnavi Lella mengatakan para mahasiswa harus tetap berani mengungkapkan ketidakadilan yang mereka alami. "Para majikan ini patut mendapat hukuman," katanya.

Dia mengatakan bila banyak mahasiswa yang melaporkan kasus yang mereka alami, maka sistem pada akhirnya akan berubah.

"Saya mendesak mahasiswa lain untuk berbicara. Kita tidak mau untuk dibungkam," katanya. (Artikel ini diproduksi oleh Sastra Wijaya dari ABC News)/abc.net.au/indonesian. []

Pemetik Buah di Australia Seperti Perbudakan Modern

Mahasiswa Asing yang Bekerja di Australia Tereksploitasi

Tenaga Kerja Asing di Sektor Pertanian di Australia Langka

Upah Pekerja di Atas 1 Tahun di Jakarta akan Naik

Berita terkait
Australia Tawarkan Visa Pekerja Pertanian Untuk Warga Indonesia
Pemerintah Australia ambil langkah baru untuk menawarkan keikutsertaan Indonesia dalam program visa khusus bagi pekerja pertanian