Tradisi Sarungan di Kalangan Kaum Nahdliyin

Kiai Ma'ruf Amin sarungan seperti biasanya. Termasuk ketika mengikuti debat capres.
Pasangan capres-cawapres nomor urut 01 Joko Widodo (ketiga kiri) dan Ma'ruf Amin (kiri) bersalaman dengan pasangan nomor urut 02 Prabowo Subianto (kedua kanan) dan Sandiaga Uno (kanan) usai Debat Pertama Capres & Cawapres 2019, di Hotel Bidakara, Jakarta, Kamis (17/1/2019). Debat tersebut mengangkat tema Hukum, HAM, Korupsi, dan Terorisme. (Foto: Antara/Sigid Kurniawan)

Jakarta, (Tagar 18/1/2019) - Banyak hal yang menjadi sorotan pada gelaran debat capres jilid 1 yang baru saja diselesaikan Kamis malam (17/1) kemarin. Dari kutipan jawaban kedua pasangan calon yang pada akhirnya dibuat meme, sampai dengan cantiknya Ira Koesno, mantan pembaca berita yang diplot sebagai moderator gelaran debat capres.

Namun tampaknya masih ada satu hal yang luput dari bahasan banyak orang, yaitu tampilnya Kiai Ma'ruf Amin, calon wakil presiden pendamping Jokowi yang tetap mengenakan sarung saat menghadiri gelaran debat capres.

Mengapa sarung demikian lekat dengan kiai-kiai dari kalangan Nahdlatul Ulama termasuk KH Ma'ruf Amin?

Dalam pengertiannya, sarung merupakan busana berupa kain lebar untuk menutupi bagian bawah dengan cara dibebatkan di pinggang. Sarong, begitu sebutan dalam bahasa Inggris untuk sarung, sempat menjadi tren di dunia fashion internasional sepanjang tahun 2017 lalu. Setelah sebelumnya, sarung dijadikan tema utama dalam pagelaran Indonesia Fashion Week tahun 2015. Majalah fashion kaliber  internasional, Bazzar bahkan membuat beberapa artikel khusus mengenai penggunaan sarung sebagai busana berkelas.

Secara umum, pemakaian sarung sejatinya tidak terikat pada identitas agama tertentu. Meski begitu, kaum muslim di banyak negara khususnya di Asia Tenggara, menggunakan sarung sebagai salah satu perlengkapan salat. Di Indonesia sendiri sarung identik dengan kaum santri pondok pesantren,  dan tentu saja masyarakat dari golongan Nahdlatul Ulama atau NU yang biasa disebut kaum nahdliyin.

Menurut penulis serial buku Ruh Islam Dalam Budaya Jawa, Aswab Mahasin dalam artikel berjudul Merajut Generasi Intelektual Kaum Sarungan yang diterbitkan laman NU.or.id, sarung bisa berarti "sarune dikurung". Dalam bahasa Jawa, "saru" bisa berarti ketidaksopanan atau ketidakelokan.

"Sarung merupakan instruksi kehidupan, agar manusia mengedepankan rasa malu, tidak sombong, tidak arogan, apalagi sembrono. Karena itu, dalam kultur pesantren saling menghormati diutamakan, yang muda menghormati yang tua dan yang tua menyayangi yang muda.

Manusia mempunyai lima dimensi yang harus dikendalikan; pikiran (akal), perasaan (hati), ucapan, tindakan, dan hawa nafsu. Dan "sarung (sarune dikurung)" mempunyai makna agar manusia mampu mengendalikan hawa nafsunya, kata Aswab Mahasin.

Tradisi pemakaian sarung dalam budaya masyarakat Indonesia secara umum telah berlangsung sejak lama. Sandang berasal dari Yaman tersebut masuk ke Nusantara pada abad ke-14. 

Pembawanya adalah para saudagar Arab dan Gujarat. Percampuran budaya sepanjang pesisir Indonesia membuat corak sarung lebih bervariasi. Desain Islam, Jawa, China dan Indo-Eropa melebur. Sehingga sarung pesisir mempunyai warna, motif, dan pola yang lebih bebas.

Meski sarung kemudian identik dengan budaya Islam di Nusantara, sejatinya sarung juga dipakai dan digunakan oleh banyak suku dan agama sebagai busana. Sebutlah Betawi dan Batak yang konsisten menggunakan sarung sebagai busana adat mereka.

Masyarakat Hindu di Bali juga kerap mengenakan  sarung untuk busana dan kelengkapan berbagai kegiatan sakral mereka. Sarung poleng Bali, bahkan dikenakan ke pepohonan, patung dan Pura oleh masyarakat Hindu di Bali.

Pasca masuk ke tanah Nusantara, sarung kemudian masuk dan mengakar di lingkungan pesantren. Kemudian ratusan ribu santri atau murid dari lembaga pendidikan tertua di Indonesia itu menjadi identik dengan sarung dan peci.

Beberapa nama besar pendiri dan pengurus awal organisasi Nahdlatul Ulama (NU) seperti KH Hasyim Asyari, KH Wahab Chasbullah dan lain-lain yang merupakan mantan santri dari pondok-pondok pesantren, juga tidak bisa lepas dari sarung dan peci. Dari sana sarung yang identik dengan santri dan pesantren, menjadi identik dengan organisasi Islam terbesar di dunia tersebut.

Hingga kini, warga nahdliyin kerap disebut kaum sarungan karena tidak bisa lepas dengan sarung dan peci. KH Mustofa Bisri, Cak Nun, dan banyak kiai besar dari kalangan NU modern juga masih kerap tampil mengenakan sarung. []

Berita terkait
0
Video Jokowi 'Menghadap' Megawati Sangat Tidak Elok Dipertontonkan
Tontonan video Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) yang sedang bertemu dengan Ketua Umum PDIP, Megawati Soekarno Putri, sangat tidak elok.