Tradisi Grebeg, Wujud Sedekah Raja untuk Rakyat

Keraton Yogyakarta memiliki tradisi budaya garebeg sawal. Digelar bertepatan dengan hari raya Idul Fitri
Ratusan warga berebut gunungan hasil bumi dalam acara grebeg sawal, tradisi turun temurun Keraton Yogyakarta memperingati Idul Fitri 1440 H, Rabu 5 Juni 2019. (Foto : Tagar/Ridwan Anshori)

Yogyakarta - Keraton Yogyakarta memiliki tradisi budaya yang sudah ratusan tahun sampai sekarang masih lestari. Salah satunya tradisi grebeg atau garebeg sawal yang digelar bertepatan dengan hari raya Idul Fitri atau 1 Syawal seperti hari ini, Rabu 5 Juni 2019.

Grebeg berasal dari bahasa Jawa gumrebeg. Artinya riuh, ramai atau gerak bersama. Gerak bersama ini diartikan berbaris dan berjalan rapi. Tidak heran dalam tradisi grebeg, pasukan keraton atau bregada berjalan beriring-iringan.

Ada tiga grebeg tradisi keraton selain grebeg sawal. Dua grebeg lainnya yakni grebeg besar yang digelar pada Idul Adha dan grebeg mulud dihelat pada perayaan Maulud Nabi Muhammad SAW.

Dalam grebeg sawal ini, Keraton Yogyakarta membagikan tujuh gunungan. Disebut gunungan karena hasil bumi khususnya pertanian dirangkai seperti berwujud gunung. Gunungan hasil bumi itu dibagi-bagikan kepada rakyatnya.

Hasil bumi dirangkai berbentuk gunungan ada maknanya. Filosofi pertama, sebagai sedekah raja yang bertakhta kepada rakyatnya. Kedua, gunungan yang berbentuk mengecurut ke atas, merupakan wujud tauhid. Wujud percaya, berserah diri dan ungkapan rasa syukur atas rezeki yang sudah dari Sang Pencipta.

Seperti biasa, rakyat berebut gunungan itu. Mereka yang berebut jumlahnya ratusan, bahkan ribuan orang. Mereka sebagian percaya, berhasil mendapatkan hasil bumi dari rebutan gunungan itu akan mendapatkan berkah.

Tujuh gunungan itu, lima di antaranya disedekahkan di halaman Kagungan Dalem Masjid Ageng Keraton Yogyakarta atau yang awam disebut Masjid Gedhe Kauman. Dua gunungan lainnya dibagikan masing-masing di Kepatihan Yogyakarta dan Kadipaten Pakualaman.

Abdi Dalem Pangulon Keraton Yogyakarta Ahmad Mukhsin Kamaludiningrat mengatakan, grebeg sawal dimaknai sebagai rasa syukur raja yang bertahta, setelah selesai berjuang selama 30 hari berpuasa.

Dalam ajaran Islam, setelah sebulan berpuasa dilanjutkan dengan memberikan zakat. "Nah, gunungan hasil bumi yang dibagi-bagikan ini wujud sedekah raja untuk rakyatnya," kata Kamaludiningrat, Rabu 5 Juni 2019.

Dengan makna lain, gunungan hasil bumi yang dibagi-bagikan dalam grebeg sawal ini sebagai ungkapan rasa syukur atas kemakmuran yang diberikan Tuhan. "Apa yang sudah diberikan Sang Pencipta, manusia patut mensyukurinya," kata dia.

Namun, kata dia, ada pemahaman yang kurang tepat beredar di tengah-tengah masyarakat. Barang siapa yang berhasil mendapatkan hasil bumi mendapatkan berkah. Seperti untuk obat, tolak bala (kesaktian) dan lainnya.

"Orang bilang ngalap berkah. Sebenarnya itu kurang tepat. Berkah iya, karena (gunungan sebelum diperebutkan) sudah didoakan. Berkahnya di situ," paparnya.

Penghageng Tepas Tandha Yekti Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat Gusti Kanjeng Ratu (GKR) Hayu menjelaskan, grebeg sawal merupakan hajad dalem dengan membagikan tubuhku buah gunungan.

Rasa syukur tersebut diwujudkan dengan membagikan hasil bumi kepada rakyatnya

Tujuh gunungan tersebut terdiri tiga buah gunungan kakung dan empat lainnya yakni gunungan estri atau putri, gepak, darat, dan pawuhan.

Tiga gunungan kakung dibagikan di tiga tempat berbeda, yakni Mesjid Gedhe Kauman, Pura Pakualaman, dan Kepatihan. Sedangkan untuk empat gunungan lainnya akan dibagikan di Masjid Gedhe.

Menurut dia, ke tujuh gunungan tersebut merupakan simbol rasa syukur dari raja. "Rasa syukur tersebut diwujudkan dengan membagikan hasil bumi kepada rakyatnya," ujar putri ke empat Raja Keraton Yogyakarta Sri Sultan HB X.

GKR Hayu mengatakan, gunungan hasil bumi yang dibagikan diarak dengan iring-iringan prajurit dari Keraton Yogyakarta menuju tiga lokasi. Ada 10 bregada atau kelompok prajurit yang dilibatkan dalam acara grebeg ini.

Ke sepuluh bragada tersebut bernama Bregada Wirabraja, Dhaeng, Patangpuluh, Jagakarya, Prawirotama, Nyutra, Mantrijero, Ketanggung, Surakarsa, dan Bugis.

Sementara itu, acara perebutan gunungan hasil bumi grebeg sawal berlangsung meriah. Usai menunaikan salat Idul Fitri di Alun-alun Utara Keraton Yogyakarta, warga langsung menuju di tiga lokasi yang digunakan untuk perebutan gunungan.

Tak hanya warga lokal. Warga dari luar daerah, yang kebetulan mudik di Yogyakarta ikut rebutan. Sebagian mereka masih percaya, hasil bumi yang didapatkan dari rebutan itu punya nilai lebih. Dengan kata lain, punya berkah.

Ilham (40), warga Sidoarjo Jawa Timur mengatakan, setiap mudik ke Yogyakarta selalu mendatangi lokasi rebutan gunungan. Setiap kali berebut selalu mendapatkan hasil bumi yang ada dirangkai di gunungan itu.

Kali ini, Ilham mendapatkan kacang panjang dan kentang. Rencananya apa yang sudah didapatkan dibawa ke rumah keponakan, lalu dimasak. "Dimasak dan dimakan. Semoga berkah," kata dia.

Dia sebenarnya tidak begitu yakin, hasil bumi yang didapatkan bisa menjadi obat atau tolak bala. Namun, sebelum mudik mendapat pesan dari tetangganya di Jawa Timur.

"Teman saya minta kalau dapat (hasil bumi) minta dibawa pulang (Sidoarjo), katanya untuk obat," ungkapnya.

Terlepas percaya atau tidak, faktanya grebeg sawal, tradisi yang sudah berusia ratusan tahun yang lalu, sampai saat ini masih tetap lestari. Percaya atau tidak, setiap gelaran grebeg, entah grebeg sawal, besar atau mulud, selalu dibanjiri massa. Mereka rela berdesak-desakan untuk mendapatkannya. []

Baca juga:

Berita terkait
0
Surya Paloh Sebut Nasdem Tidak Membajak Ganjar Pranowo
Bagi Nasdem, calon pemimpin tak harus dari internal partai. Ganjar Pranowo kader PDIP itu baik, harus didukung. Tidak ada membajak. Surya Paloh.