Tetap Pakai Masker Untuk Cegah Tertular Virus Corona Sekaligus Tangkal TBC

Di sisi lain, kasus tuberculosis (TBC) juga meningkat dengan tajam, bahkan seiring dengan pertambahan kasus HIV/AIDS
Ilustrasi – (Foto: TAGAR/cdc.gov)

Oleh: Syaiful W. Harahap*

Catatan: Naskah ini pertama kali ditayangkan di Tagar.id pada tanggal 13 Juni 2023. Redaksi. 

TAGAR.id – Di tengah-tengah hiruk-pikuk mudik untuk merayakan Idulfitri 1444 H bertepatan dengan tahun 2023 M warga diingatkan bahwa kasus virus corona (Covid-19) kembali menunjukkan peningkatan.

Di sisi lain, kasus tuberculosis (TB) juga meningkat dengan tajam, bahkan seiring dengan pertambahan kasus HIV/AIDS.

Di RSU Kabupaten Tangerang, Banten, misalnya, 70% kasus TB terdeteksi pada pengidap HIV/AIDS. Kondisi ini bisa jadi sama dengan di daerah lain, tapi tidak banyak daerah yang melakukan tes HIV pada pengidap TB atau sebaliknya.

Kondisi itu akan jadi ‘bom waktu’ ledakan TB sekaligus AIDS yang pada gilirannya jadi persoalan kesehatan masyarakat yang juga jadi beban berat bagi pemerintah pusat dan daerah.

Kasus baru per Kamis, 20 April 2023, misalnya dilaporkan 1.145 kasus yang membuat jumlah kumulatif kasus sejak Maret 2020 jadi 6.761.900 dengan 161.165 kematian.

Seorang perempuan pakai masker di bus tjSeorang perempuan pakai masker duduk di dalam bus di Jakarta, Selasa, 17 Mei 2022. (Foto: voaindonesia.com/AP)

Covid-19 Merebak Warga Anggap Remeh

Jumlah kasus (6.761.900) menempatkan Indonesia di peringkat ke-20 dalam jumlah kasus secara global, sedangkan berdasarkan jumlah kematian (161.165) Indonesia ada di peringkat ke-12 dunia.

Salah satu cara mencegah agar tidak tertular Covid-19 adalah dengan memakai masker yang di Indonesia disebut 3M yaitu memakai masker, menjaga jarak dan mencuci tangan. Selanjutnya ditambah pula dengan berbagai syarat yang menguatkan pencegahana.

Celakanya, ketika Covid-19 merebak banyak warga yang anggap remeh untuk menerapkan 3M sehingga mendorong perebakan virus yang tinggi di semua kalangan dan kelas masyarakat.

Pemakaian masker tampaknya kian penting karena data Organisasi Kesehatan Dunia PBB (WHO) menunjukkan jumlah kasus tuberculosis (TB) di Indonesia yaitu 969.000 per tahun 2022 merupakan jumlah terbanyak di dunia setelah India.

Sementara itu jumlah kumulatif HIV/AIDS sampai 30 September 2022 mencapai 635.167 yang terdiri atas 493.118 HIV dan 142.049 AIDS. Angka-angka ini tidak menggambarkan jumlah kasus yang sebenarnya karena banyak warga yang mengidap HIV/AIDS tapi tidak terdeteksi.

Dengan jumlah yang mendekati 1 juta itu berarti dalam hitungan 100.000 warga ada 354 warga yang mengidap TB. Angka ini tentu saja besar. Angka ini tidak kecil, maka pemerintah provinsi, kabupaten dan kota didorong untuk meningkatkan penjangkauan TBC dan HIV/AIDS karena kedua penyakit ini saling berkaitan di masyarakat.

Ada ironi yang menyesatkan di negeri ini, yaitu banyak kalangan yang memaksa pengidap HIV/AIDS (dikenal luas sebagai Odha-Orang dengan HIV/AIDS) ditandai, sebaliknya pengidap TBC disembunyikan di rumah.

Odha di dalam atau di luar rumah tidak mudah menularkan virus (HIV), karena HIV hanya menular melalui cara-cara yang sangat spesifik (khas), seperti hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah.

tb + HIVIlustrasi – (Foto: TAGAR/careprovider.org)

Penularan TB

Sebaliknya, penularan baksil TB (Mycobacterium tuberkulosa) melalui udara ketika droplet yang keluar dari mulut pengidap TB ketika batuk, bersin atau berbicara dihirup orang lain.

Selain itu selama ini ada anggapan dan kesan bahwa TB adalah penyakit orang miskin, tapi ternyata kasus TB juga terdeteksi pada kalangan menengah ke atas, juga pada tenaga medis.

Kasus TBC dikaitkan dengan kalangan miskin karena kondisi lingkungan dan sanitasi yang tidak mendukung hidup bersih.

Beberapa kasus TB di kalangan menengah atas terjadi karena tertular dari pembantu rumah tangga (PRT), maka ada baiknya ketika mencari PRT perlu pemeriksaan kesehatan.

Soalnya, pengidap TB tidak otomatis menunjukkan gejala-gejala ekstrem terkait dengan TBC, tapi mereka mengidap baksil TB yang setiap saat bisa keluar ketika mereka batuk, bersin atau berbicara dan berkeliaran di udara. Jika di ruangan tertutup tentulah dengan mudah menular ke orang lain di ruangan itu karena menghirup udara.

Organisasi Kesehatan Dunia PBB (WHO) di tahun 1980-an pernah melakukan penelitian terkait dengan tingka penularan TB. Sejumlah relawan naik kapal terbang selama dua jam. Di antara mereka ada seorang pengidap TB. Hasilnya, 40 persen relawan positif tertular TB.

Pemerintah menargetkan skrining TB pada pengidap HIV/AIDS di tahun 2022 adalah 100%, tapi secara nasional capaian skrining TB pada pengidap HIV/AIDS hanya mencapai 76%.

Capaian skrining tertinggi di Provinsi Babel (98%), sedangkan yang paling rendah di Provinsi Sulawesi Utara (1%) dan Gorontalo (0%).

Target pemberian terapi pencegahan tuberkulosis (TPT), yaitu rangkaian pengobatan dengan satu jenis atau lebih obat antituberkulosis yang diberikan untuk mencegah perkembangan penyakit TB pada pengidap HIV/AIDS pada tahun 2022 sebesar 50%. Faktanya, sampai Triwulan II/2022 secara nasional pemberian TPT pada pengidap HIV/AIDS baru mencapai 11%.

Ada sebuah pamflet di pojok Poli THT di RS Budhi Asih, Jakarta Timur, tentang TB dan HIV yang tidak akurat. Disebutkan “Minun ART dan TPT = TEPAT dan SEHAT” Tentu saja ini tidak pas karena ART adalah program yaitu Antiretroviral Theraphy dan TPT adalah Terapi Pencegahan Tuberkulosis. Apa iya programbisa diminum? Juga pemakaian istilah ODHIV justru menambah kebingungan warga yang selama ini sudah kenal dengan pengidap HIV/AIDS atau Odha.

ilus masker corona dan tbSebuah pamflet di pojok Poli THT di RS Budhi Asih, Jakarta Timur, tentang TB dan HIV yang tidak akurat. (Foto: TAGAR/Syaiful W. Harahap)

Setiap Orang Terapkan Pencegahan

Provinsi dengan capaian pemberian TPT yaitu Provinsi Lampung (39%), sedangkan lima provinsi pencapaian 0%, yaitu: Bengkulu, Gorontalo, NTB, Papua Barat, dan Sulawesi Tenggara.

Karena infeksi HIV dan TBC saling terkait, maka pasien TB harus mengetahui status HIV mereka, begitu sebaliknya. Hal ini untuk menekan beban HIV pada pasien TB dan sebaliknya. Selain itu program ini juga untuk mendeteksi HIV melalui skrining pada pasien TB.

Target skrining HIV pada pasien TB sejalan dengan target pelaksanaan Standar pelayanan minimum adalah sebesar 100%. Tapi, secara nasional pada Triwulan III/2022, pasien TB yang diskrining HIV baru mencapai 55%. Capaian tertinggi dilaporkan oleh Provinsi Kaltara yaitu 78% dan terendah pada Provinsi Maluku 37%.

Karena ko-infeksi TB dan HIV serta sebaliknya, maka dijalankan program OAT (obat antituberkulosis) dan ART (antiretroviral theraphy). Setiap pengidap HIV/AIDS yang terinfeksi TB, diberikan tata laksana OAT dan ART.

Secara nasional target program ni pada tahun 2022 adalah 100%. Namun, pada Triwulan III/2022, capaian ko-infeksi TB yang mendapatkan OAT dan ART secara nasional baru mencapai 35%. Capaian tertinggi dilaporkan oleh Provinsi Bali yaitu 73%. Ada tiga provinsi dengan pencapaian 0%, yaitu Bengkulu, Gorontalo dan Kalsel.

Ketika penyakit-penyakit infeksi mengancam kesehatan, maka sudah saatnya setiap orang menerapkan perlindungan diri sendiri dan keluarga yang akhirnya meluas ke masyarakat.

Adalah hal yang mustahil mengharapkan pemerintah pusat dan daerah (provinsi, kabupaten dan kota) bisa mencetah penularan infeksi, seperti virus corona, TB dan HIV/AIDS, karena semua terjadi antar manusia di ranah sosial (sihakemkes dan berbagai sumber). (Artikel ini pertama kali ditayangkan di Tagar.id pada 21 April 2023). []

* Syaiful W. Harahap adalah Redaktur di Tagar.id

Berita terkait
Kasus TBC Kian Meningkat Selama Pandemi Covid-19 Termasuk di Indonesia
Kemunduran ini terjadi karena pandemi Covid-19 mengganggu akses ke pengobatan dan tes, seperti dikatakan oleh pejabat WHO
0
Perumusan Mekanisme Dana Ganti Rugi Terkait Perubahan Iklim Masih Macet
Dua lusinan negara yang tergabung dalam sebuah komite yang ditugaskan untuk merancang dana “ganti rugi dan kerusakan” mengakhiri pertemuan mereka