Terorisme di Prancis Picu Kemarahan dan Ketakutan

Terjadi demontrasi di sebagian besar wilayah Prancis terkait dengan tuntutan kebebasan berpendapat setelah terjadi pembunuhan seorang guru
Orang-orang berkumpul di Place de la Republique di Paris, untuk memberikan penghormatan kepada Samuel Paty, guru bahasa Prancis yang dipenggal kepalanya, Perancis, 18 Oktober 2020. (Foto: voaindonesia/Reuters)

Paris - Demonstrasi luas terjadi di sebagian besar wilayah di Perancis pada hari Minggu, 18 Oktober 2020, menuntut kebebasan berpendapat dan sekularisasi, sementara pemerintah membahas tanggapan yang lebih tegas terhadap kelompok ekstremis Islam yang membunuh secara brutal seorang guru Perancis pekan lalu.

Dengan mengenakan masker sebagaimana ditetapkan pedoman pemerintah untuk pencegahan perebakan virus corona, ribuan demonstran berkumpul di Place de la Republique di Paris, dua hari setelah pemenggalan kepala Samuel Paty, seorang guru sejarah di sebuah sekolah menengah di Paris. Sebagian demonstran melambai-lambaikan bendera Perancis, sementara sejumlah orang yang memimpin demonstrasi itu menyampaikan belasungkawa untuk korban terakhir aksi terorisme di negara itu.

Upacara belasungkawa secara nasional akan dilangsungkan pada hari Rabu, 21 Oktober 2020, untuk menghormati Paty, yang meninggal di kota Conflans-Sainte-Honorine, di pinggiran kota Paris.

Sebagian warga mengenang kembali rasa kaget luar biasa dan kepedihan hampir enam tahun lalu, ketika jutaan demostran juga turun ke jalan menyampaikan tuntutan kebebasan berpendapat yang sama pasca serangan teroris terhadap kantor majalah satir “Charlie Hebdo.”

“Kebebasan berpendapat merupakan nilai utama identitas kita,” ujar Perdana Menteri Jean Castex pada majalah mingguan Le Journal du Dimanche minggu lalu, sementara para demonstran hari Minggu memperingatkan potensi pembalasan tindakan kebencian dengan kebencian pula.

Mengulangi pesan “Saya Charlie,” slogan yang digunakan publik pasca serangan pada Januari 2015 itu, Castex menambahkan “Saya lebih dari Charlie.”

1. Perpecahan dan Kecaman Terhadap Pemerintah Meningkat

Lepas dari seruan persatuan nasional pasca serangan teroris kedua dalam kurang dari satu bulan ini, demonstrasi itu juga ditandai dengan perpecahan dan kecaman terhadap tanggapan pemerintah terhadap kelompok Islam radikal. Hal ini juga terjadi di tengah upaya pemerintah melawan krisis lainnya, yaitu krisis pandemi virus corona.

“Mereka atau kita,” judul editorial di majalah Le Point tentang pembunuhan itu. Sementara majalah Le Telegramme menulis “serangan hari Jumat mengingatkan kita tentang seberapa jauh ancaman terhadap model pendidikan dan pemisahan negara dan gereja di Perancis.”

2, Sepuluh Orang Dimintai Keterangan

Hampir sepuluh orang ditahan aparat berwenang untuk dimintai keterangan dalam pembunuhan Paty, yang terjadi ketika ia dalam perjalanan pulang ke rumah. Mereka mencakup keluarga tersangka, seorang pengungsi Chechen berusia 18 tahun yang diidentifikasi sebagai Abdoullakh A. Ia ditembak mati polisi setelah diduga menikam dan memenggal kepala Paty.

Selain memasang gambar Paty di Twitter setelah pembunuhan itu, tersangka penyerang juga meninggalkan pesan ancaman terhadap Presiden Emmanuel Macron. Kantor berita Reuters melaporkan Twitter dengan cepat mencabut cuitan itu dan mengatakan akun itu diblokir karena melanggar kebijakan Twitter.

Insiden ini terjadi kurang dari satu bulan setelah seorang imigran Pakistan menikam dua orang di luar kantor pusat “Charlie Hebdo” di Paris. Dalam kedua kasus itu, para tersangka tampaknya melakukan tindakan pembalasan terhadap peragaan kartun Nabi Muhammad, yang mengilhami serangan teroris pada Januari 2015. Kedua serangan juga terjadi di tengah berlangsungnya pengadilan atas serangan di Charlie Hebdo itu.

3. Tunjukkan Karikatur

Pembunuhan Samuel Paty, guru di sebuah SMP itu, terjadi setelah ia menunjukkan karikatur Nabi Muhammad SAW kepada siswa-siswanya, sebagai bagian dari pelajaran kebebasan berpendapat. Sebagian siswa mengatakan ini bukan pertama kalinya Paty melakukan hal itu, dan Paty telah memberitahu siswa-siswa Muslim di kelasnya bahwa mereka boleh meninggalkan kelas jika karikatur yang ditunjukkannya mengejutkan mereka.

Namun, sejumlah orang tua tidak senang dengan hal itu. Menurut beberapa laporan, seorang ayah memasang keberatannya tentang hal itu di media sosial dan mendapat dukungan dari seorang yang dikenal sebagai Islamis, Abdelhakim Sefrioui.

Menurut Le Journal du Dimanche, pihak berwenang menilai Sefrioui sebagai penghasut, tetapi tidak berbahaya. Mereka mendapat laporan perkiraan/antisipasi akan terjadi unjukrasa menentang sikap Paty, tetapi tidak menduga terjadinya tindakan balasan lewat aksi kekerasan seperti itu.

Masih banyak pertanyaan membayangi kasus ini. Tim penyelidik juga belum menemukan kaitan langsung antara tersangka Chechen yang tinggal di Normandia dan sekolah di pinggiran Paris ini. ([em/jm)/voaindonesia.com. []

Berita terkait
Universitas di Prancis Klaster Penyebaran Virus Corona
Sejak kampus dibuka di wilayah Prancis dilaporkan lebih dari 12 klaster penyebaran virus corona terjadi di kampus sejak ruang kuliah dibuka kembali