Tangan Besi Duterte, Berhasilkah Membinasakan Narkoba di Filipina?

Presiden Rodrigo Duterte menembak mati penjahat narkoba di negerinya, Filipina. Berhasilkan usahanya itu membinasakan narkoba di sana?
Presiden Filipina Rodrigo Roa Duterte. (Foto: Inquirer/Lyn Rillon)

Jakarta, (Tagar 6/3/2019) - Rodrigo Duterte sontak menjadi sorotan publik sejak ia menjabat sebagai presiden terpilih di Filipina pada 30 Juni 2016. Rezim tangan besi Duterte dinilai brutal, karena kerap mengabaikan persoalan HAM tatkala melancarkan kebijakan perang melawan narkoba.

Setelah pelantikannya, Duterte berbicara terang-terangan kepada wartawan di Tondo, Manila, di mana ia jusru mendorong warga negara Filipina untuk secara sukarela membunuh para pengedar narkoba maupun para pecandu di sana.

Duterte juga meminta Tentara Rakyat Baru, sayap bersenjata di Filipina, untuk melucuti senjata para kartel narkoba dan menahan 3 raja obat bius asal China yang mengumpat di Filipina.

Tak tebang pilih, rezim ini memang terbukti kejam, siap membinasakan tiap orang yang terlibat dengan narkoba, baik pengedar maupun pemakai kerap diintai dengan bayang-bayang kematian yang akan berakhir mengenaskan.

Pada 5 Juli 2016, Duterte mengungkap ke publik nama lima pejabat polisi Filipina yang diduga terlibat dalam perdagangan obat-obatan terlarang. Saat menggelar konferensi pers, Duterte mempresentasikan bagan yang mengidentifikasi kerja sama polisi dengan sindikat asal China yang menjadi penyokong narkoba terbesar di sana.

Dalam dua pekan pertama kepemimpinan Presiden Duterte, lebih dari 100 pengedar narkoba dibunuh, 1.844 ditangkap, dan 66.000 pemakai serta pengedar narkoba memilih menyerahkan diri.

Bahkan jumlah ini terus meningkat signifikan dalam beberapa bulan saja, menjadi sekitar 1.800 dibunuh, 5.400 ditangkap. Sementara 565.805 pengedar serta para pengguna narkoba lainnya lebih memilih menyerahkan diri ke otoritas keamanan setempat karena khawatir akan tewas mengenaskan seperti korban-korban sebelumnya.

Pada tahun 2018 diungkap, sekiranya 7.000 warga Filipina yang tersangkut narkoba telah tewas dibenamkan rezim Duterte. Jumlah korban perang terkait narkoba yang disebut “Operation Double Barrel” itu, nyatanya jauh di atas klaim resmi negara, yaitu sekitar 4.800 orang.

Dengan dalil kontrol sosial, Direktur Jenderal Kepolisian Nasional Filipina Ronald De La Rosa mengklaim tingkat kriminalitas di sana menurun 49 % sejak Duterte menjabat.

Dalam laporannya, media lokal The Philippine Daily Inquirer menerbitkan rentetan pembunuhan di pemerintahan Duterte. Melalui Perwakilan Ifugao, Teddy Baguilat, pihaknya mendesak agar Dewan Perwakilan Rakyat Filipina menyelidiki kematian para korban pembunuhan yang di luar proses hukum, hingga eksekusi mati pengedar dan pemakai narkoba yang melanggar asas hukum dan HAM.

Senada dengan Teddy, Senator sekaligus mantan Menteri Kehakiman, Leila De Lima juga mendesak pemerintahan Duterte untuk sesegera mungkin menghentikan pembunuhan di luar hukum. Lebih lanjut kata dia, pihaknya akan mengajukan resolusi kepada Senat Filipina untuk melakukan penyelidikan terhadap perang melawan narkoba ala Duterte, namun tetap saja tak membuahkan hasil.

Tak hanya itu, desakan terhadap kekejian rezim ini juga datang dari Kelompok Militan Bagong Alyansang Makabayan yang mendesak Presiden FIlipina untuk menyelidiki meningkatnya korban jiwa perang terhadap narkoba yang di luar proses hukum.

Dalam konteks ini, administrasi pro Duterte justru menuntut para kritikus-kritikus tersebut untuk memberikan bukti-bukti konkret. Sementara, Duterte sendiri telah menepis kekhawatiran soal pelanggaran yang mengesampingkan asas hukum dan HAM yang ia lakukan dalam memberantas peredaran narkoba di Filipina.

“Kejahatan terhadap kemanusiaan? Pertama-tama, saya ingin jujur dengan Anda. Apakah mereka manusia? Apa definisi Anda tentang manusia?” kata Duterte.

Tak ayal, Presiden Duterte pun sempat menjadi sasaran kritik masyarakat internasional dan berbagai kelompok hak asasi manusia di dunia karena mengabaikan asas hukum dan HAM dalam perang terhadap narkoba. Namun, lagi-lagi Duterte seperti menutup telinganya dan terus melancarkan kebijakan kejam terhadap pengguna dan pemakai narkoba di sana.

Selain itu, Rodrigo Duterte juga dikecam karena menjanjikan untuk mengampuni para petugas polisi yang dihukum untuk kasus pembunuhan dalam perang anti narkoba. Ketiga polisi terpidana justru tidak berhak memperoleh pembebasan bersyarat.

Ini pertama kalinya petugas negara yang terlibat dalam pembunuhan perang melawan narkoba dinyatakan bersalah dan dihukum.

Dua bulan setelah pembunuhan itu, polisi diperintahkan untuk menghentikan operasi anti-narkoba. Namun operasi itu dilancarkan lagi pada Desember tahun lalu, sebab menurut Presiden Duterte situasi terkait narkoba di Filipina memburuk. []

Berita terkait
0
PKS Akan Ajukan Uji Materi PT 20%, Ridwan Darmawan: Pasti Ditolak MK
Praktisi Hukum Ridwan Darmawan mengatakan bahwa haqqul yaqiin gugatan tersebut akan di tolak oleh Mahkamah Konstitusi.