Sisi Gelap Role Play

Teknologi internet mengubah banyak hal, di antaranya mengubah konsep komunikasi verbal menjadi komunikasi tekstual.
Ilustrasi. (Foto: Pixabay)

Jakarta, (Tagar 9/12/2018) - Teknologi internet mengubah banyak hal, satu di antaranya adalah mengubah konsep komunikasi verbal menjadi komunikasi yang lebih tekstual. 

Maraknya aplikasi sosial media dan game online yang bertebaran sejak awal tahun 2000an, menggiring generasi muda menjadi generasi yang acuh, apatis dan cenderung introvert. 

Milenial lebih memilih asyik sendiri bertempur bersama kawan mayanya yang entah siapa, dalam sebuah permainan komputer dibanding bergumul bersama sebayanya di halaman depan rumah. Atau lebih memilih berkawan dengan sosok maya yang juga entah siapa di media sosial, dibanding menyapa orangtuanya.

Perilaku seperti ini menjadi kian mengkhawatirkan saat belakangan muncul akun-akun anonim berjuluk Role Player (RP). Role Playing mulanya berawal dari banyaknya artis pop negeri gingseng, Korea Selatan  yang melakukan interaksi dengan penggemarnya di media sosial Twitter.

Interaksi tersebut membuat banyak dari fans K-Pop tersebut membuat akun Twitter palsu, lalu bertingkah seakan-akan dirinya adalah sang artis kegemaran. Kemudian budaya ini berkembang. 

Mereka membuat akun Twitter palsu dari tokoh serial anime, karakter game, dan tokoh anonim yang memiliki kepribadian yang sama sekali berbeda dengan karakter asli si pembuatnya. Membuat permainan-permainan yang hanya dimengerti oleh sesama pemilik akun RP, menjalin hubungan asmara dengan sesama Role Player, sampai melakukan hal-hal aneh yang diluar nalar.

Akun-akun anonim seperti ini mulanya hanya bertebaran di media sosial Twitter, tapi kemudian merambah ke berbagai media sosial lain dan game online. Mereka kerap berinteraksi tanpa mengenal satu sama lain. 

Tak jarang, para pegiat RP yang rata-rata masih duduk di bangku sekolah menengah ini melakukan hal-hal yang tak masuk akal, dari menebar berita bohong, saling kirim gambar diri yang telanjang, melakukan penipuan dengan modus meminjam uang kepada teman sosial media, sampai melakukan hubungan seksual secara virtual.

Kesaksian Rani

Rani (bukan nama sebenarnya), seorang karyawan swasta di Jakarta menceritakan pengalamannya hampir ditipu akun RP di media sosial. Bermula saat Rani mengkonfirmasi permintaan pertemanan sebuah akun berfoto profil tokoh anime di media sosial Facebook. 

Ia menyetujui permintaan pertemanan dari orang yang tak dikenal dengan dalih menambah banyak jaringan pertemanan.

"Kita itu ketemu kan di grup, dia nge-add yaa aku konfirm aja," ungkap Rani memulai cerita.

Akun tersebut kemudian bertingkah selayaknya orang yang baru kenal dan mengakrabkan diri. Komunikasi intens yang dilakukan bertahun-tahun membuat hubungan keduanya makin erat. 

Sampai pada saat hubungan komunikasi menginjak tahun kelima, pemilik akun RP meminjam uang dengan nominal yang cukup besar dengan dalih membayar kebutuhan biaya kuliah.

"Ke aku 250 ribu, ke temanku yang lain kurang tahu, tapi kayaknya kurang dari 500 ribu. Ke aku alasannya untuk keperluan kuliah dan udah dibayar, ke temanku pakai alasan mau belanja online tapi harus pakai rekening bank tertentu, itu yang gak dibayar-bayar, ada aja alasannya. Sampai akhirnya aku lihat, akun FB-nya udah gak ada," tutur Rani kepada Tagar News via sambungan telepon, Selasa (4/12).

Saat ditanya kenapa sampai begitu percaya, Rani menjelaskan bahwa akun tersebut bertingkah seperti orang normal. Beberapa kali mengirim gambar lokasi di mana ia tinggal, mengobrol via sambungan telepon, juga bercerita soal kehidupan kampusnya.

"Yaa, kayak orang normal. Telponan, chat, curhat. Tapi memang ada yang mencurigakan sejak awal. Dia gak pernah mau diajak video call an," terang Rani.

Rani bersama temannya baru sadar bahwa akun tersebut adalah akun RP, saat mereka mencoba mencari tahu lebih lanjut soal jati diri pemilik akun tersebut.

"Kita cek di website Dikti. Di situ kan ada laman khusus yang terbuka untuk umum buat nyari teman kita, nama diri kita sendiri, tercatat di kampus atau perguruan tinggi mana. Saat kita cari namanya dia di kampus yang dia maksud, namanya gak ada," tutup Rani.

Kesaksian Rina

Sementara Rina (bukan nama sebenarnya), adalah pemilik akun RP di sosial media Facebook, berusia 28 tahun. Rina mulai menggunakan akun RP sejak usia 20an. Agar bisa mengekspresikan diri tanpa diketahui orang-orang terdekatnya, menjadi alasan Rina membuat akun RP tersebut.

"Ada beberapa hal yang gak bisa di-share gitu kan, ke dunia nyata, cuma kadang kita kan pengen mengeluarkan hal itu, jadi bikinlah akun itu. Jadi curhat kek, apa marah gitu orangnya kan gak kenal, jadi kita lebih merasa bebaslah gitu," terang Rina lewat sambungan telepon kepada Tagar News, Selasa (4/12).

Ketika ditanya lebih lanjut mengenai apakah dirinya termasuk anak yang introvert atau korban ketidakharmonisan keluarga, Rina menyangkal.

"Justru karena kalau di akun dunia nyata (akun asli), kita bikin puisi mellow (sedih) sedikit, kita langsung ditelponin sama teman, langsung ditelponin sama saudara.  Kamu kenapa? Senang sih diperhatiin, cuma ada beberapa hal yang ingin dinikmati sendiri," lanjut Rina.

Rina juga menceritakan pengalamannya melakukan hubungan seks secara virtual dengan metode chatsex. Penasaran dan tersedianya peluang disebutkan menjadi alasan sehingga dirinya mau melakukan itu. Rina yang saat ini sudah menikah dan memiliki anak, masih belum mempunyai keinginan untuk menutup akun RP miliknya.

Semua Manusia Mengalami Proses Akil Balig

Psikolog Tika Bisono menyebut bahwa fenomena Role Play (RP) ini merupakan fenomena yang sangat berbahaya. Menurutnya, orangtua harus berperan ekstra, tidak saja aktif tapi proaktif dalam mendampingi dan mendidik anak-anak mereka demi mencegah kebiasaan tersebut makin berkembang. 

Lebih lanjut, Tika menjabarkan bahaya tingkat tinggi yang mengintai masa depan anak-anak korban fenomena RP tersebut.

"Usia 15 sampai 18 tahun merupakan fase dimana orangtua dan pendidik, harusnya wajib secara bertanggung jawab dan pedagogis mengajarkan perihal ilmu keagamaan, biologi, fisiologi, seksualitas dan reproduksi secara utuh dan sangat serius," ujar Tika Bisono saat dihubungi Tagar News, Selasa (4/12).

"Sehingga mereka bisa mengenal, memahami, menjaga, melindungi dan utamanya  menghargai tubuh mereka. Mereka harus bisa menyadari bahwa perspektif seksualitas  mempunyai nilai yang tinggi sebagai kehormatan bagi pemiliknya, bukan malah diperlakukan secara tidak hormat oleh seseorang, bahkan oleh dirinya sendiri," lanjut Tika.

Menurutnya, akil balig merupakan sebuah ketentuan alamiah dari Tuhan yang tak akan bisa dilawan. Semua manusia melalui proses ini, tidak bisa dihindari. Hasrat seksual yang meningkat saat remaja tidak akan bisa dikurung, namun harus bisa dikelola. 

Orangtua dan pendidiklah yang harus bertanggung jawab mengajarkan anak-anak agar mereka paham dan mengerti faktor moralitas dan seksualitas. Mantan penyanyi dan model ini, khawatir perilaku seksual yang terjadi pada kaum muda tersebut akan menjadi kebiasaan dan adiksi saat mereka mendewasa kelak.

"Anak-anak seusia mereka akan merekam dengan baik apa yang menjadi kebiasaannya, dan jika dibiarkan, kebiasaan ini (adiksi) akan terbawa saat mereka dewasa. Mereka bisa saja jadi online prostitute atau memiliki sifat  eksibisionistis yang digunakan untuk mencari uang dengan memanfaarkan tubuhnya," tutup Tika.

Area Prefrontal Cortex

Staf Akademik Fakultas Psikologi Univeritas Indonesia, Bona Sardo Hasoloan Hutahaean saat dihubungi Tagar News, Selasa (4/12) menyatakan sepakat dengan Tika Bisono.

Menurutnya, anak usia remaja memang berada dalam tahap perkembangan pencarian identitas diri, sehingga mereka cenderung mengeksplorasi dunia dengan berbagai cara termasuk sosial media, yang dianggap sebagai cara kekinian dan paling mudah diakses.

Lebih lanjut, dosen yang sempat mengikuti ajang pencarian bakat Indonesian Idol ini menerangkan bahwa anak berusia remaja lebih punya tendensi untuk menyalahgunakan media sosial.

"Di sini, saya pakai teori neuropsikologi saja. Pertimbangan untuk perencanaan, penalaran, hingga mengambil keputusan itu ada di area otak bagian depan (dahi) atau disebut dengan area prefrontal cortex. Di sinilah berperan fungsi-fungsi luhur manusia," ujar Bona.

"Perkembangan area tersebut pada remaja masih belum sempurna, sehingga butuh banyak pengarahan, khususnya dari orangtua, guru, dan orang terdekat yang signifikan. Perkembangan area otak tersebut akan berhenti di usia sekitar 25 tahunan atau ketika individu sudah dewasa," jelasnya.

Menghadapi perkembangan era internet yang semakin kompleks, sudah seharusnya para orangtua waspada ketika menemukan anaknya menghabiskan waktu lebih lama di dalam kamar dan menjadi antisosial. 

Seperti juga penyakit, perilaku kejiwaan kadang menjangkit secara bertahap. Sudah selayaknya para orangtua mengecek akun-akun media sosial anak-anaknya secara berkala. Lebih baiknya lagi, orangtua juga harus mempelajari istilah-istilah baru yang lahir di kalangan remaja. 

Jangan sampai orangtua menyesal karena terlambat menyadari bahwa anak-anak mereka, terpapar budaya yang kalau meminjam istilah band Efek Rumah Kaca, kenakalan remaja di era informatika. []

Berita terkait
0
Ini Alasan Mengapa Pemekaran Provinsi Papua Harus Dilakukan
Mantan Kapolri ini menyebut pemekaran wilayah sebenarnya bukan hal baru di Indonesia.