Sikap AJI dan Dewan Pers Atas ‘Kepergian’ Wartawan Muhammad Yusuf

Sikap AJI dan Dewan Pers atas ‘kepergian’ wartawan M Yusuf. AJI dan Dewan Pers menyatakan turut bela sungkawa. Komnas HAM pastikan bentuk tim investigasi.
Ilustrasi, wartawan. (Foto: Ant/Destyan Sujarwoko)

Jakarta, (Tagar 13/6/2018) - Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI Indonesia) Abdul Manan menyampaikan bela sungkawa atas meninggalnya wartawan Muhammad Yusuf pada Minggu, 10 Juni 2018.

Muhammad Yusuf, jurnalis yang berita-beritanya dipublikasikan di situs media online Kemajuan Rakyat, Berantas News, dan Sinar Pagi Baru meninggal dalam masa penahanan kejaksaan, saat dia menghadapi sidang kasus dugaan pencemaran nama baik.

Abdul Manan mengungkapkan, Yusuf berurusan dengan hukum setelah diadukan ke polisi oleh perusahaan sawit PT Multi Sarana Agro Mandiri (MSAM) atas 23 beritanya yang dimuat di situs online kemajuanrakyat.co.id dan berantasnews.com.

Disebutkan, PT MSAM menuding bahwa Yusuf mencemarkan nama baik MSAM. “Berita yang dipersoalkan antara lain artikel Yusuf yang menuduh PT MSAM mencaplok lahan warga,” sebut Abdul Manan dalam rilisnya yang diterima Tagar di Jakarta, Rabu (13/6).

Sebelumnya, atas laporan MSAM, polisi memproses Yusuf dengan Undang Undang Nomor 11 Tahun 2018 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).

Polisi selanjutnya mengirim surat permintaan kepada Dewan Pers pada 28 Maret 2018 untuk mengirim ahli soal perkara pemberitaan tersebut. Polisi juga mengirim penyidik ke kantor Dewan Pers pada 29 Maret 2018. Polisi menanyakan pandangan ahli dari Dewan Pers soal 23 berita yang dibuat Yusuf.

Atas berita yang disampaikan polisi, ahli dari Dewan Pers memberikan pandangannya. Dari 23 berita itu, ahli Dewan Pers menulis bahwa berita itu tidak melalui uji informasi, tidak berimbang, dan mengandung opini menghakimi.

Ahli Dewan Pers menyebutkan, berita itu mengindikasikan ada itikad buruk dan tidak bertujuan untuk kepentingan umum. Juga, tidak sesuai fungsi serta peran pers sebagaimana diatur dalam Pasal 3 dan Pasal 6 Undang Undang Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers.

Pasal 3 ayat 1 UU Pers menyatakan, "Pers nasional mempunyai fungsi sebagai media informasi, pendidikan, hiburan dan kontrol sosial".

Sedangkan Pasal 6 menyatakan, tugas pers adalah: (3) Mengembangkan pendapat umum berdasarkan informasi yang tepat, akurat dan benar; (4) Melakukan pengawasan, kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum.

Ahli Dewan Pers dalam salah satu pertimbangannya menyatakan, pihak yang dirugikan akibat pemberitaan dengan karakter berita di atas dapat menempuh jalur hukum dengan undang-undang lain di luar UU Pers.

Abdul Manan menjelaskan, sesuai informasi yang diterima AJI, PT MSAM berupaya meminta hak jawab kepada media yang memuat berita Yusuf, namun tidak direspons dengan baik.

Polisi berupaya memanggil redaksi kemajuanrakyat.co.id yang beralamat di Serang, Banten. Redaksi bersangkutan tidak memenuhi panggilan ini dengan alasan jarak yang jauh.

Abdul Manan mengungkapkan, AJI juga mendapatkan informasi, Yusuf selain menulis berita, juga diketahui pernah ikut menggalang demonstrasi menentang PT MSAM.

Setelah proses penyelidikan usai, polisi menyerahkan Yusuf ke kejaksaan. Saat di tahanan Kejaksaan, Yusuf beberapa kali mengeluh sakit. “Namun belum jelas benar apa penyebabnya,” sebut Abdul Manan.

Dia menyebutkan, menurut polisi dan jaksa, Yusuf memang punya riwayat mengidap sejumlah penyakit.

“Selama di tahanan Kejaksaan Kotabaru, ia beberapa kali dibawa ke rumah sakit. Sampai akhirnya ia dibawa ke rumah sakit pada 10 Juni 2018 setelah mengeluh sesak nafas dan sakit di wilayah dada disertai muntah-muntah. Yusuf sempat dibawa ke rumah sakit tapi nyawanya tidak tertolong,” jelas Abdul Manan.

Menanggapi kasus yang menimpa Yusuf, AJI melalui Abdul Manan dan Y Hesthi Murthi (Ketua Bidang Advokasi) menyatakan sikapnya.

Pertama, menyerahkan kepada Komnas HAM untuk menelusuri lebih lanjut kasus ini.

Kedua, menyesalkan sikap polisi yang menetapkan Yusuf sebagai tersangka atas berita yang dimuat medianya. Sebab, Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers mengenal aspek pertanggungjawaban berjenjang (waterfall responsibility), penanggungjawab utama berita yang telah dipublikasikan media adalah pemimpin redaksinya.

Ketiga, menyesalkan penggunaan pasal pidana untuk menyelesaikan sengketa berita. Kalau pun mekanisme dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers sudah ditempuh dan dianggap tidak memadai, penyelesaian berikutnya bisa melalui gugatan perdata, bukan pidana yang bisa menyebabkan seseorang dipenjara karena beritanya.

Keempat, menyerukan kepada media dan jurnalis melaksanakan kode etik jurnalistik dalam menjalankan profesinya.

Kelima, meminta masyarakat dari semua kalangan untuk taat UU Pers, termasuk upaya penyelesaian sengketa jurnalistik.

Dewan Pers

Adapun Dewan Pers berharap kematian wartawan Muhammad Yusuf (42) di Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIB Kotabaru, Kalimantan Selatan (Kalsel), ditangani sesuai hukum dan diselesaikan setransparan mungkin.
Dewan Pers menyatakan duka cita sedalam-dalamnya atas kematian Yusuf, yang ditahan sejak pertengahan April lalu.

Selain itu, atas informasi bahwa penahanan Yusuf adalah atas rekomendasi Dewan Pers, Dewan Pers menyatakan bahwa Dewan Pers tidak pernah menerima pengaduan dari pihak-pihak yang merasa dirugikan oleh berita Yusuf.

Bantahan itu disampaikan Dewan Pers lantaran Dewan Pers disebutkan terlibat dalam kasus tersebut, setelah Kapolres Kotabaru AKBP Suhasto mengirimkan surat permintaan keterangan ahli pada 28 maret 2018.

“Surat itu diikuti dengan kedatangan tiga penyidik Polres Kotabaru ke Dewan Pers pada 29 Maret 2018. Para penyidik itu meminta keterangan ahli dari Sabam Leo Batubara yang telah ditunjuk Dewan Pers untuk memberikan keterangan,” papar Dewan Pers dalam pernyataannya di Jakarta, Senin (11/6).

Dewan Pers mengakui, penyidik memang meminta keterangan ahli atas dua berita dalam portal "kemajuanrakyat.co.id" edisi 5 Maret 2018 berjudul "Masyarakat Pulau Laut Tengah Keberataan Atas Tindakan PT MSAM Jonit PT Inhutani II dan berita media yang sama edisi 27 Maret 2018 berjudul "Masyarakat Pulau Laut Minta Bupati dan DPRD Kotabaru Mengusir Penjajah".

Dalam keterangan yang dituangkan pada berita acara pemeriksaan (BAP), ahli pers Dewan Pers menilai kedua berita itu tidak uji informasi, tidak berimbang dan mengandung opini menghakimi.

Selain itu narasumbernya tidak jelas dan tidak kredibel. Kasus tersebut merupakan perkara jurnalistik yang penyelesaiannya dilakukan di Dewan Pers dan dilakukan melalui mekanisme hak jawab dan permohonan maaf.

Pada tanggal 2 dan 3 April 2018, penyidik datang lagi ke Dewan Pers dengan membawa 21 berita tambahan yang menurut penyidik ditulis oleh Yusuf. Empat beritanya dimuat di portal "kemajuanrakyat.co.id" dan 17 lainnya di "berantasnews.com".

Disebutkan, berita-berita tersebut tidak sesuai standar teknis maupun etika jurnalistik karena tidak uji informasi, tidak berimbang dan sebagian besar mengandung opini menghakimi.

Selain itu mengindikasikan adanya itikad buruk. “Pihak yang dirugikan dapat menempuh jalur hukum,” pinta Dewan Pers.

Penistaan HAM

Atas peristiwa yang menimpa M Yusuf, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) mendesak Kejaksaan Negeri Kotabaru dan pihak Lapas Klas IIB Kotabaru untuk bertanggungjawab.

Wakil Ketua Komisi Nasional Hak Azasi Manusia (Komnas HAM) Hairansyah menegaskan, Kejaksaan Negeri Kotabaru dan pihak Lapas Klas IIB Kotabaru harus menjelaskan sebab-musabab kematian M Jusuf.

“Jika ada pihak yang merasa dirugikan atas sebuah pemberitaan, harusnya bisa diselesaikan dengan meminta hak jawab ataupun melalui mekanisme Dewan Pers. Bukan langsung pemidanaan,” kata Hairansyah kepada wartawan di Jakarta, Senin (11/6).

Menurut Hairansyah, persoalan pemberitaan yang ditulis seorang wartawan harus dihargai sebagai hak menyatakan pendapat, sekaligus sebagai bagian dari Hak Asasi Manusia.

Hairansyah menjelaskan, berdasarkan Pasal 4 UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia menyatakan bahwa “Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kebebasan pribadi, pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dan persamaan di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun dan oleh siapa pun.”

“Permohonan penangguhan penahanan Yusuf yang memiliki riwayat sakit jantung yang tidak dikabulkan merupakan penistaan terhadap HAM yang sangat nyata,” tegas Hairansyah.

Hairansyah memastikan, Komnas HAM akan membentuk tim khusus untuk melakukan pemantauan dan investigasi atas kematian M Yusuf. (dbs/yps)

Berita terkait