Untuk Indonesia

Seandainya Khabib Nurmagomedov Berjenggot Panjang

'Miftahul Jannah sebenarnya adalah korban kurangnya komunikasi antara tim atlet dan penyelenggara acara.' - Denny Siregar
Pejudo putri Indonesia Miftahul Jannah meninggalkan arena usai didiskualifikasi dari pertandingan kelas 52 kg blind judo Asian Para Games 2018 di Jiexpo Kemayoran, Jakarta, Senin (8/10/2018). Pejudo asal Aceh itu didiskualifikasi karena tidak mau melepas jilbabnya saat bertanding. (Foto: Antara/Bola.Com/M Iqbal Ichsan)

Oleh: Denny Siregar*

Tiba-tiba berseliweran di timeline saya kisah tentang Miftahul Jannah.

Miftahul Jannah adalah atlet putri asal Aceh di Asian Para Games 2018 dari cabang Judo. Sebenarnya dia belum terlalu dikenal, sampai ada peristiwa yang lumayan kontroversial. Miftahul Jannah menolak melepas jilbabnya saat bertanding.

Kekukuhan Miftahul Jannah ini membuat penyelenggara acara kelabakan. Aturan internasional di Judo memang tidak membolehkan para pejudo mengenakan pelindung kepala apa pun saat bertanding. "Terlalu berbahaya," kata seorang teman.

Judo bukan seperti silat atau karate, misalnya. Judo itu adalah ilmu bela diri dengan teknik membanting lawan. Jadi posisi kedua petarung saling merangkul dengan mencengkeram baju lawan dan berusaha membanting sekeras-kerasnya.

Nah dikhawatirkan, saat cengkeraman itu terjadi, penutup kepala seperti jilbab, akan tertarik dan mencekik pemakainya. Berbahaya, bisa menyebabkan kematian. Inilah yang menyebabkan panitia meminta Miftahul Jannah melepas jilbabnya

Tetapi permintaan ini ditolak Miftahul Jannah dengan alasan bahwa jilbab adalah perintah Tuhan dan dia tidak mungkin melepasnya di hadapan orang-orang. Meskipun ia sudah dibujuk pelatih sampai psikiater segala, ia tetap tidak mau melepas jilbabnya dan memilih mundur dari pertandingan.

Salahkah Miftahul Jannah?

Jelas tidak, karena itu keyakinan dia. Keyakinan mempunyai hak untuk dihormati. Tetapi penyelenggara acara juga tidak salah karena mereka punya peraturan untuk menghindarkan kondisi bahaya. Kalau terjadi apa-apa, misalnya atletnya tercekik, mereka juga yang kena getahnya.

Yang salah sebenarnya adalah pelatih yang sejak awal seharusnya sudah tahu bahwa dalam pertandingan, tidak boleh memakai pelindung kepala. Atau kalau pun dia tahu, dia bisa mensosialisasikan kepada atletnya seperti Miftahul Jannah. Kan kasian ketika atlet sudah berada pada pertandingan besar, mendadak batal karena ketidak-tahuannya.

Miftahul Jannah sebenarnya adalah korban kurangnya komunikasi antara tim atlet dan penyelenggara acara yang seharusnya tidak terjadi. Seharusnya sebelum pertandingan, masalah itu sudah selesai di awal. Entah kenapa baru muncul saat pertandingan dimulai.

Jadi ini murni tidak ada hubungannya sama agama seperti yang coba dihubung-hubungkan oleh para fanatik dan ujung-ujungnya menyalahkan Jokowi. Apa korelasinya coba?

"Lah, trus apa hubungannya sama Khabib Nurmagomedov?"

"Ngga ada sih. Saya cuma membayangkan seandainya Khabib yang beragama sama seperti Miftahul mempertahankan keyakinannya untuk memelihara jenggot panjang dengan dasar Sunnah Nabi. Tentu itu merepotkan. Pas banting-bantingan, Khabib bisa tercekik jenggotnya sendiri."

Temanku kesal. "Kalau Khabib jenggotnya panjang, dia gak mungkin ambil olahraga tarung Martial Art. Dia lebih milih catur atau golf saja. Lagian ngapain si Khabib udah menang pake acara loncat pagar segala trus berantem ama penonton?" Sergahnya.

Dan diskusi panjang tentang pertarungan UFC kemarin berlangsung lagi. Temanku pendukung Conor Mc Gregor. Dia makin kesal sama Khabib karena gara-gara jagoannya kalah, dia harus bayar kopi pagi ini..

Seruput....

*Denny Siregar penulis buku Tuhan dalam Secangkir Kopi

Berita terkait