Sleman – Lenguhan sapi sesekali terdengar, memecah sunyinya siang di sekitar lokasi barak pengungsian warga Dusun Kalitengah Lor, Desa Glagaharjo, Kecamatan Cangkringan, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta.
Seekor sapi terlihat tidak sabar menunggu seorang pria menuangkan rumput yang menjadi makanannya. Dia menggoyang-goyangkan ekornya, sambil menggosok-gosokkan kepalanya pada batang bambu yang menjadi tiang kandang. Si pria tetap tenang. Dia mengambil sebilah arit dan memotong-motong rumput yang masih panjang, seolah tak peduli pada ketidaksabaran sapi di depannya.
Sejumlah sapi lain yang ada di lokasi itu mulai mengunyah rumput-rumput yang tersedia di depan mereka. Rahangnya bergerak-gerak dan tak jarang kepalanya digelengkan untuk menghalau lalat yang hinggap di sekitar moncong dan hidungnya.
Beberapa belas meter dari sapi-sapi itu, sejumlah anak muda berseragam oranye duduk di gubuk bambu yang sengaja dibuat sebagai pos untuk menjaga puluhan sapi yang ada di situ.
Suratno Wiyono, 63 tahun, pengungsi dari Dusun Kalitengah Lor, Desa Glagaharjo, Kecamatan Cangkringan, Kabupaten Sleman, sedang memberi makan sapi miliknya, Selasa, 1 Desember 2020. (Foto: Tagar/Kuriawan Eka Mulyana)
Sapi-sapi itu milik warga Dusun Kalitengah Lor yang mengungsi di Barak Pengungsian Glagaharjo, hanya beberapa puluh meter dari tempat penampungan ternak tersebut. Mereka diungsikan sejak 9 November 2020, sebab dusun mereka terletak dalam zona rawan erupsi Gunung Merapi.
Repot Mencari Pakan Ternak
Suratno Wiyono, pria yang tadi memotong-motong rumput untuk sapi ternaknya sudah selesai memotong. Sebagian rumput yang sudah dipotongnya telah berpindah tempat dari tanah ke dalam rongga mulut sapi di depannya.
Pria berusia 63 tahun itu berjalan menjauhi sapi, menuju tumpukan rumput yang ada di ujung lorong kandang sapi. Sebilah arit masih tergenggam di tangan kanannya. Dia berhenti saat disapa. Suaranya terdengar pelan dan tidak terlalu jelas saat menjawab pertanyaan. Suratno sedikit melonggarkan masker yang menutup rapat mulutnya, kemudian mulai menjawab pertanyaan demi pertanyaan.
Dia mengaku sedikit repot dalam mencari rumput untuk pakan ternaknya sejak tinggal di pengungsian. Sebab, jarak dari lokasi pengungsian ke lokasi dia biasa mencari rumput cukup jauh.
“Nek le repot niku jane nggih repot. Ning manut dawuhe pemerintah kok, Mas. Pripun malih, nek le repot jane nggih repot. (Kalau repotnya sebenarnya ya repot. Tapi kan mengikuti perintahnya pemerintah, Mas. Bagaimana lagi, kalau repotnya sebetulnya ya repot),” ucapnya siang itu, Selasa, 1 Desember 2020.
Suratno menegaskan, setiap pagi dia harus pergi ke daerah di sekitar kampungnya di sebelah utara barak untuk mencari pakan ternak. Setelah itu, dia harus membawa rumput itu ke kandang di sekitar barak pengungsian.
Itu kalau ada armadanya. Nek mboten wonten armadane nggih balik ngaler malih. (kalau tidak ada armadanya ya kembali ke utara lagi).
Dia menambahkan, hingga saat ini di dusun tempat tinggalnya sebelum mengungsi masih ada sejumlah hewan ternak yang belum dievakuasi, letaknya di RT 4. Sedangkan mayoritas ternak dari dusunnya sudah dievakuasi ke kandang dekat barak ini secara bertahap.
“Total ternak di sini mungkin ada 40-an. Sebagian datangnya juga baru beberapa hari. Tidak bersamaan dibawa ke sini,” kata dia.
Nyarni, 32 tahun, seorang pengungsi di barak pengungsian Glagaharjo, sedang membersihkan bunga ason-ason di kandang ternak di sekitar barak pengungsian, Selasa, 1 Desember 2020. (Foto: Tagar/Kurniawan Eka Mulyana)
Cerita yang hampir sama disampaikan oleh warga Dusun Kalitengah Lor lainnya yang juga mengungsi di Barak Pengungsian Glagaharjo, Nyarni, 32 tahun. Nyarni juga memiliki seekor sapi yang sudah dievakuasi ke tempat itu.
Siang itu Nyarni duduk bersila beralas tanah di salah satu kandang sapi yang belum terisi hewan ternak. Di depannya terdapat rumput-rumput yang disebutnya dengan bunga ason-ason. Jemarinya lincah membersihkan semacam lapisan yang menutupi batang bunga-bunga itu.
Di samping Nyarni sudah terkumpul sejumlah bunga ason-ason yang telah dibersihkan dari selaput pelapisnya.
“Bunga ason-ason kalau sudah kering dinamakan bunga abadi. Mirip eideilweis. Ini carinya cuma di sekitar sawah. Carinya sebetulnya lebih dekat kalau dari sini daripada dari rumah,” ucapnya tanpa menghentikan jemarinya yang membersihkan batang bunga itu.
Nantinya, setelah dibersihkan, bunga-bunga itu akan dirangkai menjadi satu dan dijual pada wisatawan sebagai oleh-oleh khas dari daerahnya. Meski demikian, Nyarni mengaku tidak menjual langsung bunga-bunga yang sudah dirangkai pada wisatawan. Dia menjualnya pada pengepul.
Kegiatan mencari bunga itu selain menghasilkan rupiah juga untuk menghilangkan jenuh selama berada di barak pengungsian.
“Ini sekaligus untuk menghilangkan jenuh. Bagi saya seperti itu, daripada nganggur terus. Saya jualnya setelah kering. Per ikat harganya Rp 2 ribu. Dalam sehari saya bisa kumpulkan sekitar 10 ikat.”
Walaupun lokasi mencari bunga yang sekilas terlihat seperti rumput itu tidak jauh dari lokasi pengungsian, tapi bunga-bunga itu tidak digunakan untuk pakan ternak. Untuk memenuhi kebutuhan pakan ternaknya, suami Nyarni harus mencari rumput di kawasan Dusun Kalitengah Lor, tempat tinggal mereka.
Beruntung saat ini sudah ada bantuan armada berupa mobil untuk mengangkut rumput mereka dari Dusun Kalitengah Lor ke barak pengungsian.
Sejumlah warga pengungsi di pos yang terletak di kandang ternak sekitar Barak Pengungsian Glagaharjo, Kecamatan Cangkringan, Kabupaten Sleman, Selasa, 1 Desember 2020. (Foto: Tagar/Kurniawan Eka Mulyana)
“Kalau tinggal di sini memang lebih jauh karena nyarinya ke atas. Tapi ada armada yang angkut rumputnya dari atas ke sini,” kata dia menegaskan.
Bantuan Pecinta Orangutan
Di bagian depan lokasi kandang ternak itu terlihat sejumlah mobil. Salah satunya berupa mobil pikap dengan stiker bertuliskan Center for Orangutan Protection (COP). Mobil pikap itulah yang setiap hari mengangkut rumput dari kawasan Dusun Kalitengah Lor menuju lokasi kandang ternak di barak.
Ramadhani, koordinator relawan Animal Rescue Team, yang merupakan bagian dari COP, mengatakan, awalnya CPO hanya concern pada isu tentang perlindungan terhadap orangutan, dan mereka lebih banyak bekerja di Kalimantan dan Sumatera.
“Tapi kami juga punya tim di Pulau Jawa, lebih pada edukasi dan kampanye. Sudah sejak 2010 yang Merapi meletus, kami juga turunkan tim. Kemudian di Gunung Kelud, Sinabung, dan Palu terakhir,” ucap pria berusia 37 tahun ini.
Meskipun secara khusus organisasinya concern pada penyelamatan orang utan, tapi ketika ada bencana khususnya gunung meletus, gempa bumi, dan bencana alam lainnya, mereka akan turut membantu semaksimal mungkin. Bantuan yang mereka tawarkan lebih pada penanganan satwa, termasuk hewan ternak.
“Sejak tanggal 9 kan Dinas Peternakan Sleman mencoba untuk mengevakuasi satwa ternak untuk Dusun Kalitengah Lor. Kami ambil posisi membantu. Jadi memang peternak tetap mengarit rumput di lokasi awal dia tinggal di atas sana, tapi untuk membawa ke sini kan lumayan jauh, jadi kami bantu dengan alat transportasi.”

Teknisnya, lanjut Ramadhani, setelah para pemilik ternak mendapatkan rumput, mereka mengumpulkannya di satu titik. Setelah itu, sekitar pukul 09.00 mobil pikap dari Animal Rescue Team akan datang dan mengangkutnya menuju kandang di barak pengungsian.
Bukan hanya membantu mengangkut pakan ternak. Kata Ramadhani, pada minggu-minggu awal bergabung dan membantu para pengungsi, air bersih untuk minum ternak belum tersuplai. Sehingga pihaknya berinisiatif untuk menyuplai air bersih sebanyak beberapa tangki.
“Jadi kami menyuplai beberapa tangki air, makanan ternak tambahan seperti konsentrat dll. Armada yang kami siapkan ada dua unit, satu pikap dan satu mobil penumpang. Kalau statusnya nik menjadi awas, kemungkinan yang disiapkan adalah truk, karena secara sepintas masih ada beberapa sapi di atas,” kata dia menambahkan. []