Refleksi PSSI 2017: Hanya Mimpi Tanpa Prestasi, Penuh Kontroversi

Sepanjang tahun 2017, hampir tak ada pencapaian yang menonjol dari Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia (PSSI).
Sepanjang tahun 2017, hampir tak ada pencapaian yang menonjol dari Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia (PSSI). Di tahun shio ayam api, organisasi yang berdiri pada 19 Oktober 1930 ini nyaris tanpa prestasi. Belum bisa menampilkan apa-apa, PSSI malah menambah kontroversi di akhir tahun melalui pernyataan sang Ketua Umum Letjen TNI Edy Rahmayadi.(Foto/Ilustrasi:Ist)

Jakarta, (Tagar 27/12/2017) - Sepanjang tahun 2017, hampir tak ada pencapaian yang menonjol dari Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia (PSSI). Di tahun shio ayam api, organisasi yang berdiri pada 19 Oktober 1930 ini nyaris tanpa prestasi. Belum bisa menampilkan apa-apa, PSSI malah menambah kontroversi di akhir tahun melalui pernyataan sang Ketua Umum Letjen TNI Edy Rahmayadi.

Edy Rahmayadi sendiri, yang juga menjabat Panglima Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Pangkostrad), terpilih memimpin PSSI sejak November 2016 dengan jangka waktu hingga 2020.

Tugas Edy cukup berat karena dia wajib memperbaiki nama baik sepakbola Indonesia yang rusak akibat disanksi FIFA selama setahun, tepatnya mulai 30 Mei 2015.

Setelah kalah dari Thailand di final Piala AFF tahun 2016, harapan akan datangnya masa depan gilang gemilang sepakbola Indonesia mulai mengemuka.

Bagaimana tidak, timnas Indonesia yang dibentuk tanpa kompetisi resmi saja bisa menjadi "runner up" di AFF 2016. Apalagi dengan liga yang diakui FIFA, ya kan? PSSI bukannya tak menyadari mimpi-mimpi indah masyarakat. Salah satu cara mewujudkannya dengan mengontrak selama dua tahun seorang pelatih berprestasi Eropa asal Spanyol, Luis Milla Aspas sejak akhir Januari 2017 untuk menangani tim nasional U-23 dan senior.

Luis Milla, yang semasa aktif pernah bermain Barcelona dan Real Madrid, adalah arsitek tim nasional U-21 Spanyol kala menjadi juara Piala U-21 Eropa di tahun 2011.

Dengan catatan menterengnya, kedatangan Luis Milla dianggap bisa memberikan kemajuan bagi sepakbola Indonesia pasca-sanksi FIFA.

Sayangnya, melihat apa yang diraih tim nasional bersama Milla sepertinya anggapan itu belum bisa terwujud di 2017. Awalnya, tim nasional U-23 gagal total di kualifikasi Piala Asia U-23 2018.

Selanjutnya, tim nasional juga tak bisa berbuat banyak di SEA Games setelah "hanya" merebut perunggu di SEA Games 2017, Malaysia.

Meski lebih baik dari pencapaian turnamen serupa dua tahun sebelumnya ketika tim Garuda Muda pulang tanpa medali, prestasi itu tidak bisa memenuhi target PSSI yang sejak awal sudah menginginkan medali emas, menyamai prestasi timnas di SEA Games 1991.

Total dalam 23 laga berikut pertandingan persahabatan internasional maupun lokal, timnas Indonesia asuhan Luis Milla menang 11 kali.

Ini sudah termasuk turnamen Aceh World Solidarity Games pada awal Desember 2017 yang diikuti empat negara yakni Indonesia, Kyrgyzstan, Mongolia dan Brunei Darussalam, di mana tim Garuda yang diperkuat mayoritas pemain U-23 kembali gagal merengkuh gelar karena takluk dari Kyrgyzstan.

Secercah Cahaya Tim nasional U-19 pun setali tiga uang dengan seniornya. Skuat asuhan pelatih Indra Sjafri itu tidak bisa berbicara banyak di dua turnamen resmi yang diikuti yaitu Piala AFF U-18 2017 dan Kualifikasi Piala Asia U-19 2018.

Beruntung Indonesia tetap lolos ke Piala Asia U-19 tahun 2018 karena berstatus tuan rumah. Ini yang membuat masih ada kesempatan bagi Egy Maulana Vikri dan rekan-rekan berlaga di Piala Dunia U-20 tahun 2019.

Akan tetapi, berbeda dengan Luis Milla, PSSI memutuskan tidak memperpanjang kontrak Indra Sjafri dan menggantikannya dengan asisten pelatih timnas U-23 Bima Sakti.

Sekretaris Jenderal PSSI Ratu Tisha Destria menyebut pelatih asal Sumatera Barat yang pernah membawa Indonesia juara Piala AFF U-19 tahun 2013 itu akan mengemban tugas khusus di PSSI.

"Kami tetap akan bekerja sama dengan pelatih Indra di federasi untuk membangun sepakbola nasional. Ini merupakan tugas dan tantangan yang jauh lebih besar," ujar Ratu.

Torehan-torehan itu terlihat gelap sampai kita melihat secercah cahaya datang dari tim nasional U-16.

Walau gagal di Piala AFF U-15, kesebelasan remaja asuhan pelatih Fakhri Husaini ini berhasil lolos ke Piala Asia U-16 2018 setelah menjadi juara grup di babak kualifikasi yang digelar di Thailand pada September 2017.

Di babak kualifikasi itu, skuat timnas U-16 Indonesia sukses menang empat kali dari empat laga, di antaranya menaklukkan sang tuan rumah kualifikasi Thailand.

Catatan timnas U-16 pun tak kalah menawan yaitu membuat 25 gol dan hanya kebobolan satu gol. Dengen demikian mereka berhak bermain di Piala Asia U-16 2018 di Malaysia pada 20 September-7 Oktober 2018.

Kisah "bunga" lainnya di tahun 2017, Indonesia dipercaya oleh Federasi Sepak Bola ASEAN (AFF), dalam Rapat Dewan AFF ke-12 di Nusa Dua, Bali, Sabtu (23/9), untuk mencalonkan diri menjadi tuan rumah Piala Dunia 2034 bersama Thailand.

Memang terhitung masih lama. Namun, momentum itu bisa menjadi batu pijakan untuk memperbaiki semua sektor yang berhubungan dengan sepak bola.

"Kita harus bisa membayangkan Indonesia ini akan maju dalam waktu 17 tahun dari sekarang. PSSI sudah menyediakan kesempatan dan saatnya kita semua bekerja sama untuk mewujudkannya," kata Wakil Ketua Umum PSSI Joko Driyono, yang mulai September 2017 juga menjabat sebagai Wakil Presiden AFF.

Filanesia hingga Kontroversi Filanesia atau Filosofi Sepakbola Indonesia menjadi terobosan PSSI yang perlu diapresiasi. Setelah sekian lama sepak bola Indonesia berjalan seperti tanpa arah, Filanesia memberikan semacam panduan agar dunia kulit bundar berjalan sesuai jalur.

Filosofi ini, yang diluncurkan resmi pada 9 November 2017, dituangkan dalam Kurikulum Pembinaan Sepakbola Indonesia. Nantinya semua sektor pengembangan pesepakbola usia dini harus mengacu kepada kurikulum tersebut.

Diharapkan dalam beberapa tahun ke depan, penerapan Filanesia yang dalam penyusunannya dibantu pelatih timnas Indonesia Luis Milla ini bisa menghasilkan sepak bola yang "bergaya Indonesia".

Sepanjang 2017, PSSI berhasil menyelenggarakan turnamen pra-musim Piala Presiden 2017 yang dijuarai Arema FC. Kemudian, ada pula Piala Soeratin U-15 (dijuarai Jawa Barat) dan U-17 (dijuarai Penajam Utama) pada Oktober 2017.

Ada pula kompetisi sepakbola putri Piala Pertiwi 2017 yang digelar di awal Desember 2017 dengan Provinsi Papua berhasil menjadi juara. Kejuaraan ini sekaligus dimanfaatkan sebagai turnamen uji coba sepakbola putri menuju Asian Games 2017.

Terakhir, melalui operator PT Liga Indonesia Baru, dilangsungkan Go-Jek Traveloka Liga 1, Liga 2 dan Liga 3. Liga 1 dijuarai oleh Bhayangkara FC, Liga 2 dimenangkan Persebaya Surabaya dan Blitar United menjadi kampiun Liga 3.

Pelaksanaan liga-liga ini sendiri tidak terlalu mulus. Beberapa kerusuhan antar-pendukung masih terjadi dan sejak Januari sampai pertengahan Oktober 2017, sedikit-dikitnya ada lima orang suporter sepakbola Indonesia meninggal dunia akibat tindak kekerasan penggemar sepak bola lainnya.

Diawali dari tewasnya suporter Persita Tangerang Ferdian Fikri karena dikeroyok pendukung sepak bola lainnya pada Maret 2017, kemudian dilanjutkan dengan kabar suporter Persija Jakarta Agen Astava berpulang pada Mei 2017 akibat dikeroyok oknum suporter lainnya setelah laga Go-Jek Traveloka Liga 1 Persija kontra Bali United.

Selanjutnya di Juli 2017, giliran Muhammad Nur Ananda yang meninggal dunia usai ditikam pendukung salah satu tim Liga 2, disusul berikutnya kabar duka dari Ricko Andrean suporter Persib Bandung yang mangkat pada Juli 2017 karena dianiaya oknum Bobotoh serta terakhir, Oktober 2017, ada suporter Persita Tangerang Banu Rusman yang nyawanya harus melayang karena menerima luapan emosi suporter tim lain.

Sangat disayangkan, PSSI mengakhiri tahun 2017 dengan kontroversi. Dengan dalih agenda tim nasional yang padat dan Indonesia kekurangan pemain sepak bola, Ketua Umum PSSI Letjen TNI Edy Rahmayadi keberatan jika pesepak bola Indonesia bermain di luar negeri.

"Kita kekurangan pesepakbola, malah pesepak bola kita pergi ke luar negeri. Tahun 2018 Indonesia menjadi tuan rumah delapan event sepak bola internasional dan kita perlu pemain," tutur Edy dalam satu kesempatan.

Menurut Edy, kepindahan pemain ke luar negeri dengan alasan uang tidak bisa diterima. Bagi Pangkostrad ini pemain sepakbola tak ubahnya pejuang bangsa yang harus selalu siap mengabdi untuk negara.

Atas sikap ini, beberapa pemain sepakbola Indonesia seperti Evan Dimas dan Ilham Udin Armaiyn terganjal kepindanhannya menuju klub Malaysia Selangor FA.

Hal ini tentu memantik kritik dari beberapa pihak, termasuk Menteri Pemuda dan Olahraga (Menpora) Imam Nahrawi yang menyebut bahwa transfer pemain antar-negara adalah persoalan profesionalisme yang lazim dilakukan di berbagai negara.

Bahkan, pemain sekelas Cristiano Ronaldo ataupun Lionel Messi tidak besar di negeri tempat kelahirannya. Ronaldo, lahir di Portugal, menyeberang ke tim Liga Inggris Manchester United dari klub Portugal Sporting Lisbon, sebelum pindah ke klub Spanyol Real Madrid.

Sementara Messi, terbang ke Spanyol untuk bergabung dengan Barcelona dari klub lama di kampung halamannya, Argentina, Newell's Old Boys. Semua pencinta sepak bola pasti tahu bagaimana kebintangan Ronaldo dan Messi saat ini.

Bayangkan, apa yang terjadi jika mereka dilarang pindah ke luar negeri oleh ketua umum federasi sepak bola negara mereka masing-masing? Menanggapi keputusan sang ketua umum PSSI, Evan Dimas hanya bisa tersenyum sedikit dan berkata, "Saya tidak bisa berkomentar".(ant/Chandra HN)

Berita terkait
0
Perilaku Pengagum Anies Baswedan di Lapangan Pantai Indah Kapuk
Anies Baswedan bukan hanya jagoan survei, di dunia nyata ia juga mempunyai banyak pengagum. Seperti ditunjukkan pengagumnya di Pantai Indah Kapuk.